Di era sekarang, Indomie sudah menjadi bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan digemari oleh berbagai kalangan, baik kalangan tua, muda, pria, wanita, mampu ataupun kurang mampu. Siapa yang tidak kenal dengan Indomie? Bahkan di setiap paket sembako program-program sosial sangat jarang sekali tidak terdapat Indomie.
Minggu-minggu terakhir sebelum menutup tahun 2021, masyarakat kembali merasakan kenaikan harga bahan pokok seperti telur, cabe rawit, minyak goreng, gula, beras dan lain-lain. Bulan lalu harga normal telur di pasar Jakarta sekitar Rp 22.000 per kilogram. Sekarang? Hampir Rp 32.000 per kilogram. Apakah rekan-rekan investor juga mengalaminya ?
Sudah menjadi rutinitas setiap tahun ketika kenaikan bahan pokok seperti minyak goreng menjadi headline berita dengan berbagai respon negatif masyarakat. Seolah-olah menjadi pusat perhatian satu Indonesia.
Hal yang serupa juga terjadi pada kenaikan harga bahan pokok gula dan beras.
Tetapi Indomie merupakan kasus yang berbeda dari bahan pokok lainnya. Sadarkah rekan-rekan investor kalau harga Indomie sudah naik lebih dari 2x lipat selama 10 tahun terakhir ?
Dari 2011 hingga 2021, harga Indomie Goreng naik 108% setara dengan CAGR 7,6%. Bahkan kenaikan harga Indomie lebih tinggi dibanding inflasi makanan Indonesia rata-rata 10 tahun yang “hanya” sebesar 5,5%.
Dengan kenaikan harga yang cukup signifikan, sangat sedikit bahkan hampir tidak ada headline berita dan respon negatif masyarakat soal kenaikan harga Indomie. Coba rekan-rekan investor melakukan pencarian di Google mengenai kenaikan harga Indomie, bagaimana hasilnya? Kemungkinan besar hasil yang muncul adalah berkaitan dengan penjualan Indofood.
Bagaimana Indomie bisa berbeda dengan bahan pokok umum lain? Apa itu brand loyalty dan bagaimana Indomie bisa memiliki brand loyalty yang kuat? Apa efeknya terhadap potensi profitabilitas masa depan Indofood CBP?
Mari kita bahas!
Mau baca Insight tentang Economic moat dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Brand Loyalty, Bagian Penting Moat ICBP
Economic moat adalah indikator utama dari wonderful company yang mampu memberikan imbal hasil tinggi dalam jangka waktu panjang. Moat yang baik layaknya sebuah parit yang dalam (memberikan imbal hasil tinggi) dan lebar (bertahan dalam jangka panjang).
Kedalaman economic moat (high profitability) ICBP bersumber dari akses bahan baku yang murah, operasional bisnis yang semakin efisien, dan kemampuan menentukan harga jual kepada konsumen (pricing power) tanpa kehilangan keinginan beli dari konsumen (willingness to pay) karena brand loyalty Indomie yang kuat.
Brand loyalty menjadi salah satu economic moat yang melindungi profitabilitas ICBP agar bisa bertahan (durable profitability) dalam bisnis mi instan dengan banyak pesaingnya. Brand loyalty bukan hanya sekedar brand awareness, karena produk yang dikenal luas belum tentu membuat konsumen memiliki willingness to pay yang tinggi untuk membeli secara berulang.
Brand loyalty adalah persepsi konsumen atas konsistensi dan jaminan kualitas yang diberikan oleh sebuah produk sehingga konsumen tidak perlu lagi membandingkan secara detail dengan produk lainnya. Indikasi sebuah produk berhasil membangun brand loyalty yang kuat adalah ketika perusahaan dapat menaikkan average selling price tanpa harus kehilangan volume penjualan dan willingness to pay konsumen.
Lahirnya Indomie sebagai Solusi Pangan Indonesia
Bagaimana proses terbentuknya brand loyalty Indomie, Sang Raja Mi Instan? Untuk mengetahui prosesnya, tentu kita harus melihat sejarah lahirnya Sang Raja Mi Instan.
Perjalanan Indomie yang melekat pada masyarakat Indonesia sudah berlangsung sejak 1972, saat peluncuran produk pertamanya yaitu Indomie kuah rasa kaldu ayam. Setelah produk mi instan semakin diterima masyarakat Indonesia dan mengalami peningkatan penjualan, Indomie kembali meluncurkan rasa baru yaitu Indomie kuah rasa kari ayam di tahun 1982 dan Indomie goreng di tahun 1983.
Saat itu, Indomie bukan diproduksi oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) ataupun PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) punya grup Salim seperti yang sudah kita kenal sekarang. Mi instan Indomie pertama kali diproduksi oleh PT Sanmaru Foods Manufacturing Co Ltd yang didirikan tahun 1970 di bawah grup Jangkar Jati. Awal tahun 1970-an, Om Liem (Liem Sioe Liong) pendiri grup Salim belum terjun ke bisnis mi instan dan masih mengutamakan Bogasari yang memonopoli bisnis penggilingan gandum dan pengolahan tepung terigu di Indonesia.
Pertengahan tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru menghimbau adanya diversifikasi makanan pokok selain nasi seperti roti dan mie karena harga beras yang melonjak tinggi. Hal ini juga “tugas” pemerintah saat itu untuk mempromosikan olahan gandum karena mendapat hibah beras dan gandum dari Amerika Serikat.
Produksi beras yang tidak bisa mengimbangi konsumsi dalam negeri saat itu mengakibatkan Indonesia harus meminta bantuan negara lain seperti Myanmar dan Thailand untuk bisa mengimpor beras, bahkan hampir 2 juta ton beras diimpor setiap tahunnya. Pasokan untuk masyarakat umum pun semakin menipis dengan harga yang tidak stabil tiap daerahnya. Karena saat itu angkatan bersenjata dan pegawai negeri sipil diprioritaskan dan menerima gaji dengan upah beras.
Produk mi instan Indomie pun menjadi solusi yang pas untuk masyarakat tahun 1970-an. Penyajian praktis, rasa yang sesuai dengan lidah masyrakat, dan terutama harga yang murah sehingga terjangkau untuk semua kalangan.
Ditambah dengan branding sebagai makanan nasional penuh gizi, tidak lama untuk Indomie menjadi selera Indonesia. Sesuai slogan dan lagu “Indomie Seleraku” yang diiklankan tahun 1980-an dan bertahan sampai sekarang menjadi faktor brand loyalty yang kuat. Tailwind Indomie tahun 1970-an serupa dengan Zoom tahun 2020 lalu. Sebuah produk yang menciptakan solusi bagi masyarakat saat situasi yang buruk terjadi.
“Ada gula, ada semut”. Melihat bisnis mi instan yang maju pesat dan latar belakang di bisnis tepung terigu, grup Salim pun mulai mendirikan PT Sarimi Asli Jaya tahun 1982 yang memproduksi mi instan merek Sarimi. PT Sarimi Asli Jaya juga menjadi perusahaan produsen pangan pertama yang dimiliki grup Salim.
Masuknya grup Salim ke bisnis mi instan tidak berjalan mulus. Grup Salim sudah menyiapkan pabrik dan bahan baku untuk produksi besar-besaran, tetapi karena kalah saing dengan Indomie dan produksi beras Indonesia yang membaik, grup Salim dan Sarimi pun mengalami kesulitan.
Salim pun mencoba menggandeng Indomie. Saat mendatangi Indomie, Salim berkata “Kalian konsumen [tepung] saya, kami punya kelebihan lini. Bisakah kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian”, dikutip dari buku Liem Sioe Liong dan Salim Group. Pihak Indomie awalnya menolak ajakan tersebut, wajar saja jika pemain utama saat itu enggan bekerja sama dengan pemain baru. Perang harga Sarimi dengan Indomie pun terjadi. Grup Salim all out mengeluarkan biaya lebih dari 10 juta USD untuk memasarkan dan memasang harga persis di bawah Indomie.
Selang 2 tahun, pihak Indomie pun menyerah di hadapan Salim yang memiliki akses monopoli bahan baku dan koneksi ke pemerintahan Orde Baru. Salim berhasil menggandeng Indomie untuk bekerja sama dengan Sarimi membentuk PT Indofood Interna Corporation (Indofood IC) pada tahun 1984. Kedepannya, PT Sarimi Asli Jaya grup Salim dan PT Sanmaru Foods Manufacturing Co Ltd akan dikonsolidasikan ke PT Indofood Interna Corporation.
Tidak berhenti sampai di situ, Salim terus memperkuat Indofood sebagai kerajaan bisnis mi instan dan makanannya. Tahun 1986, PT Supermi Indonesia pemain pertama bisnis mi instan di Indonesia diakuisisi oleh Indofood IC. Dalam 4 tahun, grup Salim sudah mengontrol 3 merek mi instan terbesar saat itu. Seperti kekuatan jin yang membantu Bandung Bondowoso membangun 1000 candi dalam 1 malam, inilah kekuatan koneksi grup Salim dengan pemerintahan Orde Baru saat itu.
Tahun 1992, seluruh saham Sanmaru yang dimiliki grup Jangkar Jati diambil alih oleh grup Salim. Salim berhasil menguasai Indomie tanpa ada pihak lain lagi. Barulah pada tahun 1994, semua perusahaan makanan grup Salim digabungkan ke PT Indofood Sukses Makmur (INDF) bersamaan dengan tahun INDF melakukan IPO. INDF saat itu sudah membawahi banyak merek seperti Indomie, Supermi, Sarimie, Pop Mie, SUN, Chitato dan lain-lain.
Indomie: Mienya Indonesia
Lahir menjadi pangeran belum tentu dipilih menjadi raja. Supermi lah pangeran yang lahir nomor 1, sedangkan Indomie nomor 2. Indomie harus mempromosikan keunggulannya agar layak di hadapan rakyatnya (konsumen).
Tahun 1970 sampai 2010-an, media promosi dan iklan terbaik adalah melalui televisi. Lebih dari 4 dekade, menonton televisi menjadi aktivitas utama masyarakat Indonesia untuk mencari hiburan di waktu senggang. Inilah yang dimanfaatkan Indofood untuk membangun brand loyalty Indomie yang kuat dan melekat pada masyarakat Indonesia.
Silahkan rekan-rekan investor menonton iklan Indomie dari tahun 1970-sekarang ini:
Apakah rekan-rekan investor menyadari konsistensi dan esensi iklan Indomie dalam membangun brand identitiy selama lebih dari 40 tahun?
Ya, esensi dari iklan Indomie adalah INDONESIA. Indomie secara konsisten terus menunjukkan nilai-nilai ke-Indonesia-an ditambah kehadiran Indomie untuk masyarakat Indonesia.
- Beragam pakaian adat suku-suku di Indonesia,
- Bendera kemerdekaan merah putih,
- Pekerjaan yang erat dengan sebagian masyarakat yaitu petani, nelayan dan pekebun,
- Kekeluargaan dan silaturahmi di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
4 hal itu lah yang mencerminkan nilai-nilai ke-Indonesia-an dan selalu ada di dalam iklan Indomie.
Begitu juga dengan lirik lagu iklan Indomie yang sekali lagi mencerminkan INDONESIA:
Apakah rekan-rekan investor tanpa sadar membaca lirik di atas dengan nada juga?
Selama 40 tahun lebih Indofood juga telah meluncurkan 19 varian rasa kuliner Indonesia, seperti rasa soto padang, mie goreng aceh, kari ayam medan, coto makassar dan lain-lain, untuk membangun brand Indomie sebagai “Indonesia Mie” (seperti kepanjangan Indomie) yang melekat sampai sekarang di masyarakat menjadi brand loyalty yang kuat.
Kekuatan Brand Loyalty Sang Raja Mi Instan
Indonesia, negara yang sudah mengonsumsi nasi bahkan sebelum merdeka, dapat menerima mi instan olahan tepung terigu dari gandum menjadi bahan makanan pokok.
Bahkan, pada tahun 2020, Indonesia menjadi peringkat ke-2 konsumsi mi instan dunia berdasarkan World Instant Noodles Association, dengan konsumsi mi instan 12,64 miliar porsi setahun, hampir 2x lipat Vietnam yang berada di peringkat ke-3. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia > 4 tahun berjumlah 248,13 juta, itu berarti masyarakat Indonesia setidaknya mengonsumsi 1 bungkus mi instan setiap minggunya.
Berdasarkan survei pasar oleh Indonesian Commercial Newsletter pada tahun 1994, grup Salim sudah menguasai 78,8% market share penjualan mi instan Indonesia melalui Indomie 60,3%, Supermi 7,8%, Sarimi 6,7% dan sisanya merek lain. Kehadiran grup Wings yang juga besar dan kuat dengan Mie Sedaap-nya yang diluncurkan tahun 2003 sempat mengganggu kekuasaan mi instan grup salim, tetapi tetap tidak bisa mengambil mayoritas market share Indomie karena brand loyalty yang sudah mature.
Survei Top Brand tahun 2021, selang 27 tahun, Indomie tetap bertahan sebagai Sang Raja Mi Instan dengan 72,9% market share. Sedangkan Mie Sedaap berada di nomor 2 dengan market share 15,2%, berhasil menggeser Sarimi 3,1% dan Supermi 2,7%.
Twin Engine for Earning Growth
Pricing power juga memiliki dampak positif pada pertumbuhan laba ICBP. Dengan menaikkan harga produk mi instannya, baik melalui kenaikan harga produk ataupun peluncuran produk premium dengan margin laba lebih tinggi, bisnis mi instan ICBP bukan cuma akan mendapatkan stabilitas pertumbuhan penjualan, tetapi juga percepatan pertumbuhan laba karena margin laba yang semakin tebal.
Kenaikan average selling price mi instan selama 10 tahun yang diwakilkan Indomie Goreng dengan CAGR 7,6%, berperan pada pertumbuhan konsisten pendapatan ICBP segmen mi instan mencapai CAGR 9,3%. Margin laba usaha pun juga ikut meningkat karena ditambah faktor efisiensi beban operasional seiring skala bisnis yang semakin besar. Inilah bukti kekuatan brand loyalty Sang Raja Mi Instan.
Kenaikan average selling price per bungkus lebih besar dari average operating cost per bungkus membuat pertumbuhan laba usaha (14%) menjadi lebih besar dan cepat dari pertumbuhan pendapatan (9,3%). Sehingga porsi uang yang dikeluarkan (cost gap) ICBP akan semakin kecil dan porsi bottom line yang diterima pemegang saham akan semakin besar.
Apakah harga Indomie masih akan meningkat di tahun-tahun berikutnya? Jika dibandingkan untuk keperluan makan 1 porsi per orang dengan rata-rata 500-600 kalori, maka pilihannya terdapat:
- Menu Indomie goreng/kuah, sayur sawi, kornet, dan telur = Rp 14.000-15.000*
- Menu warung nasi, paha/dada ayam, tumis sayur, dan telur = Rp 17.000-18.000*
- Menu nasi padang, rendang, sayur nangka, dan daun singkong = Rp 18.000-19.000*
*Kisaran harga Jabodetabek
Dengan value proposition yang sama, selisih harga menu Indomie dengan warung nasi atau nasi padang menjadi peluang Indomie untuk tetap bisa menaikkan harga jualnya. Bahkan belum memperhitungkan nilai brand loyalty dan pricing power Indomie tersebut. Menurut kami, ke depannya Indomie pun masih berpeluang untuk menaikan harga jual dan meningkatkan profitabilitas ICBP secara keseluruhan.
ICBP memang sudah sulit menjual lebih banyak mi instan di Indonesia, sesuatu yang lebih mungkin dicapai di pasar ekspor via Pinehill Company, tetapi hal itu bukan masalah besar karena pricing power dan potensi peningkatan harga yang masih dimiliki Indomie.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham ICBP. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.