Kamu investor pemula dan kesulitan memahami buku The Intelligent Investor? Kamu tidak sendiri. The Intelligent Investor memang cukup sering disarankan untuk menjadi hidangan awal bagi mereka yang ingin terjun ke dunia pasar modal.
The Intelligent Investor adalah buku yang ditulis oleh Benjamin Graham, tokoh yang dikenal sebagai perintis value investing. Sejak pertama terbit hingga sekarang, buku ini terus diapresiasi bagaikan kitab suci.
Sayangnya, selain karena penggunaan bahasa yang agak sulit dipahami (terutama versi terjemahan bahasa indonesia) dan contoh kasus yang jadul, dari pengamatan kami, banyak investor yang gagal memahami pelajaran paling penting dari buku The Intelligent Investor.
Menurut kami, kurang tepat jika kamu berpikir bahwa pelajaran paling penting dari Graham adalah kombinasi PE Ratio dan PBV Ratio <22,5 untuk menentukan saham undervalued, yang akhirnya menjadi dasar penggunaan PE <15x dan PBV <1,5x sebagai screener awal untuk value stock.
Formula yang ditinggalkan oleh Graham melalui buku The Intelligent Investor edisi 1972 tentu saja sudah kuno, dan tidak bertahan menghadapi perubahan zaman.
Peninggalan terbesar Graham melalui buku-bukunya bukanlah formula-formula atau asumsi-asumsi yang sebenarnya terus diuji kembali oleh Graham sendiri melalui edisi-edisi terbaru bukunya.
Bagi INVESTABOOK, ajaran-ajaran intinya tentang value investing yang seringkali di-overlooked-lah yang sebenarnya masih valid, bahkan sampai hari ini.
- Saham bukan hanya simbol ticker di layar monitor; saham adalah kepemilikan dalam bisnis aktual, dan bisnis itu memiliki nilai fundamental yang TIDAK bergantung pada harga sahamnya. Nilai fundamental ini yang kemudian kita sebut sebagai nilai intrinsik.
- Pasar layaknya pendulum yang selamanya mengayun antara optimisme temporer dan pesimisme tak berdasar. Prinsip ini merupakan cikal bakal karakter metafor bernama Mr. Market yang konon ketika optimis, bersedia membeli saham pada harga yang sangat mahal, dan ketika pesimis akan segera menjual saham yang sama namun pada harga yang sangat murah.
- Satu-satunya risiko yang tidak bisa dihilangkan oleh investor manapun adalah risiko melakukan kesalahan. Itulah sebabnya Benjamin Graham mengharuskan adanya penggunaan Margin of Safety dalam berinvestasi. Tugasnya adalah menjaga agar investor tidak membayar berlebihan, semenarik apapun suatu investasi.
Tiga prinsip ini adalah petuah tak ternilai yang ditinggalkan oleh superinvestor Benjamin Graham untuk investor yang hidup bertahun-tahun setelahnya. Namun sayangnya, untuk mengetahui nilai intrinsik, mengambil kesempatan dari Mr. Market, hingga menetapkan Margin of Safety, seorang investor harus mempunyai keyakinan (conviction) atas seberapa berharganya bisnis yang dimilikinya.
Di samping itu, seorang investor tidak dapat memiliki keyakinan yang cukup, jika dari awal tidak memahami cara menganalisis bisnis mulai dari rekam jejak historis hingga potensi pertumbuhannya di masa depan.
Karena itu, kami merekomendasikan buku The Five Rules for Successful Stock Investing karya Pat Dorsey sebagai bacaan awal bagi kamu yang ingin terjun ke dunia investasi saham.
Kamu akan diajak jalan-jalan mulai dari pintu masuk pasar saham, memilih saham dan memasukkannya ke keranjang (watchlist), membandingkan saham berbeda di sektor yang sama, memutuskan saham terbaik, memperkirakan harga yang layak untuk dibayarkan, hingga menyelesaikan pembelian pertamamu. Bahkan buku ini mampu menjawab pertanyaan “kapan saat yang tepat untuk menjual saham yang sudah anda beli tersebut”, hingga menjelaskan karakter masing-masing sektor dan poin-poin penting dari tiap sektor.
Buku yang sangat lengkap dan cocok untuk dijadikan panduan awal “berjalan-jalan” di pasar saham.
Berikut adalah lima takeaway yang bisa kami sajikan:
1. “Resep” Sukses Investasi Saham
Tanpa framework investasi yang jelas, kamu akan menghadapi kesulitan untuk sukses di pasar saham. Sangat mengherankan ketika kita menyadari bahwa sangat sedikit investor —bahkan manajer investasi— yang bisa menjelaskan filosofi investasinya dengan lugas.
Ada cerita menarik ketika Pat Dorsey menghadiri meeting tahunan Berkshire Hathaway, perusahaan konglomerasi yang dipimpin oleh Warren Buffett. Ketika itu, Dorsey tidak sengaja mendengar peserta lain mengatakan bahwa ini akan menjadi kali terakhir ia menghadiri meeting tahunan Berkshire karena “Buffett SELALU mengatakan hal yang sama setiap tahun”. Justru, bagi Dorsey, itulah pentingnya memiliki filosofi investasi yang jelas dan penting untuk terus bertahan dengan filosofi tersebut.
Jika kamu “mengerjakan PR”, mau bersabar, dan menjauh dari keramaian, kamu memiliki kemungkinan besar untuk mendapatkan hasil memuaskan. Justru ketika mulai frustrasi, keluar dari circle of competence dan menyimpang dari filosofi investasi sedikit demi sedikit, kamu akan semakin mulai menemukan kesulitan.
Untuk itulah Pat Dorsey merekomendasikan lima “resep” sukses investasinya:
1. Do Your Homework
Walaupun pengertiannya sudah cukup jelas, tetap saja sepertinya kekeliruan terbesar pada investor adalah gagal memahami dan menginvestigasi saham yang dia beli. Kamu tidak boleh membeli suatu saham tanpa mengerti bagaimana cara bisnisnya bekerja. Investasi mencakup sangat banyak daerah yang tidak sejelas hitam dan putih. Sehingga berharap pada rekomendasi saham yang dibuat oleh orang lain, baik gratis maupun berbayar, tentu akan meninggalkan banyak efek samping, salah satunya kamu jadi tidak punya pemahaman utuh mengenai saham yang kamu beli.
2. Find Economic Moat
Economic moat adalah keunggulan kompetitif yang sulit ditiru oleh pesaing, sehinga perusahaaan dapat memberikan imbal hasil yang tinggi dan berkelanjutan. Layaknya sebuah parit yang melindungi benteng dari serangan musuh.
Memasukkan penilaian economic moat ke dalam framework adalah penegasan bahwa sebagai investor jangka panjang, kamu harus selalu lebih fokus terhadap keunggulan kompetitif suatu bisnis dibanding hal lain. Pada prosesnya, INVESTABOOK sendiri menghabiskan 70-90% waktu untuk menganalisis economic moat suatu perusahaan. Tanpa economic moat yang jelas, profitabilitas hari ini bisa saja merupakan jebakan musiman yang tidak akan terulang lagi di masa depan.
3. Have a Margin of Safety
Margin of Safety, secara harfiah, adalah jaring pengaman. Sebuah konsep everlasting yang merupakan warisan dari Benjamin Graham yang masih digunakan hingga saat ini. MoS sangat erat kaitanya dengan valuasi. Berfungsi untuk memitigasi risiko “membayar kemahalan” untuk harga sebuah perusahaan.
Investor —berbeda dengan spekulator— harus membeli sebuah saham dengan harga di bawah nilai intrinsiknya. Bukan sekadar yakin bahwa seseorang akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi di masa depan.
4. Hold for the Long Haul
Dalam jangka pendek, mood dan momentum akan membentuk harga saham. Adapun dalam jangka panjang, pergerakan harga saham akan mengikuti fundamental perusahaan.
5. Know When to Sell
Menjalankan strategi jangka panjang bukan berarti kamu lantas melupakan saham yang telah kamu beli. Idealnya, kamu ingin agar investasi kamu bisa di-hold selamanya. Namun kamu juga harus mengetahui kapan saat yang tepat untuk menjual saham yang telah kamu beli.
Sebelumnya, kamu harus paham kapan saat yang tepat untuk TIDAK menjual saham yang kamu hold.
- Harga sahamnya jatuh
- Harga sahamnya terbang
Keduanya tidak menjelaskan apapun tentang fundamental perusahaan. Murni mekanisme pasar terkait supply and demand.
Sebaliknya, saat yang tepat untuk menjual saham muncul ketika ada hal lain yang berubah, dari segi fundamental bisnis, maupun dari sudut pandangmu secara keseluruhan.
- Kamu Membuat Kesalahan
Menyadari kesalahan yang kamu buat saat menganalisis perusahaan adalah hal baik. Investor tidak boleh gengsi untuk mengoreksi kesahalannya. - Fundamental Perusahaan Memburuk
Mungkin dalam jangka waktu 2-3 tahun setelah pertama kali membeli, cerita bisnis mulai berubah, profitabilitas mulai tergerus oleh persaingan, konsisi keuangan memburuk, atau perusahaan kesulitan mencari peluang pertumbuhan. Jika situasi sudah berubah dibanding saat kamu membeli, saatnya kamu jual. - Harga Saham Naik Terlalu Jauh dari Nilai Intrinsik
Bukan dibanding harga rata-rata beli, namun dari nilai intrinsik bisnisnya. Ketika pasar terlalu optimis kepada sebuah perusahaan berkinerja bagus, manfaatkan! Namun tetap ingat bahwa perusahaan bagus akan memiliki nilai intrinsik yang berlipat ganda. Jangan sampai terburu-buru mengamankan return ketika perusahaan hanya melewati sedikit nilai intrinsiknya. - Ada Peluang Investasi yang Lebih Baik
Sebagai seorang investor, kamu harus selalu mencari alokasi modal terbaik dibanding risiko yang dibawanya. Menelaah opportunity cost dalam setiap peluang investasi adalah mental model yang harus mulai kamu terapkan. - Portofolio Didominasi oleh Satu Saham
Kerangka yang disebut “Five Rules” oleh Pat Dorsey ini merupakan gabungan dari mindset dan skill set, yang menurut kami, sangat dibutuhkan oleh seorang investor. Jika kamu telah menguasai kelimatanya, maka sukses dalam investasi saham seharusnya hanya tinggal menunggu waktu.
2. Kesalahan yang Harus Dihindari Investor Pemula
Selain lima resep sukses yang dibeberkan secara terstruktur, Dorsey juga tidak lupa menyampaikan tujuh kekeliruan yang sering terjadi. Sekaligus menjagak kita menuju salah satu mental model yang sering diajarkan oleh VP Berkshire Hathaway, Charlie Munger, “inversion“.
Charlie Munger terkenal dengan kalimat nyelenehnya, “satu-satunya hal yang ingin kutahu adalah dimana aku akan mati, jadi aku tidak perlu pergi ke sana”.
Pertanyaan seperti, “bagaimana cara agar pernikahanku sukses dan bahagia?” akan lebih sulit dijawab daripada pertanyaan, “bagaimana cara agar pernikahanku berantakan?”. Temukan jawabannya, lakukan sebaliknya, maka pernikahanmu akan jadi lebih sukses dan bahagia.
Dalam bukunya, Pat Dorsey mengemukakan tujuh kekeliruan yang sangat mudah dihindari namun masih sering dilakukan oleh para investor. Diantaranya:
1. Swinging for the Fences
Dengan kata lain, mengincar pagar setiap kali kamu memukul bola baseball. Mengisi portofolio saham kamu dengan “the next Microsoft” atau “the next lainnya” adalah jalan pintas menuju kesengsaraan. Karena pada dasarnya, menemukan kembali kesempatan-kesempatan yang serupa dari sebuah start-up kecil akan sangat sulit.
2. Believing that It’s Different This Time
Kalimat-kalimat seperti “kali ini pasti berbeda”, dan “paradigma baru valuasi” bukan kali pertama terdengar di tahun 2020-2021 ini. There’s nothing new under the sun. Sejarah akan terulang, bubble akan pecah, dan abai akan sejarah adalah satu kekurangan besar.
“Mereka yang tidak ingat masa lalu akan dikutuk untuk mengalaminya kembali”
George Santayana
3. Falling in Love with Products
Salah satu jebakan investasi yang seringkali berhasil menjebak investor. Karena kelihatan sangat natural dan alamiah. Apple Inc. (NASDAQ: AAPL) memang selalu berhasil menciptakan produk bagus dan inovatif, namun membeli sahamya di harga 30 kali laba bersih tentu bukan merupakan investasi yang bisa dijustifikasi begitu saja. Gunakan pertimbangan lain seperti peluang pertumbuhan pasar dan keberadaan kompetitor. Jangan putuskan hanya karena kamu cinta dengan produknya.
4. Panicking When the Market is Down
Umumnya, saham lebih atraktif ketika tidak ada yang mau membelinya, bukan ketika tiktok traders memberikanmu tips-tips jitu pasar saham. Percayalah, akun-akun sejenis berpartisipasi layaknya highlight berita koran bisnis harian. Gambaran sempurna akan keberadaan Mr. Market yang selalu berubah dari optimisme ke pesimisme berlebihan dalam waktu yang sangat singkat.
5. Trying to Time the Market
Sejalan dengan resep sukses hold for the long haul. Market timing adalah mitor terbesar dunia investasi. Tidak ada strategi yang konsisten menunjukkan kapan harus masuk dan keluar dari pasar.
6. Ignoring Valuation
Satu-satunya alasan membeli saham adalah karena bisnisnya sedang dihargai di bawah kemampuannya menghasilkan arus kas di masa depan, bukan karena seseorang rela membayarnya lebih mahal di masa depan.
7. Relying on Earnings for the Whole Story
Pada akhirnya, bukan laba bersih yang diutamakan, namun arus kas bersih. Untuk berbagai alasan, laba bersih pada laporan keuangan dapat disajikan sebagaimana manajemen menginginkannya. Sebaliknya, laporan arus kas lebih sulit untuk dimanipulasi. Laporan arus kas dapat memberikan lebih banyak gambaran mengenai kondisi bisnis termasuk kesehatan keuangan hingga profitabilitasnya.
3. Mulai dari Arus Kas, Akhiri dengan Laba/Rugi
Kemampuan membaca laporan keuangan adalah fondasi utama untuk menganalisis perusahaan. Dari tiga laporan keuangan perusahaan (exclude laporan perubahan ekuitas), laporan arus kas adalah yang paling blakblakan dalam menunjukkan kemampuan value creation sebuah perusahaan.
Dorsey, bertolak belakang dengan fund manager kebanyakan, menghindari menilai kinerja perusahaan dari laba/rugi terlebih dahulu. Ia merekomendasikan untuk melihat laporan arus kas saat pertama kali mengevaluasi kinerja bisnis suatu perusahaan.
Laporan arus kas menihilkan penghasilan/pengeluaran yang tidak mempengaruhi jumlah uang beredar dalam perusahaan, seperti depresiasi yang dapat kamu temui dalam laporan laba/rugi, sehingga laporan arus kas benar-benar menyajikan informasi aktual berapa banyak kas yang berhasil dikumpulkan perusahaan dalam satu periode pelaporan.
4. Economic Moat: Keunggulan Kompetitif
Economic moat adalah kosakata asing yang masih jarang kita dengar di Indonesia. Padahal kalau kita mau melihat lebih jauh, Warren Buffett sudah membicarakan soal economic moat sejak tahun 1970-an. Saat ini, konsep economic moat sudah mulai dikritisi/re-thinking.
Ketika ada sebuah bisnis yang mampu menghasilkan return sangat tinggi, dapat dipastikan bisnis tersebut juga mengundang adanya kompetisi. Semakin tinggi tingkat profitabilitasnya, semakin kuat pula persaingannya.
Di mana ada gula, di situ ada semut.
Dampaknya, return yang awalnya sangat tinggi bisa-bisa terus menurun, hanya menyentuh rata-rata atau justru hilang karena terdisrupsi oleh pesaing.
Atas dasar itulah kita butuh menganalisis economic moat suatu bisnis. Agar kita bisa mengevaluasi kemampuan bisnis tersebut melindungi profibtabilitasnya dari serangan kompetitor.
Untuk menganalisis economic moat sebuah perusahaan, lakukan empat langkah berikut:
- Evaluasi profitabilitias historis perusahaan
- Temukan sumber profitabilitas perusahaan
- Perkirakan daya tahan economic moat-nya
- Analisis persaingan di skala industri
5. Valuasi
Bisnis luar biasa sekalipun adalah investasi yang buruk jika dibeli pada harga yang terlalu mahal. Untuk bisa sukses berinvestasi, kamu harus membeli perusahaan bagus di harga yang menarik.
Investor membeli aset pada harga di bawah estimasi nilai yang mampu dihasilkan aset tersebut berdasarkan kinerja finansialnya. Sementara spekulator, membeli suatu aset bukan karena percaya suatu aset sedang dihargai di bawah nilai wajarnya, melainkan karena yakin ada orang lain yang mau membeli di harga yang lebih mahal.
Dalam ruang lingkup valuasi, ada dua istilah yang sepertinya selalu datang bersamaan, padahal menolak untuk disamakan. Istilah tersebut adalah valuasi relatif dan valuasi intrinsik.
Valuasi relatif, adalah aktivitas menilai harga saham dengan rasio pasar (market multiple). Contohnya adalah price to sales, price to earnings, EV/EBITDA.
Market multiple adalah rasio. Sayangnya, rasio tidak menceritakan apapun tentang nilai intrinsik, nilai sebenarnya dari suatu saham.
Melakukan valuasi menggunakan market multiple memang gampang, namun ada beberapa jebakan yang dapat membawa kamu kepada kesimpulan yang abu-abu. Karena faktor pembentuknya yang sangat tidak bisa diandalkan, yaitu price (harga).
Valuasi Intrinsik: Nilai Wajar/Nilai Intrinsik
Sebuah saham sebaiknya dibeli saat diperdagangkan pada harga di bawah nilai intrinsiknya, bukan semata-mata karena dihargai lebih murah dibandingkan perusahaan lain pada insdustri yang sama. Berfokus terhadap nilai intrinsik akan memusatkan perhatian kamu terhadap bisnis, bukan harga saham. Toh, tujuan investor adalah membeli sebagian kecil bisnis.
Kerangka nilai intrinsik ada untuk menjawab sebuah pertanyaan mendasar, berapa sepantasnya suatu saham dihargai? Untungnya, Irving Fisher maupun John Burr Williams sudah pernah menjawab pertanyaan tersebut lebih dari 70 tahun yang lalu: Nilai instrinsik suatu saham adalah present value dari arus kas masa depannya. Dengan kata lain, discounted cash flow (DCF).
Mengapa arus kas dan bukan laba bersih?
Jawabannya sangat berkaitan dengan pilihan Pat Dorsey untuk lebih fokus terhadap laporan arus kas daripada laporan laba/rugi. Ini pula yang memisahkan investor independen dari kebiasaan manajer investasi yang terbiasa menggunakan valuasi relatif. Valuasi relatif, pada praktiknya, sangat terikat dengan akun-akun dari laporan laba/rugi seperti sales, earnings bahkan EBITDA.
Perusahaan menciptakan nilai dengan menginvestasikan modal, dan mendapatkan imbal hasil, yang kemudian akan direinvestasikan kembali. Sisa kas yang tidak terpakai adalah potential dividend atau yang kita kenal dengan free cash flow (arus kas bersih). Arus kas bersih nantinya akan diproyeksikan ke masa depan, sehingga investor harus melakukan penyesuaian present value untuk mendapatkan angka potensi arus kas bersih.
Kenapa disebut potensi? Karena ada kemungkinan bagi investor untuk tidak mendapatkan jumlah arus kas yang diproyeksikan di masa depan, yang memunculkan konsep bernama risk premium. Lagipula, uang yang kita terima hari ini tentu lebih berharga daripada uang yang akan kita terima di masa depan (asumsi jumlahnya sama), konsep ini disebut time value of money.
Potential dividend; free cash flow; risk premium; time value of money.
Bahasa-bahasa asing terus bermunculan hanya dalam satu sub-bab. Masih ada istilah lain seperti discount rate, yield hingga beta. Mungkin istilah-istilah asing ini pula yang membuat para pelaku value investing di Indonesia cenderung menghindar untuk melakukan valuasi intrinsik.
Dengan memahami esensi masing-masing kata, dan sedikit latihan bahasa inggris, istilah-istilah tersebut akan mulai make sense dan akan sering kamu gunakan setiap kali kamu melakukan analisis perusahaan.
Risiko atau Discount Rate
Discount rate adalah faktor pengurang yang digunakan dalam model valuasi intrinsik. Asalnya adalah ketidak pastian cash flow masa depan karena risiko bisnis suatu badan usaha dan konsep time value of money.
Tidak ada cara yang pasti untuk menetapkan discount rate yang tepat dalam model DCF, sudah banyak akademisi yang membuat jurnal berisikan pembahasan yang hanya berujung pada diskusi tentang cara terbaik untuk mengestimasi discount rate.
Namun, kita bisa menggunakan tingkat bunga obligasi 10 tahun pemerintah (10y bond) untuk merepresentasikan opportunity cost, karena kita cukup yakin bahwa pemerintah akan sanggup membayar bunga yang sudah dijanjikan.
Tentu saja sebuah bisnis harus bisa menghasilkan lebih dari yield yang kita dapat dari 10y bond, karena jika tidak, untuk apa kita berinvestasi pada bisnis? Cukup beli kupon obligasi pemerintah.
Yang perlu diingat, risiko tidak sama dengan volatilitas harga saham. Sering kali, ketika harga saham jatuh, tidak ada perubahan dramatis pada bisnis di baliknya. Oleh karena itu, konsep beta yang sering kali dikaitkan dengan pergerakan harga saham tidak digunakan oleh Pat Dorsey.
Maka dari itu, Pat Dorsey menawarkan beberapa faktor lain yang menurutnya penting untuk diperhitungkan ketika mengestimasi discount rate. Kami, di INVESTABOOK, menyebutnya sebagai Risiko Kualitatif (Qualitative Risk).
Terdiri dari ukuran perusahaan, financial leverage, siklikalitas, manajemen, economic moat dan kompleksitas.
Inilah keunggulan dari ajaran valuasi Pat Dorsey, tidak melibatkan terlalu banyak perhitungan matematis yang seolah mengaburkan subjektifitas, namun justru menguatkannya sambil menekankan pada pentingnya story di balik asumsi valuasi.
Mau dapet panduan investasi saham untuk pemula, watchlist saham potensial, dan teman diskusi sefrekuensi? Yuk langganan Paket Belajar INVESTABOOK. Dapatkan potongan harga 15% untuk pembelian pertama dengan membuat akun.