Kaya raya adalah impian sebagian besar orang, jika memang tidak semua. Bukan cuma orang yang hidup di jalanan dan tinggal di perumahan kumuh seperti karakter Joshua di Film Joshua Oh Joshua, tetapi juga kelas menengah yang bekerja di ruangan ber-AC dan tinggal di rumah serta lingkungan yang nyaman.
“Duh enaknya jadi orang kaya. Beli apa juga bisa. Pergi ke mana saja bisa. Bisa kaya gak kita ya?”
(Andai Aku Jadi Kaya, OST. Joshua Oh Joshua)
Sama seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh Joshua dan Mega Utami, banyak dari kita juga memaknai kekayaan sebagai kebebasan dalam mengeluarkan uang (spending). Membeli apa pun yang kita inginkan tanpa harus mencari promo dan diskon. Pergi ke tempat mana pun yang kita inginkan tanpa mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan.
Apakah kita bisa mencapainya?
“Bisa, pasti bisa, asal kita rajin bekerja. Bisa, pasti bisa, asal rajin menggapai cita.” (Andai Aku Jadi Kaya, OST. Joshua Oh Joshua)
Joshua dan Mega Utami benar. Kita memang harus rajin bekerja untuk jadi kaya. Bekerja artinya kita menukarkan waktu dan tenaga kita untuk mendapatkan penghasilan yang dapat kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran hidup kita.
Namun, rajin bekerja saja tidak akan cukup membuat kita kaya.
Jika seluruh penghasilan kita selalu habis untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran hidup di tahun yang sama, kita tidak akan pernah jadi orang kaya.
Kita harus mampu menyisihkan penghasilan kita untuk ditabung. Tabungan atau uang yang tidak dibelanjakan adalah building block dari kekayaan.
Saldo tabungan yang terus meningkat adalah tanda kita telah berada di jalur yang tepat untuk menjadi orang kaya.
Namun, tabungan tersebut harus bisa kita kelola untuk bisa mengalahkan inflasi yang menggerus nilai uang sekaligus mempercepat pertumbuhan kekayaan (net worth) kita.
Karena itulah, kita menukarkan cash kita di tabungan dengan aset investasi yang menghasilkan future cash flow seperti obligasi dan saham.
Seiring semakin besarnya nominal yang kita tabung dan efek compounding dari return aset investasi, pada saatnya nanti, kebutuhan pengeluaran hidup kita akan bisa dibiayai sepenuhnya oleh penghasilan dari aset investasi.
This is a simple flow chart on how to be rich.
“Jadi, Kapan Saya Bisa Kaya?”
Segera, ketika penghasilan dari aset investasi, sudah bisa menutupi seluruh kebutuhan pengeluaran hidupmu.
Setiap orang bisa mencapai titik tersebut dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang lebih cepat, ada yang lebih lama.
Namun, dari simple flow chart tadi, kita bisa merinci, faktor-faktor apa saja yang bisa mempercepat dan memperlambat perjalanan kita menjadi orang kaya.
Faktor yang Mempercepat untuk Jadi Kaya
- Penghasilan yang Besar
- Pengeluaran Hidup (Spending Rate) yang Kecil
- Tingkat Menabung (Saving Rate) yang Tinggi
- Keuntungan Investasi yang Tinggi
- Kerugian Investasi yang Rendah
Faktor yang Memperlambat untuk Jadi Kaya
- Penghasilan yang Kecil
- Pengeluaran Hidup (Spending Rate) yang Besar
- Tingkat Menabung (Saving Rate) yang Rendah
- Keuntungan Investasi yang Rendah
- Kerugian Investasi yang Tinggi
Jadi, orang yang bekerja dengan gaji besar sekali pun, belum tentu bisa menjadi orang kaya dengan cepat, jika pengeluaran hidupnya juga besar sehingga hanya sedikit nominal yang bisa ditabung dan diinvestasikan.
Orang dengan penghasilan yang besar dan tingkat menabung yang tinggi juga belum bisa menjadi orang kaya dengan cepat ketika investasinya justru lebih sering berujung pada kerugian.
Orang yang pandai dalam berinvestasi pun akan butuh waktu lama untuk jadi kaya jika penghasilannya masih kecil atau tingkat menabungnya masih rendah.
5 faktor di atas sama-sama punya andil penting dalam perjalananmu menjadi orang kaya. Namun, derajat kepentingannya akan berbeda-beda sesuai dengan usia dan tahapan hidupmu.
Di usia 20an, fokus utamanya adalah memperbesar penghasilan sambil menjaga agar pengeluaran tetap kecil. Peningkatan penghasilan sebelum menikah dan saat masih tinggal dengan orang tua adalah momen terbaik untuk memiliki saving rate yang tinggi.
Mulai usia 30an, ketika kita sudah berkeluarga dan mulai memiliki anak, peningkatan pengeluaran seringkali tidak bisa dihindarkan. Kita juga mungkin perlu mengambil pinjaman untuk mememuhi kebutuhan pengeluaran yang besar seperti membeli rumah.
Namun, kita perlu tetap menjaga agar saving rate kita tidak turun terlalu jauh sambil mengkompensasinya dengan kemampuan berinvestasi yang lebih baik.
Semakin besar aset investasi kita, semakin besar dampak kerugian investasi dan semakin sulit kerugian tersebut dipulihkan.
Karena itu, meski efek akibat keuntungan dan kerugian investasi belum akan terlalu terasa, kita tetap perlu belajar dan membiasakan diri dengan strategi investasi yang konservatif dan hati-hati sejak muda.
Dari Earning Power ke Aset Investasi
Perjalanan menjadi orang kaya adalah proses mengurangi porsi pendapatan dari bekerja dan meningkatkan porsi pendapatan dari aset investasi. It’s quite simple.
Namun, pernahkah kamu bertanya mengapa ada orang yang mau membayarmu untuk melakukan sesuatu a.k.a bekerja?
Pertanyaan tersebut relevan untukmu yang bekerja untuk pimpinan perusahaan atau organisasi (employee), bekerja sendiri untuk klien/konsumen (self-employed/solo entrepreneur), dan bekerja dibantu orang lain untuk klien/konsumen (employer/entrepreneur).
Pada akhirnya, pendapatan selalu datang ketika menjual aset yang kita miliki. Dalam dunia keuangan, aset bukan yang cuma yang tangible (kasat mata dan bisa disentuh), tetapi juga ada yang intangible.
Para fresh graduate yang baru bekerja sebenarnya tidak mulai benar-benar dari 0. Mereka memiliki personal earning power dalam bentuk skill dan reputasi yang telah diraihnya selama sekolah.
Skill dan reputasi tersebut adalah intangible asset yang nilainya sangat besar.
Tidak percaya?
Mari coba kita buat simulasinya.
SBR011, Surat Berharga Negara (SBN) seri terkini yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia menawarkan imbal hasil (yield) 5,5% per tahun atau setara dengan 0,5% per bulan. Dengan yield 5,5% per tahun, artinya kita butuh aset SBR011 senilai Rp 1,1 miliar untuk mendapatkan “gaji” Rp 5 juta.
Pada simulasi A, kita berasumsi bahwa personal earning power kita memberi yield setara dengan SBR011. Artinya, ketika kita mendapatkan gaji RP 5 juta per bulan, kita sebenarnya memiliki intangible asset sebesar Rp 1,1 miliar.
“Ah, mana mungkin saya punya intangible asset sebesar itu?”
Jika kamu masih merasa angka Rp 1,1 miliar terlalu besar, mari coba kita kurangi nilainya jadi Rp 200 juta dalam simulasi B. You know what, dengan gaji Rp 5 juta per bulan, artinya intangible asset-mu memberikan yield 30% per tahun. 4,5x lipat lebih besar dari return SBR011.
Kamu bisa mencoba membuat penilaian versimu sendiri dengan kalkulator earning power yang kami sediakan.
Namun, simulasi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kita tidak bisa meremehkan peran penting personal earning power, terutama di usia 20-30an.
Inilah contoh nyata dari perkataan Warren Buffett bahwa investasi terbaik yang bisa kita lakukan adalah investasi pada diri sendiri.
Jadi, kecuali kamu ingin mendapatkan penghasilan aktif dari bekerja di bidang keuangan dan investasi, kamu harusnya memprioritaskan pengembangan diri di bidang pekerjaanmu.
Jangan sampai yield dari intangible asset-mu menurun karena kamu terlalu sibuk mengejar yield dari aset investasi yang nilainya belum terlalu besar.
Efek compounding dari return investasi perlu waktu untuk bekerja dengan optimal.
Tidak ada cara cepat kaya.
Jika pun ada, risikonya untuk berubah bentuk jadi cara cepat miskin sangat besar.
“Kapan Saya Bisa Beli Mobil Tesla?”
Di Indonesia, harga mobil Tesla Model 3 yang paling murah ada di kisaran Rp 1,5 miliar. Mobil Tesla bisa kamu ganti dengan benda atau pengalaman apa pun yang membutuhkan nominal yang cukup besar untuk membelinya.
Memiliki mobil Tesla, rumah di Pondok Indah, liburan ke luar negeri dan benda/pengalaman mewah lainnya memang akan mengirimkan signal pada orang lain bahwa kamu adalah orang kaya.
Memiliki cash yang cukup untuk membeli benda/pengalaman mewah memang ciri orang kaya. Namun, seperti yang disampaikan oleh Morgan Housel dalam buku Psychology of Money, menggunakan cash yang kita miliki untuk membeli benda/pengalaman mewah justru adalah cara tercepat untuk mengurangi kekayaan.
Jadi, kaya adalah ketika kita mampu membeli Tesla, tetapi kita tidak membelinya. Karena saat kita benar-benar membelinya, kemampuan kita untuk membeli Tesla lagi bisa jadi justru hilang.
Kendali terhadap Waktu adalah Aset Termahal
Jadi kaya harusnya bukan jadi tujuan akhir dari hidup. Jadi kaya hanyalah cara untuk mengambil kendali atas aset termahal dalam hidup kita: waktu.
Kita punya waktu yang terbatas dari sejak lahir dan hingga mati.
Sayangnya, bahkan setelah kita jadi orang dewasa dan tidak lagi bergantung pada “gaji” orang tua, kita tetap tidak benar-benar punya kendali atas waktu kita.
Kita terpaksa harus bekerja di bidang yang tidak terlalu kita suka karena kita butuh uang.
Kita terpaksa tetap bertahan bekerja dengan bos yang toxic karena kita tidak kunjung dapat penawaran dengan gaji yang lebih baik.
Kita terpaksa tidak menemani orang tua kita di hari-hari terakhir hidupnya karena kita harus bekerja di kota besar yang jauh dari tempat tinggal orang tua kita.
Kebutuhan akan uang seringkali mendikte pengambilan keputusan kita dan membuat kita tidak mampu memanfaatkan waktu untuk aktivitas yang paling bermakna.
Bagi kami, bagian terpenting dari menjadi orang kaya bukanlah soal sebesar kekayaan yang dimiliki, tetapi seberapa kebebasan dan kendali atas waktu yang bisa dihasilkan.
Karena itulah, bagi kami, menjadi kaya berarti mencapai kebebasan finansial.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.