EBT (Energi Baru Terbarukan) merupakan arah sumber energi berbagai negara ke depan, tapi sayangnya transisi energi fosil kepada EBT tak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun kesadaran global telah dibangun untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, perkembangan sumber energi terbarukan masih belum menunjukkan indikasi bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil, terutama batubara akan mengalami penurunan secara signifikan dalam waktu dekat.
Hal ini terbukti atas transisi energi fosis menjadi EBT tidak berjalan mulus pada berbagai negara maju. Di saat kebutuhan energi meningkat pesat, mereka tidak mampu segera memenuhinya karena pasokan energi dari EBT belum berjalan maksimal, sementara sebagian besar sumber energi berbasis fosil sudah mereka tinggalkan. Antara naif atau memang terjadi mismatch kebutuhan energi yang tidak diantisipasi.
Pandemi COVID-19 telah menghambat aktivitas ekonomi. Saat ekonomi menurun, permintaan energi juga akan menurun, kemudian produsen energi pelan-pelan memangkas produksinya karena beranggapan bahwa pemulihan ekonomi akan berlangsung cukup lama.
Namun pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 tidak terduga, sejak vaksin pertama dilucurkan, secara cepat banyak yang keluar dari kondisi “lockdown” dan ekonomi berlangsung pulih dengan cepat. Akibatnya, permintaan energi melonjak sekaligus. Pada saat yang sama, pasokan tidak dapat memenuhi permintaan tersebut, akibatnya terjadilah krisis energi.
Sudah jadi prinsip dasar ekonomi, kalau lebih banyak permintaan dibanding pasokan, maka akan menyebabkan harga menjadi naik. Tak heran harga batubara merangkak naik dengan cepat pada tahun 2021 bahkan sempat melebihi US$200/ton. Harga tertinggi sepanjang sejarah.
Pada akhirnya krisis ini banyak mengubah posisi negara-negara maju dan membawa pelajaran bagi negara lain untuk tidak terburu-buru menghentikan batubara sebagai sumber energi primer.
Kenaikan harga batubara dan kelangkaan energi kemudian memberikan keuntungan pada berbagai produsen batubara. Banyak yang telah mendengar perusahaan top batubara di Indonesia seperti ADRO, ITMG atau PTBA, namun ada 1 perusahaan batubara yang cukup jarang diberitakan namun memiliki profitabilitas yang layak diperhitungkan, ia adalah BYAN (PT Bayan Resources Tbk)
Dalam beberapa tahun terakhir BYAN memiliki ROE dan NPM yang lebih tinggi dibandingkan dengan ITMG, ADRO maupun PTBA. Namun apabila kita menarik lebih jauh kebelakang, BYAN sebenarnya memiliki historis kerugian selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 2013-2015.
Pasar kemudian “menghukum” saham BYAN hingga harga sahamnya mengalami penurunan pada 2013-205 dan setelah perbaikan kinerja terkini, harga saham BYAN juga ikut terapresiasi naik dan mencapai all time high.
“I think you have to learn that there’s a company behind every stock, and that there’s only one real reason why stocks go up. Company go from doing poorly to doing well or small companies grow to large companies.”
Peter Lynch
Kinerja luar biasa BYAN pada beberapa tahun terakhir memang layak mendapat perhatian. BYAN yang sempat “melempem” kini membuktikan diri menjadi salah satu produsen batubara paling profitable, sehingga INVESTABOOK memasukkan BYAN dalam watchlist saham compounder.
Namun sejarah kerugian masa lalu membuat banyak orang skeptis dan mulai bertanya, bagaimana BYAN dapat melakukan turnaround? Apa sebenarnya cerita di balik kerugian tersebut? Dan yang paling penting, apakah BYAN memang layak dan tidak akan kembali mencatatkan kerugian di masa depan?
Mau baca Insight tentang Batu bara dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Di Balik Kerugian BYAN
Jika hanya melihat sekilas rasio tanpa menggali cerita, maka kita akan kecewa dengan peforma BYAN pada tahun 2013-2015 yang mengalami kerugian disaat produsen batubara lain masih bisa mencetak NPM (Net Profit Margin) sebesar 2 digit. Apakah harga jual BYAN terlalu rendah?
Bisnis komoditas seperti batubara memiliki satu tantangan besar yang sudah menjadi risiko bawaan, yaitu tidak adanya kemampuan perusahaan untuk mengatur harga. Produk batu bara sebagai price taker membuat perusahaan tidak dapat mengontrol harga jualnya.
Namun BYAN punya cerita lain, kerugian BYAN bukan karena harga jual terlalu rendah. Bahkan ASP (harga jual rata-rata) BYAN saat itu bahkan di atas ADRO dan PTBA.
Jadi apa penyebab kerugian BYAN?
Akuisi Tambang dan Utang
Booming komoditas batubara pada era 2000-an menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi perusahaan produsen batubara. Kenaikan harga komoditas ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Namun, situasi yang menguntungkan ini berubah pada saat terjadi krisis keuangan global pada tahun 2008 ketika harga-harga komoditas menurun begitu cepat.
Pada Kuartal II tahun 2009 – awal 2011, harga batubara mulai mengalami rebound tajam. Akhirnya, banyak perusahaan pertambangan baru yang didirikan dan perusahaan-perusahaan tambang yang sudah ada meningkatkan investasi untuk memperluas kapasitas produksi mereka. BYAN tampaknya ikutan FOMO dan tak mau ketinggalan momen ini, pada tahun 2011 mereka memutuskan untuk mengakuisisi 56.05% saham KRL (Kangoroo Resources Limited), sebuah perusahaan batubara terbuka di Australia. Akuisisi ini dilakukan dengan menggunakan utang sebesar Rp 1,1 triliun.
Sayangnya euforia batubara tak bertahan lama. Harga batubara mengalami penurunan harga akibat kelebihan pasokan yang besar dan diperburuk oleh antusiasme para penambang untuk memproduksi dan menjual batubara sebanyak mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.
BYAN yang mengakuisisi KRL pada harga “pucuk” membuat manajemen harus melakukan evaluasi penurunan nilai terhadap harga yang dibayarkan pada properti pertambangan yang terlanjur mereka akuisisi, akibatnya BYAN melakukan impairment (penurunan nilai) antara tahun 2013-2016 saat harga batubara pelan-pelan mengalami penurunan, sehingga mencatatkan “beban” pada laporan keuangan. Pada saat yang sama, BYAN juga turut menambah utang untuk kebutuhan belanja modal dan kegiatan operasional sehingga menambah beban bunga yang memperburuk catatan laporan laba rugi.
Total Impairment pada 2013-2016 pada tambang batubara KRL mencapai US$ 300 juta, atau sekitar Rp 4,2 triliun dengan asumsi $1 = Rp 14.000.
Pada tanggal 11 Desember 2018, BYAN mengakuisisi sepenuhnya, 43,95% saham KRL (Kangoroo Resources Limited) sehingga efektif sejak tanggal tersebut, BYAN memiliki seluruh saham KRL. 2 Tahun setelahnya, pada tahun 2020 manajemen kembali melakukan pemulihan penurunan nilai properti tambang yang sebelumnya sudah di-impairment.
Apa yang melatarbelakangi hal ini? Padahal tahun 2020 harga batubara juga tidak jauh berbeda pada kondisi tahun 2013-2016 saat dilakukannya penurunan nilai tambang. Apakah manajemen menunggu setelah akuisisi 100% kepemilikan KRL? Atau adakah agenda lain?
Pada laporan keuangan BYAN 2020, manajemen memulihkan provisi penurunan nilai properti pertambangan dengan alasan merasa kondisi lebih pasti dibanding tahun sebelumnya. BYAN telah memiliki izin kehutanan untuk melakukan aktivitas produksi dan penjualan menggunakan infrastruktur yang ada. Hal ini dapat dimaklumi karena Tabang/North Pakar terbukti memiliki stripping ratio yang rendah dan menjadi ujung tombak penghasilan BYAN dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, kami juga menduga bahwa dibalik pemulihan penurunan nilai properti pertambangan yang dilakukan BYAN, terdapat kepentingan PSP (Pemegang Saham Pengendali) untuk membagikan dividen jumbo pada tahun 2020.
Perbaikan Kinerja dengan Keuangan yang Solid
Manajemen tampaknya tak ingin terlalu agresif lagi. Pada laporan keuangan Q3 2021, manajemen telah melakukan pelunasan penuh atas Senior Notes yang beredar termasuk premium, bunga dan pajak sebesar AS$162.854.642. Padahal Senior Notes ini baru akan jatuh tempo pada tahun 2023. Artinya saat ini BYAN tidak memiliki utang berbunga lagi pada neraca keuangannya. Lalu, apakah BYAN akan menambah hutang lagi kedepannya?
Memang tak ada yang bisa memastikan bahwa BYAN akan menambah hutang berbunga lagi kedepannya, dengan melihat kondisi perusahaan yang punya neraca yang sehat, maka masih terbuka kemungkinan bahwa BYAN akan menambah utang berbunga kedepan.
Namun yang menjadi catatan penting, kami menilai BYAN tampaknya “kapok” memiliki leverage yang berlebihan. Sejak 2016 dan perbaikan kinerja, manajemen cukup gencar melakukan pembayaran utang. Hal ini tercermin setelah kenaikan harga batubara pada tahun 2017-2018, BYAN tidak seagresif dulu dan kemudian segera melunasi utang-utangnya ketika memiliki free cash flow yang banyak.
Hal ini juga dipertegas lewat pernyataan manajemen pada Public Expose 2021 bahwa BYAN berencana untuk memakai kas internal untuk seluruh kebutuhan operasionalnya.
Selain itu saat ini BYAN masih memiliki tambang batubara yang cukup besar dan kemungkinan tidak berniat mengakuisisi tambang lain dalam waktu mendatang, melainkan fokus pada tambang tabang yang memberikan keuntungan yang besar.
Punya Cadangan Batubara yang Besar dengan Stripping Ratio Rendah
Salah satu penyebab perbaikan kinerja GPM BYAN setelah tahun 2015 adalah beroperasinya projek Tabang/North Pakar yang memiliki stripping ratio yang rendah. Stripping Ratio biasa disebut dengan nisbah kupas, yaitu perbandingan antara jumlah volume lapisan penutup yang perlu disingkirkan (dalam meter kubik) dan atau ton bahan galian yang ditambang.
Secara sederhana, jika SR (Stripping Ratio) 3,9x maka artinya dibutuhkan 3,9 ton galian kupasan penutup batubara yang harus dibuang untuk menghasilkan 1 ton batubara. Maka, semakin rendah stripping ratio, maka makin murah biaya atau beban galian yang dibutuhkan.
Pada 2012-2014, BYAN memiliki SR diatas 10x, sehingga GPM (Gross Profit Margin) nya tidak mencapai 20% seperti ADRO, PTBA, atau ITMG. Pada 2015, setelah selesainya pembangunan sebagian besar fasilitas infrastruktur pada proyek Tabang yang memiliki SR yang rendah, GPM BYAN berangsung baik bahkan lebih tebal dibandingkan peers nya, PTBA, ITMG, dan ADRO.
BYAN saat ini memiliki 1.120 MT cadangan batubara. Jika produksi BYAN mencapai 40-50MT/tahun, maka BYAN memiliki usia cadangan batubara lebih dari 25 tahun. Cukup berpeluang besar untuk memenuhi harapan manajemen untuk menjadi salah satu “last man standing” di sektor batubara termal.
Tabang akan terus menjadi fokus ekspansi BYAN. Konsesi Tabang, aset produksi utama Bayan saat ini memproduksi sekitar 80% dari total produksi batubara BYAN, adalah salah satu tambang batubara berbiaya terendah di Indonesia, dan memiliki posisi unik untuk memperluas kapasitas dengan pesat dengan belanja modal rendah.
Selain itu, batubara Tabang mempunyai keunggulan atau karakteristik positif seperti abu rendah, sulfur rendah dan telah dinilai secara independen oleh Wood Mackenzie, bahwa batubara Tabang merupakan ranking ke 3 emisi CO2 terendah dari semua batubara termal.
Thermal coal atau yang dikenal juga sebagai steaming coal adalah batubara yang biasa dibakar untuk menggerakkan turbin penghasil listrik baik itu untuk pemenuhan kebutuhan energi publik maupun industri.
Penambahan Kapasitas Produksi & Kontrak Penjualan Batubara
Berdasarkan cadangan dan sumber daya batubara BYAN dan dengan didukung oleh infrastruktur pertambangan yang ada serta rencana pengembangan ke depan, manajemen BYAN berpotensi untuk meningkatkan produksi batubara secara signifikan. Manajemen juga melakukan pembangunan berkelanjutan infrastruktur tambahan yang diharapkan akan selesai pada tahun 2022, target yang dikejar BYAN dengan melakukan ekspansi untuk meningkatkan produksi dan penjualan lebih dari 50 juta MT per tahun pada tahun 2025.
Selaras dengan hal tersebut BYAN saat ini mengaku telah memiliki kontrak penjualan paling sedikit 20 juta MT untuk tahun 2022. Dimana kontrak ini sudah 50% dari penjualan dari 2021.
PSP yang Melakukan Buy back
PSP (Pemegang Saham Pengendali) BYAN saat ini adalah Low Tuck Kwong. Low Tuck Kwong sebelumnya adalah Warga Negara Singapura dan kemudian memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan menjadi WNI (Warga Negara Indonesia) pada tahun 1992.
PSP rajin melakukan buyback pada saham BYAN, tercatat telah terjadi penambahan sekitar 118 juta lembar saham Low Tuck Kwong dari tahun 2017-2021.
Seperti yang telah dirincikan sebelumnya bahwa BYAN melakukan pemulihan nilai tambang pada tahun 2020 dan kemudian membagikan dividen payout sebesar 90%, yang biasanya hanya berkisar 30-60%. Karena itu, kami menduga salah satu alasan di baliknya adalah PSP yang ingin melakukan buyback dari saham yang beredar di publik.
Sebelumnya, sejak IPO di 2008 hingga awal 2018, Low Tuck Kwong menduduki posisi sebagai Komisaris Utama BYAN yang umunya “hanya” melakukan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan yang dilakukan direksi. Namun pada awal tahun 2018, Low Tuck Kwong akhirnya turun gunung dan menduduki posisi sebagai Direktur Utama BYAN untuk mengelola langsung kegiatan operasional BYAN.
Apakah ini didasarkan oleh kekecewaan Low Tuck Kwong pada manajemen lama? Ataukah memang karena murni kecintaannya pada BYAN?
Yang jelas, Low Tuck Kwong memperlihatkannya lewat buyback terus menerus pada saham BYAN yang beredar di publik dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun pembelian saham yang dilakukan PSP tidak menambah value added bagi pemegang saham secara keseluruhan, namun pembelian terus menerus yang dilakukan PSP mengindikasikan adanya alignment antara kepentingan PSP dan long term investor yang memiliki saham minoritas di BYAN.
Adanya indikasi bahwa PSP dan manajemen yakin akan prospek dan profitabilitas berkelanjutan yang dimiliki BYAN cukup beralasan. Siapa lagi yang lebih mengetahui ketangguhan perusahaan dibandingkan “orang dalam” nya sendiri? Keinginan menambah kapasitas produksi, cadangan batubara yang besar dengan stripping ratio rendah, tidak adanya utang berbunga merupakan alasan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa BYAN cukup layak memiliki prospek dan profitabilitas berkelanjutan.
PSP tak rela melepaskan kesempatan ini karena BYAN tak lagi mengecewakan.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untukkeputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham BYAN. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.