Perusahaan rokok, secara return terhadap capital dan eksposur ke pasar, adalah bisnis yang luar biasa. Untuk alasan ini, banyak investor terkemuka yang menyukai bisnis rokok. Tidak terkecuali seorang investor terbaik berusia hampir seabad—yang namanya tidak perlu lagi disebutkan.
Di akhir 1980-an, beliau pernah membuat sebuah pernyataan positif tentang potensi keuntungan dari industri ini:
“Biaya pembuatannya hanya satu sen, dijual satu dolar, buat kecanduan pula. Dan juga ada kesetiaan brand yang fantastis.”
Warren Buffett (1987)
Dalam dunia investasi Buffett, perusahaan rokok yang menjadi top of mind tentu adalah Altria (NYSE: MO) dan Phillip Morris International (NYSE: PM). Kedua perusahaan ini, 30 tahun setelah pernyataan tersebut, terbukti masih berdiri kokoh bahkan mendominasi market dengan ekuitas andalan keduanya: Marlboro. Keduanya juga bisa menaikkan harga jual tanpa takut kehilangan konsumen. Brand loyalty yang disulap menjadi pricing power.
Ketatnya penerapan hukum di US memang jadi penghalang bagi pabrik rokok kecil untuk bersaing dengan perusahaan berskala besar seperti MO dan PM. Namun seperti kata peribahasa: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pernyataan Buffett di Amerika belum tentu 100% benar di belahan bumi yang lain.
Faktanya, di Indonesia sendiri, penerapan regulasinya belum bisa seketat itu. Indonesia menyimpan terlalu banyak loophole dari segi penerapan Undang-Undang hingga keseriusan penegak hukum. Di sini, peta persaingan industri masih dapat bergeser.
Maklum, industri ini menyerap hingga enam juta tenaga kerja dari segmen manufaktur hingga perkebunan. Kondisi ini memberikan banyak kesempatan bagi pabrik rokok-tanpa-cukai untuk berjaya.
Tepat seminggu lalu, Bea Cukai bersama TNI berhasil mengamankan 11,3 juta batang rokok ilegal tanpa pita cukai dalam Operasi Gempur 2021. Menariknya, barang senilai 19 miliar ini ditemukan hanya dari tiga daerah berbeda.
Lalu bagaimana dengan daerah-daerah lain?
Kasus rokok ilegal bukan hal baru di Indonesia. Fenomena ini jadi menimbulkan pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya kultur perokok di Indonesia?
Apakah benar ada brand loyalty di industri ini?
Merokok Adalah Budaya Kita
Banyak budaya warisan leluhur yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah kebiasaan merokok, khususnya rokok kretek yang disebut-sebut berasal dari Indonesia. Sejarah mengenai kebiasaan merokok (kretek) di Indonesia cukup simpang siur. Bukan karena minimnya literatur, namun karena cerita aslinya yang banyak dipelintir oleh masyarakat.
Nursjirwan Soemadji, cucu dari Nitisemito—raja kretek asal Kudus, mengklaim bahwa cerita asal usul rokok kretek sengaja diubah oleh pabrik rokok pesaing agar tidak perlu membayar royalti ke pabrik Tjap Bal Tiga (1908) milik keluarganya.
Ia dan beberapa orang percaya bahwa penemu rokok kretek sebenarnya adalah neneknya, Mbok Nasilah. Berawal dari kejengkelannya dengan kebiasaan orang-orang yang suka nginang (dikunyah) lalu membuang sampahnya sembarangan. Mbok Nasilah kemudian berinisiatif untuk menyediakan lintingan tembakau dalam klobot (kulit jagung).
Mundur ke belakang, Sultan Agung atau Panembahan Senopati dikisahkan memiliki kebiasaan merokok dalam Babad Tanah Jawi. Tapi dari relief Candi Borobudur, tanaman tembakau diperkirakan telah dikenal dan dikonsumsi sejak abad ke-8.
PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) juga terlibat dalam sejarah panjang perkembangan rokok di Indonesia. Ekuitas merek Dji Sam Soe yang diluncurkan pada 1913 adalah salah satu merek rokok kretek tertua di Indonesia.
Perusahaan ini pula yang kemudian “mencekik” bisnis rokok kretek hand-rolled dengan mendatangkan mesin linting pertama di tahun 1960-an. Di bawah panji kepemimpinannya, Aga Sampoerna sang generasi kedua menawarkan pembeda nyata dari teknologi lintingan sigaret yang lebih rapi.
Namun terobosan terbesar justru terjadi di masa kepemimpinan Putera Sampoerna, sang generasi ketiga. Kali ini bukan hanya bentuk fisiknya yang berubah, namun potensi market juga ikut bertambah. Pada tahun 1988, Putera memelopori kemunculan rokok Low Tar Low Nicotine (LTLN) di Indonesia dengan merek A Mild. Kala itu, A Mild dipercaya sebagai rokok yang lebih sehat karena hisapannya lebih ringan.
Jenis rokok campuran antara sigaret putih dan kretek ini kemudian menjadi lifestyle dalam pergaulan anak muda, bahkan hingga hari ini.
Brand Value, Moat Palsu Industri Rokok di Indonesia
Menurut Pat Dorsey dalam buku The Five Rules for Successful Investing, sebuah perusahaan bisa membangun keunggulan kompetitifnya dengan menciptakan dua pembeda:
- Pembeda nyata dengan teknologi atau fitur tertentu
- Pembeda dari persepsi atas brand dan reputasi yang dibangun
Sayangnya, budaya dan sejarah panjang industri sigaret di Indonesia menunjukkan bahwa preferensi perokok tidak pernah mengarah ke faktor nomor dua.
Pembeda demi pembeda yang ditawarkan oleh HMSP sekalipun tidak pernah keluar dari upaya memberikan fitur terbaik dari penggunaan teknologi terbaru. Tak terkecuali A Mild, rokok terbaik mereka yang diyakini mampu mengungguli pasar akibat kesetiaan brand dari konsumennya.
A Mild tidak diproduksi sembarangan. Salah satu penyebab A Mild bisa menguasai pangsa pasar adalah kegigihan Putera Sampoerna dalam melakukan riset ke luar negeri, sembari menggaet ilmuan canggih M. Warsianto untuk membantu meneliti kadar tar dan nikotin yang tepat dalam sebatang rokok.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rokok yang sesuai adalah rokok berukuran 7,5 mm dengan kandungan tar 14 mg dan 1 mg nikotin. Senyawa yang hanya berjumlah 1/2 kali rokok kretek di pasaran pada saat itu.
Ukuran kecil serta senyawa “racun” rendah khas LTLN, dikawinkan dengan rasa cengkih dari rokok kretek yang sudah membudaya di Indonesia, membuat A Mild cocok dengan lidah pekerja ekspatriat yang kemudian menularkan kebiasaan merokok A Mild kepada rekan kerja pribumi. Di tambah lagi, saat itu memang belum ada rokok LTLN yang diperdagangkan di Indonesia.
Bukan merek Sampoerna A Mild yang menarik minat pasar. Namun inovasi berkat teknologi yang datang berbarengan dengan kemunculannya. Pasalnya, pesaing terdekat dengan ekuitas merek Bentoel Mild baru bisa mengusik panggung milik HMSP di tahun 1995, kelang tujuh tahun.
Hingga sekarang, ekuitas merek A Mild bisa menguasai pangsa pasar sebesar 12,4% yang didukung oleh pilihan jeli Putera di tahun 1988. Kesuksesan tersebut kami percayai akibat terobosan teknologi yang didukung oleh first mover advantage. Tidak ada hubungannya dengan persepsi atas kualitas.
1. Downtrading: Tren Baru di Kalangan Perokok
Industri tembakau terkena pukulan beruntun di tahun 2020. Headwind demi headwind silih berganti menekan laju pertumbuhan industri ini. Puncaknya di tahun 2020 ketika pandemi COVID datang berbarengan dengan kenaikan cukai rokok.
Pandemi sekaligus kenaikan cukai bertanggung jawab atas penurunan daya beli masyarakat, yang mengakibatkan adanya penurunan konsumsi rokok ke kelas yang lebih rendah. Kondisi ini disebut downtrading/downshifting.
Downtrading ke Segmen “Tidak Sehat”
Dalam industri rokok, downtrading seringkali terjadi dengan cara beralih mengonsumsi rokok yang memiliki kandungan tar dan nikotin yang tinggi. Rokok jenis ini umumnya lebih cost efficient karena tarikannya lebih berat serta durasinya lebih tahan lama.
Imbas positif dirasakan oleh Indonesian Tobacco (ITIC) yang berfokus pada segmen rokok linting, kelas rokok yang jauh lebih murah karena mengusung konsep DIY (Do it yourself). Bukan merupakan kebetulan bahwa jenis rokok ini memiliki kandungan tar yang jauh lebih tinggi.
Djonny Saksono, Direktur Utama ITIC, pada Pubex 2021 mengakui bahwa turunnya daya beli masyarakat membuat perokok eksisting beralih ke produk ITIC yang merupakan alternatif lebih murah. Di salah satu dialog, beliau juga pernah mengatakan bahwa 40% dari revenue growth ITIC disumbangkan dari pertumbuhan eksisting market saat ini. Efeknya, kerugian 7 miliar yang terjadi tahun 2019 berbalik menjadi laba 6 miliar di tahun 2020.
Adapun performa tak kalah mentereng ditunjukkan oleh Wismilak Inti Makmur (WIIM) dengan rokok andalannya Galan. Galan yang merupakan tipe Sigaret Kretek Tangan mungkin berada di kelas sosial yang lebih tinggi daripada tembakau lintingan milik ITIC, namun hal ini tidak menghalangi WIIM untuk mengungguli performa industri besar seperti GGRM dan HMSP.
Penjualan WIIM yang tumbuh hingga 43% mendorong kenaikan beban pokok penjualan dengan jumlah pertumbuhan yang linear. Kinerja cemerlang datang dari beban usaha yang mayoritas berisikan fixed cost, sehingga hanya mengalami perubahan 4%. Hal ini yang membuat WIIM mampu mencatatkan kenaikan fantastis dari segi margin laba bersih dan operasi.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa saat ekonomi sulit: high tar high nicotine > low tar low nicotine.
Downtrading ke Segmen Murah
Seperti yang sudah disinggung di atas, bukan hanya “beratnya tarikan” sebatang rokok yang menjadikannya pilihan. Keputusan beli juga dipengaruhi oleh harga jual produk.
Manajemen HMSP menyoroti faktor lain yang menyebabkan downtrading. Berbeda dengan manajemen GGRM yang lebih menjelaskan proses pengambilan keputusan di benak para konsumen, manajemen HMSP justru “menyalahkan” pemerintah atas kebijakan yang tidak adil. Sehingga mendorong terjadinya downtrading.
Fair enough, kami sepakat dengan pemikiran manajemen HMSP dalam hal ini. Bukan hanya masyarakat yang cenderung price sensitive, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PMK Nomor 198 tahun 2020 juga mendukung kecenderungan tersebut.
Pengusaha rokok golongan 1 adalah mereka yang memproduksi lebih 2 miliar batang (3 miliar untuk jenis rokok SKM dan SPT) dalam setahun. HMSP yang berada pada golongan ini merasa dirugikan karena harus membayar cukai dalam jumlah lebih tinggi.
Per 2020, HMSP memproduksi tidak kurang dari 79,5 miliar batang rokok. Jumlah yang sangat jauh dibandingkan threshold 3 miliar batang. GGRM, yang skalanya imbang dengan HMSP mencatatkan produksi sejumlah 89,7 miliar batang rokok di tahun yang sama. Sehingga, nilai rata-rata cukai yang wajib dibayarkan oleh kedua perusahaan adalah Rp 865,-/batang.
Dengan struktur biaya setinggi itu, sulit rasanya jika tidak meneruskan kenaikan harga ke konsumen akhir. Pada akhirnya pun, kedua perusahaan memang memutuskan untuk menaikkan harga jual di tahun 2020.
Kontras dengan keduanya, WIIM yang mengalami kenaikan laba bersih hingga >500% hanya memproduksi total 1,9 miliar batang dengan pembagian 512 juta batang SKT dan 1,4 miliar batang SKM. Begitu juga dengan ITIC yang hanya menjual tembakau linting sebanyak 2 ribu ton dan cuma dikenakan cukai 30 rupiah per gram.
Rendahnya cukai yang dibebankan kepada WIIM dan ITIC membuat keduanya leluasa menyesuaikan harga jual sehingga performa keduanya dapat melambung tinggi.
Kesimpulannya, saat ekonomi sulit: rokok murah > rokok mahal.
2. “Brand Loyalty” yang Pincang
Sebuah brand baru menjadi economic moat ketika brand tersebut mampu menciptakan persepsi kualitas yang lebih baik dibanding produk dari brand lain. Petunjuk dari persepsi pembeda tersebut adalah produk yang tetap laku meski dijual dengan harga lebih relatif lebih mahal dibanding produk kompetitor: Persepsi tersebut meningkatkan willingness to pay dari konsumen.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, keberadaan brand bukanlah hal terpenting di industri manapun, jika menurut konsumennya, harga termurah adalah faktor paling penting dalam pengambilan keputusan beli.
Coba tanyakan kepada temanmu yang perokok, apa perbedaan dari ketiga brand ini?
Apakah rasanya berbeda?
Tidak sama sekali. Ketiga rokok di atas berjenis rokok putih (SPM) yang pada prosesnya tidak menggabungkan cengkih atau saus khusus ke dalam produk—seperti rokok kretek. Murni tembakau yang dibalut dengan kertas.
Meskipun begitu, rokok merek Marlboro kepunyaan HMSP selalu memasang harga termahal dengan disparitas harga jual hingga 25% dibandingkan Camel dan Lucky Strike.
Padahal, perokok membeli Marlboro bukan karena rasanya lebih baik daripada Camel, atau kandungan tar dan nikotinnya lebih rendah dari Lucky Strike. Pada umumnya, perokok membeli Marlboro hanya karena mereka mampu. Marlboro adalah pilihan orang elite. Period.
Sehingga, pada siklus waktu yang lebih umum, perokok Marlboro akan shifting ke produk Camel atau Lucky Strike ketika keadaan ekonominya sedang sulit. Jika nanti keadaan semakin memburuk, pilihannya adalah beralih ke rokok Luffman, rokok ilegal yang belakangan sedang naik daun.
Jika ujung-ujungnya keputusan dikembalikan ke harga beli, maka sedari awal memang tidak ada yang namanya brand loyalty.
Berkaitan dengan hal tersebut, besar kemungkinan bahwa volume penjualan industri tembakau yang dikatakan sedang downtrend, diakibatkan oleh shifting konsumen kepada produk rokok yang bahkan tidak terdaftar alias ilegal.
Di saat produsen besar seperti HMSP terpaksa menaikkan harga jual kepada konsumen dengan brand loyalty yang minim, maka pabrik rokok mini dengan brand seadanya mendapatkan kesempatan untuk masuk dan menyebar dengan cepat di pasar.
Brand loyalty sama sekali tidak berperan di industri rokok di Indonesia.
Jika konsumen Marlboro di Indonesia memiliki brand loyalty, maka apa penjelasan dibalik market share yang hanya 2,4%? Padahal Brand Marlboro di dunia menguasai sekitar 29% pangsa pasar.
Dan jika A Mild di Indonesia juga memiliki brand loyalty, bagaimana mungkin terjadi peningkatan konsumsi rokok dengan tar tinggi (serta penurunan konsumsi rokok dengan tar rendah) yang berdampak pada kinerja superior perusahaan sekelas WIIM?
Bukan Brand, Tapi Volume vs Profitabilitas
Di industri yang harganya dipaksa untuk selalu naik, volume terjual harus selalu diadu dengan profitabilitas. Semua pemain punya kesempatan yang sama bila di industrinya tidak berlaku brand loyalty.
Begitulah kira-kira peta persaingan industri rokok di Indonesia. Harga jual pasti naik mengikuti kenaikan cukai dan ketetapan HJE, namun volume penjualan akan terancam turun jika harga selalu dinaikkan tanpa perhitungan.
Pilihannya ada dua:
- Mengorbankan profitabilitas dengan harapan volume penjualan naik; atau
- Mengorbankan volume penjualan dengan harapan profit stabil.
Jangan kira semua pelaku bisnis rokok bisa terus leluasa menaikkan harga jualnya, karena sebetulnya ada perusahaan yang terus mengalami rugi bersih akibat ketidakmampuannya untuk mengikuti kenaikan cukai rokok.
Lalu apakah industri rokok di Indonesia memang tidak memiliki Economic Moat?
Jawabannya, ada. Keunggulan kompetitif inilah yang membantu industri tembakau di Indonesia untuk terus tumbuh, bahkan hingga sekarang.
Kami sepakat bahwa industri tembakau di Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai sunset industry. Keterlibatan pelaku industri di segala elemen mulai dari perkebunan hingga manufaktur hanya memperkuat pertumbuhan industri tembakau di Indonesia. Industri rokok adalah bisnis yang punya competitive advantage dari sisi bahan baku lokal, namun selalu kesulitan dalam menerima manfaat moat tersebut akibat headwind rutin berupa pajak cukai.
Bagaimana pendapatmu? Mari diskusi di kolom komentar!
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi di saham HMSP. Analisis dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.