“If you spend 13 minutes a year on economics, you’ve wasted 10 minutes.”
(Peter Lynch)
Familiar dengan kutipan salah satu superinvestor tersebut?
Kutipan tersebut ternyata berasal dari wawancara Peter Lynch di stasiun TV PBS pada tahun 1996 ketika Lynch bercerita tentang awal bull market pada tahun 1982.
Pada periode tersebut, pasar saham Amerika Serikat mengalami bull market yang panjang. Dow Jones Industrial Average (DJIA) bergerak dari $777 pada Agustus 1982 menjadi $5.700 pada Mei 1996. Naik 7x lipat.
Padahal, di tahun 1982, Amerika Serikat justru mengalami resesi terparah sejak the great depression, sebelum krisis keuangan global 2007-2009.
Inflasi di atas 10%, suku bunga perbankan 20%, dan tingkat penggangguran sempat mencapai 11%. Coba cermati urutannya.
Resesi terjadi sebagai konsekuensi logis dari kebijakan uang ketat untuk mengendalikan inflasi.
Paul Volcker, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat saat itu mengatakan bahwa mengendalikan inflasi, meskipun dengan risiko resesi dalam jangka pendek, harus menjadi prioritas Fed.
“In terms of economic stability in the future, [inflation] is what is likely to give us the most problems and create the biggest recession.”
(FOMC transcript 1979, 16)
Volcker dan koleganya benar. Pada Oktober 1982, tingkat inflasi turun ke level 5% dan long bull run hingga hampir 20 tahun terjadi di pasar Amerika Serikat.
“Do you realize that over half the companies in your portfolio are losing money right now?” Kata salah satu investor (besar) Magellan Fund, reksa dana yang dikelola oleh Peter Lynch.
Lalu apa jawaban Peter Lynch?
“These companies are going to do well once the economy comes back. We’ve got out of every other recession. I don’t see why we won’t come out of this one.”
(Peter Lynch)
Peter Lynch, Warren Buffett, Terry Smith, dan sejumlah “bottom-up” investor lainnya terkesan tidak tidak terlalu memberi bobot penting pada makro ekonomi.
Namun, jika kamu benar-benar mempelajari strategi investasi mereka, bukan makro ekonomi, tetapi prediksi makro ekonomi yang sebenarnya mereka permasalahkan.
Lagi pula, prediksi makro ekonomi bukannya tidak penting, tetapi terlalu unpredictable sehingga tidak bisa diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan investasi.
“Though economists, politicians and many of the public have opinions about the consequences of that huge imbalance, Charlie and I plead ignorance and firmly believe that near-term economic and market forecasts are worse than useless.” (Warren Buffett)
Makro ekonomi tetap penting ketika itu menyangkut pada apa yang sedang terjadi.
Ketika Peter Lynch secara implisit mengatakan bahwa prediksi makro ekonomi tidak layak menjadi perhatian investor lebih dari 3 menit per tahun, pewawancara dari PBS kemudian mengajukan follow up question:
“So what should people think about?”
Begini jawaban Peter Lynch:
“Well, they should think about what’s happening. I’m talking about economics as forecasting the future. If you own auto stocks you ought to be very interested in used car prices. If you own aluminum companies you ought to be interested in what’s happened to inventories of aluminum. If your stock are hotels, you ought to be interested in how many people are building hotels. These are facts.” (Peter Lynch)
Berpikir tentang apa yang sedang terjadi di level makro, terutama yang terkait dengan bisnis yang kita miliki, juga akan membuat kita punya mindset yang tepat dalam menghadapi volatilitas dan siklus.
Siklus ekonomi, siklus kredit, siklus pasar saham, siklus industri, siklus modal, siklus bisnis, you name it!
Berfokus pada apa yang sedang terjadi, akan membantu kita melihat siklus sebagai series of event. Satu kejadian bukan cuma terjadi setelah, tetapi juga karena kejadian sebelumnya.
Bull market bukan cuma terjadi setelah, tetapi karena adanya bear market.
Ketakukan menyebabkan harga jadi terlalu rendah sehingga mendorong ketamakan. Ketamakan mendorong harga naik tinggi yang di titik tertentu akan mendorong ketakutan.
Dalam menavigasi ketidakpastian masa depan, it’s always better to prepare than to predict.
Dengan mindset seperti itu, coba baca ulang rangkuman update ekonomi Indonesia 2024 yang telah tersebar luas di Internet di bawah ini.
- Massive layoff di web2. 450 karyawan Tokopedia dirumahkan mulai Juni.
- Beban negara meningkat ditengah gejolak ekonomi karena pembangunan IKN.
- Perlu banyak dana untuk realisasi janji-janji politik semasa kampanye, misal makan siang, dll.
- Budget pemilu 2024 yang sangat amat besar. Termasuk salah satu yang terbesar didunia. (Rp.30 Triliun / 1,76% dibandingkan dengan penghasilan dari pajak).
- Dollar mencapai Rp.16,387. Tertinggi sejak era reformasi.
- Beban pengusaha dan rakyat meningkat karena potongan 3% dari Tapera.
- BEI menerapkan kebijakan Call Auction, membuat market Indonesia jadi kurang diminati
- Korupsi mulai tingkat RT hingga Menteri. (Dari kasus lahan parkir yang dikuasai oknum RT di Surabaya hingga kasus korupsi SYL)
- Pertumbuhan kredit menurun, sementara NPL (non performing loan) meningkat.
- Morgan Stanley turunkan peringkat saham RI jadi “underweight”. Artinya institusi asing menganggap masa depan Indonesia kurang cerah.
Jika krisis 1998 dan 2020 saja bisa dilewati, mengapa kamu berpikir masalah yang belum seberapa parah ini akan merusak mesin pertumbuhan sebuah negara dengan rata-rata penduduk berusia muda, tingkat kelahiran yang masih sehat, dan jumlah kelas menengah yang terus meningkat?
—
Tulisan ini harusnya bisa selesai kamu baca dalam 3 menit. Namun, kamu mungkin butuh merenungi maknanya terhadap strategi investasi dan manajemen portofoliomu dalam 3 hari 3 malam ke depan.
Dapatkan analisis fundamental, watchlist saham, update portofolio dan konsultasi private dengan berlangganan Paket Belajar INVESTABOOK.