Penawaran saham perdana (IPO) Bukalapak pada 6 Agustus 2021 menjadi momen yang bersejarah bagi pasar modal Indonesia. Bukan cuma menjadi perusahaan teknologi berskala unicorn pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), IPO BUKA juga memecahkan rekor IPO terbesar dengan nilai pendanaan Rp 22 triliun.
Namun, penawaran saham kepada investor publik bukan hanya terjadi pada saat IPO. Perusahaan terbuka yang telah tercatat juga bisa kembali menawarkan saham baru kepada investor, baik dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu.
Saat ini, BBRI sedang dalam proses melakukan penawaran saham terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia melalui skema right issue (dengan hak memesan efek terlebih dahulu) yang menargetkan pendanaan sebesar Rp 41,2 triliun dari investor publik. Hampir 2x lebih besar dari IPO BUKA.
Jika ditambah dengan setoran modal berbentuk inbreng atau penyerahan aset Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM) dari pemerintah, maka tambahan modal yang akan diperoleh oleh BBRI adalah Rp 95,9 triliun. Hampir separuh dari ekuitas BBRI pada tahun 2020 yang berjumlah Rp 194,7 triliun.
BBRI juga jadi salah satu perusahaan publik yang menjadi favorit long term investor karena keunggulan kompetitifnya di perbankan mikro.
Sekilas, pembentukan holding ultra mikro dengan bergabungnya Pegadaian dan PNM adalah pure good news. Aksi korporasi ini akan membuat ekosistem BBRI di perbankan dan jasa keuangan mikro semakin komplit.
Namun, menurut kami, intensi pembentukan holding ultra mikro ini menjadi questionable karena jenis aksi korporasi yang dipilih: right issue + inbreng aset.
Mengapa opsi ini yang dipilih oleh pemerintah? Apa kepentingan di baliknya? Apa saja hal yang perlu dipertimbangkan oleh investor publik terutama yang akan memiliki right untuk menebus saham baru BBRI?
Seperti biasa, mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!