Bagi banyak kelas menengah muda di perkotaan, BTPN hanyalah bank-nya Jenius. Ramainya percakapan soal digital banking pun membuat Jenius disebut-sebut sebagai pionir digital banking di Indonesia dengan berbagai fitur revolusionernya.
Meski ditinggal orang-orang penting di baliknya yang ikut bersama Jerry Ng ke Bank Jago (ARTO), Jenius tetap bertumbuh dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit kepada BTPN.
Hingga tahun 2020, Jenius telah menyumbangkan dana pihak ketiga sebesar 13,3 triliun rupiah atau setara dengan 14% dari DPK BTPN.
Namun, BTPN sungguh jauh lebih dari sekadar Jenius. Jenius yang baru diluncurkan pada Agustus 2016 juga bukan bagian paling penting dari growth story fenomenal BTPN selama 13 tahun terakhir.
Sebaliknya, investasi pada Jenius justru yang “membebani” income statement BTPN dan menggerus laba bersihnya terutama pada tahun 2016-2017.
Pencapaian Jenius dalam mengakuisisi pengguna juga masih kalah dibanding BTPN WOW!, layanan digital banking lain dari BTPN.
Per Q3 2020, BTPN WOW! telah mengakuisisi 6,7 juta pengguna dengan 3,8 juta di antaranya merupakan pengguna aktif. Adapun Jenius baru memiliki 3,1 juta pengguna hingga akhir tahun 2020.
Sebelum merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia pada tahun 2019, BTPN telah tumbuh superior. Dari tahun 2007 sampai tahun 2018, aset, pendapatan, dan laba bersih BTPN tumbuh masing-masing 23%, 20%, 17% per tahun.
Di tengah lanskap industri perbankan Indonesia yang semakin didominasi oleh the big four (BBRI, BMRI, BBCA, dan BBNI), BTPN tetap mampu bertumbuh cepat dan mengambil pangsa pasar yang lebih besar.
Apa cerita di baliknya?
Mau baca Insight tentang Saham Bank dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Fokus pada Unbanked dan Underbanked Population
Di bawah pengendalian TPG Nusantara yang mengakuisisi BTPN pada tahun 2008 dan Jerry Ng sebagai Direktur Utama, BTPN memposisikan diri sebagai bank untuk mass market atau rakyat kebanyakan dengan kombinasi misi bisnis dan sosial.
Selain terus mengembangkan legacy business mereka di segmen pensiunan, BTPN juga masuk ke segmen usaha mikro kecil yang mereka sebut Mitra Usaha Rakyat (MUR) dan unit usaha syariah yang sejak tahun 2011 fokus pada segmen productive poor yang mereka sebut dengan Tunas Usaha Rakyat (TUR).
Sejak tahun 2013, BTPN membuat segmen bisnis terpisah untuk usaha kecil dan menengah dengan nama Mitra Bisnis. Adapun MUR tetap melayani segmen usaha mikro.
Sejak tahun 2012, TUR yang dijalankan oleh unit usaha syariah pun telah di-spin off (dipisahkan) dan dimerger dengan Bank Sahabat Purba Danarta yang diakuisisi oleh BTPN dan diubah menjadi BTPN Syariah yang kemudian IPO pada tahun 2018.
Jadi, sebelum dikenal sebagai digital bank, DNA BTPN adalah mass market and social bank. Mirip seperti BBRI dengan skala yang lebih kecil, tetapi dengan misi sosial yang lebih kuat.
Namun, misi sosial BTPN tidak dijalankan secara terpisah ala filantropi perusahaan-perusahaan besar. Misi sosial BTPN adalah bagian tidak terpisahkan dari model bisnis mereka.
BTPN memberi berbagai pelatihan kepada nasabah MUR dan TUR agar mereka bisa menjadi pengusaha yang lebih baik dan debitur yang berkualitas.
Untuk menjangkau nasabah mereka yang sebagian besar berada di kota kecil dan perdesaan, BTPN pun secara agresif menambah cabang mereka. Lihat grafik di bawah ini.
Dari hanya 345 cabang (tidak termasuk 1 kantor pusat) pada tahun 2007, jumlah cabang BTPN meningkat signifikan menjadi 1.124 cabang pada tahun 2014. Kantor cabang BTPN didominasi oleh kantor cabang pembantu yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelayanan perbankan pada umumnya, tetapi juga tempat pelatihan dan kegiatan sosial BTPN lainnya.
Pegawai BTPN meningkat secara eksponsial, dari hanya 3 ribuan pada tahun 2007 menjadi lebih dari 25 ribu pegawai pada tahun 2014. Tumbuh rata-rata 33% per tahun.
Lalu apa yang terjadi pada tahun 2015 dan setelahnya? BTPN memutuskan untuk mengubah strategi penjangkauannya. Dari awalnya berbasis cabang konvensional menjadi digital (nircabang).
Pada tahun 2015 pula BTPN meluncurkan layanan digital banking pertama yang bisa digunakan dengan handphone GSM merek apapun meski dengan sinyal terbatas: BTPN WOW!
Cukup dengan mengetik *247# yang merupakan bagian dari Unstructured Supplementary Service Data (USSD), layanan yang disediakan oleh operator telekomunikasi untuk penggunanya mengecek pulsa atau mengakses layanan lainnya.
Dengan BTPN WOW!, masyarakat bisa membuka rekening BTPN dan bertransaksi tanpa harus ke cabang alias 100% online. Nomor handphone-nya berfungsi juga sebagai nomor rekening.
Simple, but helpful technology.
Layanan digital banking BTPN WOW! dikombinasikan dengan agen Laku Pandai (program layanan keuangan tanpa kantor yang didorong oleh OJK) yang bermitra dengan BTPN. Agen BTPN WOW! berfungsi seperti kantor kas yang memungkinkan pengguna BTPN WOW! melakukan tarik dan setor tunai. Sekali lagi, mirip dengan BRI Link yang dimiliki BBRI.
Sebagai bagian dari proses digitalisasi, BTPN bukan hanya mengembangkan BTPN WOW! dan Jenius, tetapi mereka juga melakukan transformasi internal dengan merampingkan jumlah cabang dan pegawai. Lihat grafik di bawah ini.
Jumlah kantor cabang BTPN kini tidak jauh berbeda dengan tahun 2007 sebelum Jerry Ng dkk masuk. Pegawai BTPN pun turun sejak tahun 2016.
Namun, perlu dicatat, jumlah pegawai tersebut termasuk 11 ribu pegawai BTPN Syariah (BTPS), entitas anak BTPN, yang model bisnis memang “padat karya”. Artinya, pegawai BTPN selain BTPS itu hanya 7-8 ribuan pegawai saja.
Selain itu, ada juga merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia pada tahun 2019 yang memberi limpahan pegawai baru kepada BTPN. Artinya, bisa jadi perampingan pegawai lama BTPN masih terjadi.
Digitalisasi itu cuma tools yang hanya berguna jika digunakan pada sasaran yang tepat, bukan one size fits all solution.
- Cabang pembantu yang berfungsi sebagai tempat pelatihan usaha ternyata works.
- Digital banking sederhana berbasis USSD yang dikombinasikan dengan agen Laku Pandai ternyata works.
- Community banking untuk productive poor yang dikombinasikan dengan pelatihan usaha dan periode pembayaran yang lebih pendek (2 minggu sekali) ternyata juga works.
Dengan fokus pada segmen mass market yang unbanked (belum memiliki rekening bank) atau underbanked (belum pernah mendapatkan pinjaman), BTPN bertumbuh dengan “menciptakan pangsa pasar”, bukan merebut pangsa pasar bank lain.
Pada tahun 2020, pinjaman yang diberikan oleh BTPN kepada pengusaha UMKM telah mencapai 12,2 triliun rupiah. Adapun pembiayaan yang disalurkan BTPS mencapai 8,7 triliun rupiah. Jika ditotal, ada 20,9 triliun rupiah.
Tentu saja masih jauh jika dibandingkan kredit mikro yang diberikan oleh BBRI yang mencapai 377,6 triliun rupiah pada tahun 2020.
Tapi dengan hampir 400 triliun kredit mikro yang telah disalurkan oleh BTPN dan BBRI, apakah potensi pasar dari segmen unbanked and underbanked population di Indonesia sudah terbatas?
Sebaliknya, menurut riset Google, Temasek, dan Bain & Company, pada tahun 2019, masih ada 92 juta penduduk dewasa di Indonesia yang unbanked. Dari 89 juta penduduk yang telah memiliki rekening bank pun, 47 juta di antaranya masih underbanked.
Menjadi micro atau mass market bank di Indonesia bukan cuma menyajikan potensi pertumbuhan yang besar, tetapi juga risiko persaingan yang kecil.
Sederhana, kolamnya lebih luas dibanding pemancing yang ada. Sebagian besar perbankan masih fokus pada segmen korporasi dan affluent market yang lebih mudah dikelola.
Coba saja cek. Selain BBRI yang telah merintisnya sejak lama, bank mana yang punya positioning seperti BTPN?
Kalau pun ada, skalanya biasanya sangat kecil.
Pengelolaan Risiko yang Konservatif
Menjadi bank yang profitable dan bertumbuh cepat tidak ada akan berguna jika didasari oleh pengelolaan risiko yang agresif dan tidak prudent (hati-hati).
Inilah “penyakit” yang biasanya menyerang bank-bank menengah. Ambisi pertumbuhan yang besar, biasanya membuat mereka melonggarkan underwriting standard dan membiarkan debitur berkualitas buruk mendapatkan pinjaman.
Saat ekonomi sedang bagus, semua debitur akan terlihat baik, kinerja bank pun hampir semua bagus, tetapi ketika ekonomi mulai melambat atau terkena guncangan seperti kejatuhan harga komoditas, akan terlihat mana bank yang konservatif dan yang tidak.
Secara historis, BTPN adalah bank yang paling mampu mempertahankan NPL-nya pada level yang rendah di tengah berbagai naik dan turunnya siklus ekonomi. Bahkan sedikit lebih baik dari BBCA.
Kok bisa?
“Jika kamu meminjam 100 dollar kepada bank dan tidak sanggup membayar cicilan, kamu sedang dalam masalah. Namun, jika kamu meminjam 100 juta dollar dan tidak sanggup membayar cicilan, bank yang memberimu pinjaman yang sedang dalam masalah.”
J. Paul Getty, Pengusaha Minyak Amerika Serikat
Positioning sebagai mass market banking bukan cuma memberikan potensi pertumbuhan yang besar bagi BTPN, tetapi juga level risiko yang rendah.
Di tengah pandemi COVID-19, NPL BTPN pada tahun 2020 juga tetap terjaga pada level 1,2%, jauh lebih rendah dari rata-rata industri sebesar 3,1%.
Masa Depan Bukan untuk Seluruh Bank Digital
Pandemi COVID-19 yang meningkatkan transaksi digital membuat banyak bank di Indonesia berlomba-lomba menjadi bank digital, entah sekadar dalam bentuk peningkatan kualitas mobile banking atau benar-benar merombak model bisnis.
Selain ARTO yang didukung ekositem Gojek, Bank Neo Commerce (BBYB) yang didukung ekosistem Akulaku, BBCA dan BBRI juga akan mengubah salah satu anak usahanya menjadi bank digital atau neo bank.
Jangan, meski ditinggal pemimpin lamanya ke ARTO, Jenius masih dipimpin oleh “orang lama” yang turut mengembangkan Jenius dari 0.
Pertarungan sengit antar bank digital baru dimulai di Indonesia.
Satu hal yang pasti, tidak mungkin semuanya menjadi pemenang. Akan ada beberapa bank digital yang kalah. Di Eropa, pandemi COVID-19 justru membuat beberapa bank digital tertekan.
Disruptor memang menjanjikan, tetapi incumbent yang responsif dan adaptif justru bisa lebih berbahaya.
Mereka bisa ikut memancing di kolam baru sambil tetap menjaga kolam lama tetap dalam penguasaannya.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi jangka panjang di saham BTPS. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.