Jika ada yang mengatakan bahwa bisnis batu bara tidak cocok untuk di-hold jangka panjang, saya selalu menjawab, coba lihat investasi Saratoga Investama Sedaya (SRTG), perusahaan investasi yang punya aspirasi ingin jadi Berkshire Hathaway di Indonesia, ke Adaro Energy Indonesia (ADRO).
Mereka berinvestasi ke ADRO sejak tahun 2005 dan membawanya menjadi perusahaan publik pada tahun 2008 dengan rekor nilai emisi IPO terbesar saat itu sebesar Rp 12,25 triliun. Rekor ini baru dipatahkan 13 tahun kemudian oleh Bukalapak (BUKA) dengan nilai emisi Rp 21,9 triliun.
Namun, SRTG bukan lah sole investor ADRO. SRTG mengajak sejumlah investor lain dan membentuk konsorsium untuk mengakuisisi perusahaan pemilik konsesi tambang di Kalimantan Selatan tersebut.
Investor lain tersebut yakni Garibaldi “Boy” Thohir yang kini menjabat sebagai Presiden Direktur ADRO, TP Rachmat yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris, dan Benny Subianto (alm) yang anak tertuanya, Arini Saraswaty Subianto, yang juga menjabat sebagai Komisaris.
Apa kesamaan di antara mereka?
Mereka sama-sama pernah “sekolah” di Astra International (ASII) dan menjadi murid dari sang pendiri, Om William Soeryadjaya.
Boy Thohir merupakan anak dari Teddy Thohir, mantan Direktur Astra yang berkarier dari bawah. Boy juga pernah bekerja Astra sebelum mulai berbisnis sendiri di bidang properti dan keuangan.
TP Rachmat dan Benny Subianto juga mantan Direksi Astra yang sama-sama berkarier dari bawah. Bedanya, TP Rachmat juga memiliki hubungan keluarga, yakni keponakan Om William.
Adapun SRTG sendiri adalah perusahaan investasi yang didirikan oleh Edwin Soeryadjaya, anak kedua Om William, bersama Sandiaga Uno yang pada awalnya bekerja dengan sang sulung, Edward Soeryadjaya di Bank Summa.
SRTG didirikan oleh Edwin untuk kembali berkiprah di dunia bisnis dan mengembalikan kejayaan keluarganya yang pernah jadi keluarga terkaya di Indonesia. FYI, sejak tahun 1992, karena masalah keuangan yang menjerat Bank Summa, keluarga Soeryadjaya harus menjual seluruh sahamnya di Astra, bisnis yang telah dibangunnya dengan kerja keras.
Astra dijual ke sebuah konsorsium yang dipimpin oleh Group Salim. Saat krisis keuangan terjadi pada tahun 1997/98, Group Salim harus menjual kepemilikan sahamnya di Astra dan sejumlah bisnis dan aset lain ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai bagian dari kesepakatan restrukturisasi utang mereka.
Karena itulah, sebelum investasi di ADRO, SRTG bersama dengan Benny Subianto, sebenarnya sempat berupaya untuk membeli kembali ASII dari BPPN. Namun, upaya itu gagal, mereka kalah bersaing dengan Jardine Matheson, sebuah konglomerasi asal Hongkong, yang kini menjadi pemegang saham mayoritas ASII.
Beruntungnya, SRTG dan para murid Astra lainnya, menemukan kesempatan lain di Adaro Indonesia yang semula merupakan merupakan aset milik Sukanto Tanoto yang disita oleh Deutsche Bank akibat gagal bayar utang ketika krisis keuangan 1997/98.
Saat itu, Adaro Indonesia sudah menjadi tambang batu bara terbesar kedua di Indonesia yang sudah beroperasi sejak tahun 1990an.
Pembelian 40% saham Adaro Indonesia oleh SRTG dkk dari Deutsche Bank sebenarnya dimulai sejak tahun 2002. Namun, transaksi ini digugat oleh Sukanto Tanoto yang menuduh Deutsche Bank melakukan konspirasi untuk menjual Adaro Indonesia dengan harga murah ke SRTG melalui entitas perusahaan bernama PT Dianlia Setyamukti.
Pada tahun 2005, selain Benny Subianto, SRTG juga mengajak Boy Thohir dan TP Rachmat untuk terlibat dalam sebuah transaksi restrukturisasi utang yang mengundang kehadiran investor lain dari luar negeri agar pengendalian tetap di tangan murid-murid Astra meskipun kepemilikan saham SRTG terdilusi dari 40% menjadi tinggal 22%.
Baru pada tahun 2007 lah, akuisisi ini dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Kisah lengkap akuisisi Adaro Indonesia oleh para murid Astra bisa kamu baca lebih lanjut di artikel lawas dari Forbes ini.
Sekarang, mari kita hasil penciptaan nilai dari Adaro Indonesia.
Pada tahun 2007, sebelum ADRO, induk dari Adaro Indonesia, menjadi perusahaan publik yang bisa dinilai, kekayaan Edwin Soeryadjaya dan keluarga “hanya” US$250 juta.
Saat ini, 16 tahun kemudian, kekayaan Edwin Soeryadjaya dan keluarga meningkat 5x lipat menjadi US$1,24 miliar.
Boy Thohir dan TP Rachmat yang namanya belum muncul di daftar orang terkaya Indonesia tahun 2007 pun kini telah jadi orang terkaya Indonesia nomor 17 dan 19. Keduanya masing-masing memiliki kekayaan US$ 3,3 miliar dan US$ 3,2 miliar.
Dan sebagian besar kekayaan tersebut berasal dari peningkatan nilai ADRO di pasar saham serta dividen yang selalu dibagikan setiap tahunnya.
Meskipun membeli saham Adaro Indonesia di harga murah, hingga saat ini, mereka tidak menjual kepemilikan saham mereka ke investor lain.
Para murid Astra tersebut memperlakukan saham Adaro layaknya saham compounder.
Tapi pertanyaan pentingnya, apakah ADRO hari ini masih menjanjikan potensi compounding yang sama seperti 20an tahun yang lalu?
Mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!