Bagi banyak investor yang membatasi investable universe-nya berdasarkan kapitalisasi pasar, Bank BCA (BBCA) dan Bank BRI (BBRI) adalah dua bank terbaik di Indonesia dengan keunggulannya masing-masing.
Padahal, jika kita mau agnostik terhadap kapitalisasi pasar dan berfokus semata pada kualitas bisnis, mid cap bank seperti BTPN Syariah (BTPS) dan Bank Mega (MEGA) juga layak untuk diperhitungkan. Jika mengacu pada efisiensi penggunaan modal pemegang saham, justru dua bank tersebut lah yang kini menjadi bank terbaik di Indonesia dengan ROE masing-masing 21,5% dan 21% pada tahun 2021. Di saat yang sama, BBCA “hanya” mampu meraih ROE 15,5% saja.
Namun, dalam bisnis bank, profitabilitas yang tinggi tidak serta merta menunjukkan kualitas bisnis. Nature bisnisnya yang high leverage menuntut bank untuk bisa mengelola neracanya dengan baik.
“Banking is a good business if you don’t do dumb things on the asset side.”
Warren Buffett
Penyaluran kredit yang prudent, pencadangan kerugian kredit yang konservatif, manajemen likuiditas yang disiplin, dan pembentukan basis permodalan yang kuat memang akan membatasi profitabilitas bank dalam jangka pendek, tetapi justru hal tersebutlah yang akan mengamankan profitabilitas bank dalam jangka panjang.
Hal itulah yang perlu jadi konteks ketika kita melihat fakta bahwa di tahun 2021, Bank Mandiri (BMRI) sudah lebih profitable dibanding BBRI.

Sejak tahun 2020, gap antara ROE BBRI dan ROE BMRI sudah jauh menipis karena penurunan ROE BBRI yang lebih dalam. Namun, pada tahun 2021, BMRI membuktikan bahwa mereka bisa pulih lebih cepat dibanding BBRI dan Bank BNI (BBNI) yang memang secara kualitas bisnis paling medioker dibanding anggota The Big Four lainnya.
ROE BMRI tahun 2021 juga sudah lebih besar dari tahun 2019.
Apa cerita di balik angka ROE tersebut? Mengapa profitabilitas BMRI bisa pulih lebih cepat? Apakah benar kualitas bisnis BMRI kini telah lebih baik dibanding BBRI? Seperti apa prospek keduanya ke depan?
Oke, mari kita bahas satu per satu!
Mau baca Insight tentang Bank dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
BBRI: Too Big To Not Help
“Tidak ingin ada anaknya yang sukses sendirian, Pemerintah pun meminta BBRI membantu saudara-saudaranya sesama BUMN agar bisa sukses bersama.
Mulai dari memberi utang seperti kepada BUMN Konstruksi hingga memberi bimbingan langsung seperti pembentukan holding Ultra Mikro yang membuat BBRI kini harus bertanggung jawab untuk membuat Pegadaian dan PNM menjadi lebih baik.”
Apakah Right Issue BBRI Layak Ditebus?
Jika kita breakdown ROE BBRI dan BMRI menggunakan analisis DuPont, terlihat bahwa faktor utama yang mendorong turunnya ROE BBRI adalah di Net Profit Margin dan Financial Leverage.

Karena porsi kredit mikro dengan nature high yield yang lebih besar, asset turnover BBRI pun masih lebih tinggi dibanding BMRI.
Namun, kini BBRI kini mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk mengelola high yield loan tersebut sehingga margin laba bersih tergerus. Selain itu, BBRI juga menumpuk lebih banyak modal (ekuitas) yang belum langsung memberi dampak pada peningkatan profitabilitas.
Penyebab utamanya adalah akuisisi Pegadaian dan PNM untuk membentuk holding ultra mikro.
Meskipun menjadi market leader di industrinya masing-masing, kualitas bisnis Pegadaian dan PNM masih jauh di bawah BBRI. Pegadaian punya masalah dengan rasio pencadangan yang rendah dan PNM punya masalah dengan biaya operasional yang tidak efisien.
Akuisisi tersebut jadi semakin mahal biayanya bagi pemegang saham karena dibiayai oleh right issue atau penerbitan saham baru.
Bahkan dibanding akuisisi Pinehill Company oleh ICBP yang menggunakan utang berbunga, cost of capital dari akuisisi melalui penerbitan saham baru tetap lebih tinggi dan paling kurang sehat secara keuangan.

Selama masih di bawah ambatang batas debt capacity perusahaan, utang berbunga selalu akan jadi opsi yang lebih baik dibanding menerbitkan saham baru. Karena penerbitan saham baru akan memberi dua pilihan pelik untuk pemegang saham lama: tambah setor modal atau persentase kepemilikan terdilusi.
Dilusi kepemilikan saham akan menggerus efek pertumbuhan bisnis ke shareholder value.
Hal ini persis yang terjadi pada pemegang saham BBRI. Bukan cuma pertumbuhan laba yang kurang optimal karena harus menanggung tambahan beban untuk Pegadaian dan PNM, tetapi pertumbuhan laba per saham juga terdiskon karena tambahan lembar saham beredar.
Jika seluruh tambahan lembar saham beredar setelah right issue dihitung seolah terjadi sejak awal tahun, pertumbuhan laba bersih BBRI pada tahun 2021 terdiskon hampir separuhnya.
Laba bersih BBRI tumbuh 67% dari Rp 18,7 triliun (disajikan kembali berdasarkan prinsip retrospektif seolah akuisisi Pegadaian dan PNM telah terjadi pada tahun 2020) menjadi Rp 30,8 triliun, sedangkan EPS hanya tumbuh 36% dari 151 menjadi 205.
Save The Economy First
Namun, setelah kami amati lebih detail, bantuan yang diminta oleh negara kepada pemegang saham minoritas BBRI ternyata bukan cuma untuk meningkatkan kualitas bisnis Pegadaian dan PNM, tetapi juga untuk meningkatkan penyaluran kredit program bersubsidi, Kredit Usaha Rakyat (KUR), untuk memulihkan ekonomi yang terkontraksi akibat pandemi COVID-19. Sekali lagi, BUMN Discount.
KUR adalah program pemberian kredit oleh perbankan dengan suku bunga maksimal yang diatur oleh pemerintah dan disertai dengan subsidi bunga/margin. Jadi, debitur yang memenuhi syarat bisa mendapatkan pinjaman dengan bunga/margin yang jauh lebih rendah dari standar komersil.
Sejak tahun 2015, pemerintah telah berhasil menurunkan suku bunga KUR dan kini hanya tinggal 6% saja.

Masalahnya, karena pandemi COVID-19 permintaan terhadap kredit mikro reguler-nya BBRI (Kupedes) turun dan meningkatkan porsi KUR terhadap keseluruhan penyaluran kredit mikro yang selama ini menjadi andalan dari BBRI sebagai low risk profit generator.
Manajemen BBRI pun akhirnya lebih fokus menyalurkan KUR dibanding Kupedes. Mereka menyebut strategi tersebut sebagai “business follow stimulus“.
Bahkan pada tahun 2021, porsi outstanding loan KUR mikro sudah lebih besar dari Kupedes.

Jika tren ini terus berlanjut, apalagi jika ditambah dengan lambatnya progress perbaikan kualitas bisnis di Pegadaian dan PNM, sulit berharap ROE BBRI bisa kembali ke level pre pandemi.
BMRI yang Semakin Baik
Dibanding Big Bank BUMN lainnya, sejarah BMRI sebenarnya yang paling berliku. BMRI yang berdiri pada tahun 1998 merupakan entitas gabungan dari 4 bank BUMN, yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Keempat bank tersebut mengalami kekurangan permodalan yang memaksa pemerintah memberikan suntikan modal dan menggabung mereka untuk membentuk entitas perbankan dengan skala lebih besar yang diharapkan bisa lebih efisien.
Ini skala merger yang jauh lebih besar dan rumit dibanding merger bank BUMN Syariah di BRIS yang kini bernama Bank Syariah Indonesia.
Tugas manajemen BMRI saat itu bukan cuma menyatukan orang dan unit bisnis dari 4 bank berbeda, tetapi juga membuat mereka jadi bank yang lebih sehat secara kolektif. Bad loan harus dibersihkan, pencadangan kerugian harus ditingkatkan, dan penyaluran kredit juga harus bertumbuh dengan tetap prudent.

Tugas berat yang nampaknya mampu dijalankan dengan cukup baik oleh manajemen dan personel BMRI. Sejak tahun 2009, Non-Performing Loan (NPL) BMRI selalu di bawah 5%, ambang batas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sejak tahun 2007, pencadangan kerugian yang dibentuk pun selalu lebih dari nilai NPL-nya (coverage ratio > 100%).
Namun, pada tahun 2016, BMRI kembali mengalami peningkatan NPL yang signifikan hingga 2x lipat. Meskipun NPL-nya masih di bawah 5%, tetapi peningkatan NPL yang signifikan tetap memberi ongkos yang nyata bagi pemegang saham sekaligus menjadi indikasi kurang prudent-nya penyaluran kredit di tahun-tahun sebelumnya.
Kejatuhan harga komoditas dan capital outflow yang mendorong perlambatan ekonomi pada tahun 2015 menjadi tantangan bagi banyak perusahaan di Indonesia, termasuk bank-bank yang punya exposure besar di business/wholesale banking.
Bank yang sangat konservatif seperti BBCA pun mengalami peningkatan NPL dari 0,7% pada tahun 2015 menjadi 1,3% pada tahun 2016.
Sama seperti yang terjadi pada BBNI, kontributor peningkatan NPL terbesar BMRI saat itu berasal dari segmen komersial (menengah). Segmen ini biasanya berisi perusahan-perusahaan dengan skala bisnis yang “tanggung”. Mereka tidak menikmati niche market dengan persaingan yang minim ala pengusaha mikro, tetapi juga tidak memiliki kekuatan keuangan yang biasa dimiliki korporasi besar.

Karena besarnya bad loan di segmen komersial, pada tahun 2016, manajemen BMRI melakukan reorganisasi unit kerja Special Asset Management (SAM) untuk dipimpin oleh manajemer senior (selevel Direksi). Unit kerja SAM ini bertugas untuk mencegah terjadinya NPL melalui restrukturisasi dan memulihkan kerugian melalui penjualan aset jaminan.
Pengalaman memulai operasional sebagai gabungan bank bermasalah membuat manajemen dan personel BMRI lebih terlatih dalam mengelola bad loan.
Meskipun NPL segmen komersial BMRI pada tahun 2021 masih cukup besar di level 8,8%. Namun, sebagian besar bad loan tersebut disalurkan pada tahun 2016 ke bawah. Penyaluran kredit BMRI ke segmen komersial sudah jauh lebih prudent.

Bekal kedisiplinan inilah yang membuat dampak pandemi COVID-19 kepada BMRI tidak separah ke BBNI dan pemulihan kinerja yang lebih cepat dibanding BBRI.
Bahkan, pada tahun 2019, sebelum pandemi, NPL BMRI sudah lebih rendah dari BBRI yang sejak tahun 2017 NPL-nya terus meningkat, meskipun tidak sedrastis peningkatan NPL BMRI pada tahun 2016.
Anak Usaha yang Lebih “Mandiri”
Selain soal tren pengelolaan risiko kredit, BMRI juga mengungguli BBRI dalam hal kinerja anak usaha.
Ingat, karena prinsip konsolidasi, ketika ketika membeli saham sebuah perusahaan, kita tidak hanya memiliki saham entitas induknya saja, tetapi juga berikut dengan anak usahanya plus kepemilikan saham di entitas non-anak usaha seperti entitas asosiasi dan ventura bersama.
Salah satu yang membuat kami masih agak skeptis dengan prospek BBRI pasca konsolidasi Pegadaian dan PNM adalah karena BBRI punya reputasi yang kurang bagus dalam mengelola anak usaha. BRI Agro (AGRO), entitas anak yang diakuisisi sejak tahun 2011 hingga hari ini belum memberikan kontribusi yang sepadan pada kinerja konsolidasi BBRI.
Kinerja anak usaha non-bank BBRI seperti BRI Life, BRI Finance, BRI Insurance, dan BRI Danareksa Sekuritas pun tidak terlalu signifikan dampaknya pada kinerja konsolidasi. Pada tahun 2021, bahkan jika kita tidak menghitung efek konsolidasi Pegadaian dan PNM yang membukukan rugi bersih Rp 2,4 triliun, laba dari entitas anak BBRI hanya Rp 941 miliar atau tidak sampai 3% dari total laba konsolidasi BBRI.
Di BMRI, kontribusi laba dari entitas anak seperti Bank Syariah Indonesia (BRIS) yang sejak merger dikonsolidasi di laporan keuangan BMRI, AXA Mandiri, Mandiri Sekuritas, dan Mandiri Taspen mencapai Rp 3,2 triliun atau setara dengan 11% total laba konsolidasi.
Dari cuplikan corporate presentation BMRI 2021 di bawah ini juga nampak jelas bahwa BMRI memiliki anak usaha yang profitable dan bisa berkembang secara “mandiri”.

Yang Sulit Diubah dari BMRI
Terlepas dari perkembangan positif BMRI dalam pengelolaan risiko kredit dan kinerja anak usaha yang superior, tetap saja ada hal yang menurut kami akan sulit diubah oleh manajemen BMRI, yakni komposisi kredit dan dampaknya pada Net Interest Margin (NIM).
Meskipun manajemen telah mencanangkan strategi untuk memperbesar porsi high yield asset, tetapi kami ragu hal itu bisa berhasil.
Ada dua segmen yang memberi loan yield tinggi, nomor 1 adalah mikro lalu berikutnya adalah konsumen. Dari sisi pangsa pasar, dua segmen ini dikuasai oleh BBRI dan BBCA. Jangan heran jika NIM BBRI dan BBCA lebih tinggi dibanding BMRI dan BBNI.
Keterbatasan jangkauan dan know how dalam mengelola micro lending akan membatasi potensi pertumbuhan BMRI di segmen ini.
Bagaimana dengan segmen konsumen? Bukankah di perkotaan BMRI punya jaringan dan basis nasabah yang cukup bersaing dengan BBCA?
Meskipun BMRI telah memanfaatkan basis nasabah institusinya untuk melakukan cross selling ke nasabah individu seperti melalui skema payroll, BMRI tetap sulit meniru satu hal dari BBCA: customer centric culture.
Coba saja bandingkan tanggapan keduanya untuk keluhan nasabah yang kurang lebih sama.
“Kami menghormati proses hukum serta berkomitmen mengganti dana nasabah jika terbukti terdapat kelalaian di pihak kami sesuai putusan pengadilan. Namun sebaliknya apabila terbukti tidak terdapat kesalahan pada Bank Mandiri, maka kami akan memroses hal itu secara hukum.”
Minar G. Pasaribu (VP Government Business Head Bank Mandiri Regional VII/Jawa 2)
“Sehubungan dengan adanya keluhan salah satu nasabah di media sosial terkait dugaan kehilangan sejumlah dana via penarikan ATM, dapat kami sampaikan bahwa BCA telah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan nasabah.”
Hera F. Haryn (Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA)
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham BTPS. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.