Bagi classic value investor yang masih percaya pada strategi membeli saham di valuasi yang “sangat murah” dan menjualnya di harga yang wajar atau mahal, saham Bank Negara Indonesia (BBNI) adalah sweet spot yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Apalagi dari sisi kuantitatif.
BBNI adalah bank terbesar keempat di Indonesia dan punya rekaman jejak pertumbuhan yang cukup baik sebelum pandemi.
Pada tahun 2019, Bank Tabungan Negara (BBTN), bank kelima terbesar, jumlah asetnya hanya 37% dari BBNI. Sulit sekali untuk menyaingi The Big Four dari segi skala bisnis.
Bank-bank skala menengah yang ingin naik kelas seperti CIMB Niaga (BNGA), Bank Panin (PNBN), dan Bank Danamon (BDMN) pun harus rela pangsa pasarnya digerus oleh BBNI.
Menjadi bank BUKU 4 terbukti tetap tidak mampu membuat BNGA, PNBN, dan BDMN berada di kelas yang sama dengan The Big Four. Kebijakan KBMI (Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti) yang menaikkan standar modal inti dari OJK semakin menegaskan hal tersebut. Jika dulu untuk mencapai BUKU 4 cukup memiliki modal inti Rp 30 triliun, untuk KBMI 4 sekarang butuh Rp 70 triliun.
Pertumbuhan aset BBNI bahkan lebih cepat dari BBCA dan BMRI. CAGR aset BBNI pada 2010-2019, 14,5% per tahun, sedangkan BBCA dan BMRI “hanya” 12,3% dan 12,7%.
Dan yang lebih menggiurkan, bagi classic-quantitative value investor, sepajang tahun 2019, saham BBNI hanya dihargai dengan Price to Earning (PE) Ratio 8-11x. Murah banget!
Namun, karena pandemi COVID-19, bukannya makin “murah”, saham BBNI justru makin “mahal”. PE ratio BBNI pernah menyentuh 60-70x pada Mei-Agustus 2021.
Bahkan, ketika PE ratio BBNI saat ini sudah turun ke level 19x, BBNI tetap saja tidak lagi semurah dulu.
Padahal harga saham BBNI saat ini masih lebih rendah dibanding tahun 2019.
Apa yang terjadi?
Mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!