Manajemen Portofolio Compounder

Cara saya menyusun dan memantau portofolio saham compounder. Kamu tidak akan sepenuhnya memahami pilihan saham saya tanpa mengerti kebijakan di balik penyusunannya.

Mencari saham-saham yang berpotensi compounding dalam jangka panjang dan menganalisisnya secara komprehensif baru separuh jalan dari quality investing.

Setelah itu, seorang quality investor harus mampu menyusun dan mengelola portofolio yang sesuai dengan tujuan dan profil risikonya.

Jika analisis ala quality investing yang fokus pada kualitas bisnis saja jarang ditemukan, apalagi pembahasan soal cara manajemen portofolionya.

Karena itulah, kami menghadirkan Jurnal Investasi untuk melengkapi Insight tentang Investasi Saham.

Melalui artikel ini, saya akan berbagi kebijakan yang saya terapkan pada portofolio saya dan filosofi yang mendasarinya.

Saya berharap, setelah membaca artikel ini, kalian bisa melihat portolio compounder dalam konteks tujuan, profil risiko, dan preferensi saya yang bisa jadi berbeda dengan kalian.

Seperti Warren Buffett dan Terry Smith yang punya pendapat berbeda soal bisnis bank, seorang quality investor yang independen tidak harus memiliki stock pick yang sama.

“Kami tidak punya satu pun saham bank dan tidak akan pernah punya.”

Terry Smith

“Bank adalah bisnis yang bagus jika mereka tidak melakukan hal bodoh pada aset mereka.”

Warren Buffett

Mau baca Insight dari Portofolio Founder INVESTABOOK dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!

Hanya Beli Saham Syariah

Poin ini mungkin adalah hal paling personal dari kebijakan portofolio saya. Bagi sebagian investor, tentu limitasi ini tidak relevan. Namun, itulah yang saya percaya. Dalam upaya mencari cuan pun, saya harus tetap dalam koridor keberkahan (kebaikan yang compounding hingga ke afterlife).

Karena itu, benchmark saya di pasar saham Indonesia bukanlah IHSG, tetapi Indeks Saham Syariah (ISSI) yang pada saat artikel ini ditulis berisi 468 saham.

Namun, agar tetap bisa memiliki manfaat umum, update portofolio saya akan tetap mencantum IHSG sebagai benchmark, di samping ISSI dan S&P 500 karena saya pun juga memiliki posisi di pasar saham US.

Meskipun di pasar saham US tidak ada otoritas tunggal seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), saya akan tetap mengecek ke beberapa sumber yang menyediakan shariah compliant filter, selain tentu saja menghindari bisnis yang jelas-jelas non-syariah seperti perusahaan bank konvensional, rokok, minuman keras, dan judi.

Bagi saya dan investor lain yang punya kepercayaan yang sama, preferensi ini tentu saja membatasi investable universe dan menambah kesulitan dalam penyusunan portofolio.

Secara historis, dari Januari 2011 sampai Januari 2021, kinerja jangka panjang IHSG terbukti lebih baik dibanding ISSI.

Kinerja Jangka Panjang IHSG dan ISSI

Namun, saya akan menerima hal tersebut sebagai sebuah tantangan. Terlebih, saya pun tidak punya preferensi khusus pada saham syariah bluechip yang kinerja indeksnya (JII70) jauh lebih buruk lagi dibanding ISSI.

Jadi, sebagus apapun bisnis BBCA, sebesar apapun potensi compounding-nya, saya tetap tidak akan membeli sahamnya.

Strategi Tunggal

Salah satu kemampuan Peter Lynch yang tidak bisa saya tiru adalah kemampuannya mengelola lebih dari 1.000 saham dengan beragam karakter story yang berbeda.

Kalian mungkin familiar dengan 6 tipe saham ala Peter Lynch, ada Fast Grower, Stalwart (Moderate Grower), Slow Grower, Cyclical, Turnaround, dan Asset Play. Masing-masing tipe memerlukan alasan beli dan jual yang berbeda. Tiap tipe seperti menjadi satu sub portofolio tersendiri.

Di awal perjalanan investasi saya, saya pun sempat menggunakan kerangka 6 tipe saham dari Peter Lynch dan sejak lama saya memang lebih suka pada tipe fast grower.

Namun, kemudian saya sadar, kerangka tersebut kurang membantu karena penekanan yang terlalu besar pada backward looking performance dan tumpang tindih antar tipe yang kadang terjadi.

Selain itu, style Peter Lynch membutuhkan disiplin manajemen portofolio yang unik. Menurut cerita Chuck Akre, Lynch bisa punya banyak saham karena dia terbiasa membeli seluruh saham di industri yang menurutnya menarik lalu dengan cukup cepat menjual saham-saham yang prospek bisnisnya kurang bagus.

Lynch bisa cut the loser early and hold the winners as long as possible. Disiplin seperti ini sulit dikuasai karena kita cenderung hanya ingin menerima informasi yang positif dan cenderung denial terhadap informasi negatif yang terkait dengan posisi kita.

Investor secara umum, baik individu maupun institusi, lebih sering melakukan sebaliknya: cut the winners early and hold the loser as long as possible. Pakar behavioral finance menyebutnya sebagai disposition effect.

Karena itulah, saya ingin membatasi posisi semaksimal mungkin dan memfilter potential winner stock sedini mungkin. Karena jika sudah ada loser stock yang terlanjur masuk ke portofolio, saya harus melawan ego diri saya untuk tetap terlihat benar, meskipun bisa jadi saya telah melakukan kesalahan (misjudgment).

Saya tahu saya tidak bisa sedisiplin Lynch. Karena itu, saya memilih hanya menerapkan satu strategi saja dalam pengelolaan portofolio: membeli saham compounder pada harga yang masuk akal dan tetap hold selama bisnisnya masih punya potensi compounding yang memuaskan.

“Kami tidak pernah memikirkan waktu atau harga tertentu untuk menjual. Kami sangat bersedia untuk hold saham tanpa batas waktu selama menurut kami nilai intrinsik bisnisnya masih bisa terus mengalami peningkatan yang memuaskan.”

Warren Buffett

Seperti Warren Buffett, saya pun tidak punya target price atau target holding period untuk setiap saham yang saya miliki.

Jadi, saya dengan sadar, akan melewatkan kesempatan keuntungan dari rerating (peningkatan PE) saham-saham berkualitas rendah yang bisnisnya sangat cyclical atau tengah menghadapi masalah keuangan. It’s not my cup of tea.

Dengan fokus pada satu strategi tunggal, saya bisa lebih mudah membandingkan potensi dan opportunity cost dari setiap saham di dalam investable universe saya.

Konsentrasi Alami

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya dapatkan terkait manajemen portofolio adalah berapa banyak saham yang perlu kita punya?

Berapapun sebenarnya, tidak masalah. Charlie Munger hanya punya 3 saham di portofolio pribadinya, meskipun Berkshire juga memiliki saham-saham lain, sedangkan Peter Lynch punya lebih dari 1.000 saham saat dulu masih menjadi fund manager.

Here is the rule of thumb:

Semakin sedikit jumlah saham di portofoliomu, semakin besar dampak kinerja individual saham ke total portolio. Artinya, kamu perlu punya pemahaman dan conviction yang lebih tinggi tentang prospek bisnisnya di masa depan. Kamu harus menjadi penyelam di setiap bisnis yang saham kamu miliki.

Sebaliknya, semakin banyak jumlah saham di portofoliomu, semakin kecil pula dampak kinerja individual saham ke total portofolio. Artinya, kamu cukup jadi snorkeler. Kamu tidak perlu menyelam terlalu dalam.

Mana yang saya pilih? saya pilih yang pertama.

Konsentrasi memang dianggap sebagai salah satu risiko yang harus dikelola manajemen portofolio. Itulah mengapa Harry Markowitz mengatakan bahwa diversifikasi adalah satu-satunya makan siang gratis dalam berinvestasi.

Namun, hal itu hanya relevan jika kamu memandang volatily sebagai risiko. Sesuatu yang tidak disetujui oleh Warren Buffett. Menurutnya, risiko adalah kemungkinan permanent capital loss.

“Kami percaya kebijakan portofolio terkonsentrasi bisa tetap menurunkan tingkat risiko ketika hal itu disertai dengan intensitas investor tersebut dalam memahami bisnis dan tingkat kenyamanan yang tinggi terhadap karakteristik bisnis tersebut sebelum membelinya.”

Warren Buffett

Jika pun volatility tetap dianggap penting sebagai salah satu bentuk risiko, 80% dari volatilitas telah berkurang pada 8 saham pertama.

Dampak diversifikasi pada volatilitas nilai portofolio
Dorsey Asset Management Pitch Deck

Jika kita ingin punya banyak saham tanpa harus menganalisis tiap sahamnya secara komprehensif, ya sekalian saja invest di index fund.

Namun, saya sadar, pemahaman saya terhadap bisnis belum sedalam itu. Saya masih butuh waktu yang lebih panjang untuk memiliki conviction yang sangat tinggi terhadap individual saham tertentu. Sesuatu yang saya percaya bisa terus saya asah jika saya tidak tergoda pada keuntungan jangka pendek atau analisis selain analisis fundamental.

Karena itu, saat ini saya menerapkan allocation limit sebesar 20% di tiap saham, tetapi hanya dari segi cost atau harga perolehan.

Ini adalah cara saya untuk memitigasi confirmation bias karena posisi yang terlalu besar di portofolio sekaligus meminimalisir disposition effect atau kecenderungan menjual winner stock terlalu dini dengan dalih rebalancing.

Saya akan membiarkan portofolio saya semakin terkonsentrasi secara alami dari segi market value.

Jadi, saya batasi adalah komitmen saya pada individual saham tertentu. Jika ternyata komitmen tersebut membuahkan hasil yang bagus, saya tidak akan mengurangi, bahkan justru saya harusnya menambah komitmen saya pada saham tersebut. Tentu saja selama bisnisnya masih punya potensi compounding dan harga penawarannya masih masuk akal.

“Menyarankan investor untuk menjual sebagian saham pemenang hanya karena porsinya sudah terlalu dominan di portofolio itu mirip seperti menyarankan (klub basket) Chicago Bulls untuk menjual Michael Jordan karena dia menjadi begitu penting dalam tim.”

Warren Buffett

Finding My Own GEICO

Saya juga percaya, dalam jangka panjang, hasil investasi saham akan ditentukan oleh 1-2 extreme winner seperti saham GEICO untuk Benjamin Graham. Saya hanya tidak tahu, saham mana yang akan jadi long term extreme winner dari portofolio saya saat ini.

Karena itu, saya tidak terlalu fokus pada seberapa sering tesis investasi saya benar (winning rate), tetapi seberapa banyak keuntungan yang saya hasilkan dari tesis investasi yang benar (winning magnitude).

Winning Magnitude Investment
Materi Quality Investing Course

Conviction Level & Opportunity Cost

Berbeda dengan trader yang bisa dengar mudah mengkategorikan loser stock dan winner stock dari pergerakan harganya dalam jangka pendek, investor akan selalu melihat pergerakan harga sebagai sesuatu yang ambigu dan uncertain.

Saham yang harganya sedang naik bisa jadi compounder stock yang harganya akan terus mencetak all time high dalam jangka panjang, tetapi bisa juga hanya hype stock yang akan momentum harganya tidak akan berlansung lama.

Saham yang harganya sedang turun bisa jadi memberikan margin of safety yang lebih tebal dan upside potential yang lebih besar, tetapi bisa juga justru jadi tanda hancurnya “operational margin of safety” akibat tekanan makro ekonomi atau dinamika persaingan di industri.

Kesabaran bagi investor juga bisa menjadi pisau bermata dua. Kesabaran untuk tetap hold winner stock bisa menghasilkan compound return yang besar, tetapi kesabaran untuk hold apalagi terus menambah posisi loser stock, justru akan membebani kinerja keseluruhan portofolio.

Investor butuh rujukan decision making yang kuat seperti target price dan stop loss limit bagi para trader, tetapi yang terkait dengan kinerja bisnis. Karena kita percaya, kinerja bisnislah yang akan menjadi pendorong utama harga saham dalam jangka panjang.

Dalam mengelola portofolio compounder, saya menggunakan dua rujukan untuk pengambilan keputusan: conviction level dan opportunity cost.

Belajar dari Meja Judi

Tidak, kalian tidak salah baca subjudul di atas. Terasa aneh memang ketika saya dan tim INVESTABOOK berulang kali menekankan perbedaan yang tegas antara spekulasi dan investasi. Terlebih sebagai investor saham syariah, judi jelas aktivitas yang dilarang.

Namun, saya sungguh-sungguh percaya, kalau meja judi, terutama permainan kartu poker, bisa membantu kita membuat keputusan yang lebih baik, bukan cuma dalam investasi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Annie Duke, seorang mantan pemain poker profesional yang kini menjadi pakar ilmu perilaku, mengatakan dalam bukunya Thinking in Bets, kita akan membuat keputusan lebih baik ketika kita memandang setiap keputusan dalam hidup sebagai sebuah pertaruhan.

Kok bisa?

  1. Karena kita selalu punya banyak pilihan dan kita selalu memilih satu pilihan yang menurut kita memberi keuntungan terbaik di masa depan. Keuntungan ini tidak hanya dalam bentuk finansial, tetapi bisa juga waktu, kesehatan, dan sumber daya lain yang sifatnya terbatas. Sesederhana, ketika memilih antrian kasir di supermarket, kita akan secara refleks melihat jumlah pembeli di tiap antrian, isi keranjangnya, atau bahkan kecepatan pelayanan kasirnya untuk memastikan kita tidak membuang-buang waktu.
  2. Sayangnya, kita jarang sekali punya informasi yang benar-benar sempurna untuk mengambil keputusan. Seringkali ada hidden information yang tidak kita ketahui, tetapi diketahui orang lain. Informasi yang tidak tersebar merata ini bisa membuat sebagai orang memiliki unfair advantage. Kembali ke contoh keputusan memilih antrian, pengunjung rutin supermarket tertentu mungkin punya lebih banyak informasi untuk memutuskan mana antrian terbaik.
  3. Tapi bahkan ketika semua informasi tersedia, keberuntungan membuat masa depan selalu tidak pasti. Keputusan yang baik bisa memberi hasil buruk (bad luck), sebaliknya keputusan yang buruk bisa memberikan hasil yang baik (good luck), terutama ketika data point yang tersedia masih sangat kecil. Sebagai contoh, probabilita lemparan koin menghasilkan kepala dan ekor adalah 50:50, tetapi jika kamu hanya melakukan lemparan sebanyak 10x, hasilnya mungin tidak mencerminkan probabilita tersebut.
  4. Secara natural, kita lebih suka mengkonfirmasi kepercayaan kita saat ini (confirmation bias), terlebih ketika hal itu didukung oleh persetujuan kelompok yang punya pandangan/kepercayaan yang sama (tribe). Kita cenderung mengasosiakan keberhasilan kita dengan skill dan kegagalan kita dengan bad luck. Singkatnya, kita tidak terbiasa mengakui kesalahan.

Para pemain poker sadar bahwa mereka harus selalu membuat keputusan berdasarkan keterbatasan informasi yang mereka miliki. Saat dua kartu dibagikan ke masing-masing pemain, mereka harus membuat keputusan, apakah mereka akan ikut bertaruh atau tidak.

Ketika satu per satu kartu mulai dibuka di atas meja. Pemain yang masih ikut bertaruh akan mengevaluasi kembali keputusannya, apakah lanjut bertaruh, meningkatkan taruhan, atau bahkan all in dengan semua chip yang dimiliki.

Karena sadar bahwa mereka selalu dealing dengan uncertainty yang punya konsekuensi, rata-rata pemain poker profesional, hanya menggunakan 20% kesempatannya untuk ikut bertaruh pada saat dua kartu dibagikan ke masing-masing pemain di awal.

Ketika para amatir bertaruh terlalu sering, para profesional memilih pertarungan yang menurut mereka paling bisa mereka menangkan.

Meskipun telah memilih pertaruhan dengan selektif, para pemain poker juga tetap sadar bahwa kekalahan adalah bagian dari permainan. Yang penting adalah berapa uang yang mereka hasilkan ketika menang dan berapa uang yang hilang ketika mereka kalah.

Sounds like quality investor, right?

Keputusan para pemain poker selalu didorong oleh dua hal, conviction mereka terhadap potensi kemenangan dan opportunity cost dari berbagai pilihan lain yang tersedia.

Ketika kita mulai mengadopsi cara berpikir pemain poker, kita akan lebih open minded dan haus akan informasi. Dibanding sibuk mencari pembenaran atas “kartu di tangan”, kita akan lebih penasaran terhadap apa yang orang lain ketahui dan tidak kita ketahui.

Kita bukan cuma memikirkan apa yang bisa membuat kita benar dan menang, tetapi juga apa yang bisa membuat kita salah dan kalah.

Setiap “kartu baru yang di buka di atas meja” akan menjadi dasar evaluasi atas conviction kita. Jika ternyata keputusan kita sebelumnya salah, maka mundurlah dari pertaruhan, jangan justru menambah besaran taruhan.

Sebaliknya, bertaruh lah dengan berani jika kamu yakin bahwa kamu mengetahui apa yang pemain lain tidak ketahui. Bertaruhlah dengan berani ketika susunan kartu di tangan dan meja berpotensi memberimu kemenangan besar.

Bertaruh pada Saham Compounder

Dengan kerangka berpikir seperti pemain poker itulah saya menyusun portofolio saya.

Dari 764 saham di IDX, saya hanya punya 10 saham. Saya hanya hanya bertaruh pada 1,3% kesempatan.

Saya beli 10 saham tersebut ketika saya yakin ada misjudgment yang dilakukan oleh pelaku pasar lain yang memberi saya potensi keuntungan dengan level risiko yang bisa saya toleransi.

Misjudgment itulah yang membuat sebuah saham dihargai di bawah nilai intrinsiknya oleh pasar. Bukan karena PE-nya di bawah 10x atau PBV-nya di bawah 1.

Namun, judgment saya juga belum tentu benar. Apalagi ketika masih banyak informasi relevan yang belum saya ketahui.

Semakin besar kemungkinan saya melalukan kesalahan, semakin kecil porsi yang saya alokasikan ke saham tersebut, semurah apapun saham tersebut. Potensi keuntungan yang besar bisa jadi tidak sepadan jika risiko kerugiannya juga sama besar.

Termasuk ketika conviction saya turun, saya pun akan mengurangi exposure saham tersebut di portofolio dengan cara menambah porsi di saham lain atau bahkan menjual sebagian.

Sebagian contoh, saham PWON adalah saham compounder yang saya beli pada Januari 2019 dan hampir selalu menjadi top 3 holding di portofolio saya. Namun ternyata, meski diikat oleh kontrak, recurring income dari sewa retail space di mall tetap tidak imun dari pandemi COVID-19.

Conviction saya belum hilang terhadap potensi compounding PWON belum hilang, tetapi telah menurun. Begitu pun dengan opportunity cost-nya ketika saya menemukan lebih banyak saham compounder seiring circle of competence saya yang semakin melebar.

Porsi PWON kini tinggal 8% secara cost basis dan 7% secara market value di portofolio saya.

Semuanya Harus Comparable

Saya hanya mengalokasikan porsi yang cukup material (>10%) ketika saya yakin potensi tesis saya salah kecil dan opportunity cost untuk melewatkannya besar.

Untuk melakukan hal tersebut, saya bukan cuma membutuhkan analisis fundamental yang komprehensif, tetapi juga comparable indicator untuk bisa membandingkan setiap peluang.

Di awal perjalanan investasi saya, saya pernah terlalu bias pada sektor consumer branded dan bank dengan anggapan bahwa hanya bisnis-bisnis di dua sektor inilah yang “defensive” dan berpotensi memberi keuntungan jangka panjang yang “stabil”.

Cara pandang yang membuat saya melewatkan peluang di sejumlah bisnis “defensive” lain yang terlihat highly cyclical.

Hanya karena bisnis tersebut berada di sektor yang berbeda, bukan berarti mereka tidak bisa dibandingkan.

Karena tugas semua bisnis sama: mengelola modal dari investor untuk menghasilkan keuntungan kas yang lebih besar dan berkelanjutan di masa depan. Period.

Tidak ada posisi permanen di portofolio saya. Semuanya akan menjadi subjek evaluasi ketika ada “kartu baru yang dibuka di atas meja.”

Jika kartu baru itu membuat conviction level saya turun dan datang peluang lain dengan opportunity cost lebih besar jika dilewatkan, akan mengalihkan posisi saya.

Contoh terkini adalah saham ACES yang saya jual pada November 2021 setelah membelinya pada Maret 2020. Lalu menggunakan dana hasil penjualannya untuk meningkatkan porsi saham PTBA yang mulai saya beli pada Oktober 2021.

Apa Saja yang Saya Pantau?

Jadi, bagaimana konkretnya saya mengevaluasi conviction level saya? Apa saja indikator yang saya pantau?

Satu hal yang pasti: I don’t give a f**k with price action.

Kenapa?

Karena saya telah memilih menjadi long term investor yang melihat saham sebagai kepemilikan bisnis, bukan hanya sebaris kode saham di aplikasi sekuritas.

Saya ingin mendapatkan bagian keuntungan dari kesuksesan sebuah bisnis. Saham saya akan menjadi makin bernilai karena bisnis yang semakin berkualitas dan kemampuan cash flow generation yang meningkat.

Saya tentu akan mendapat keuntungan lebih tinggi jika pelaku pasar lain berekspektasi terlalu optimis terhadap saham yang saya miliki. Namun, sama seperti pesimisme tanpa dasar, optimisme yang berlebihan juga tidak akan berlangsung lama.

“Seperti ajaran Ben (Graham), Charlie (Munger) dan saya mengevaluasi kesuksesan investasi saham kami dari kinerja operasional bisnisnya, bukan dari penawaran harga di pasar saham, baik dalam hitungan hari maupun tahun.”

Warren Buffett

Penurunan harga tidak membuat saya merasa lebih bodoh. Sebaliknya, peningkatan harga juga tidak membuat saya merasa lebih pintar.

Harga hanya penting ketika ingin melakukan transaksi beli atau jual.

Jika bisnis yang saya miliki menunjukkan perkembangan kinerja operasional yang baik, tetapi pasar belum mengapresiasi, maka ini adalah kesempatan untuk menambah posisi.

Margin of safety bertambah bukan cuma ketika harga saham turun, tetapi juga ketika nilai intrinsik meningkat.

Hampir semua investor besar memahami bahwa kinerja (harga saham) jangka pendek adalah indikator yang buruk untuk mengevaluasi kualitas keputusan. Annie Duke menyebutnya sebagai resulting.

Long term investor yang melebih-lebihkan floating loss atau floating profit jangka pendek itu seperti orang yang berkesimpulan bahwa probabilita lemparan koin menghasilkan sisi kepala adalah 80% karena “secara historis” dalam 10x percobaan, 8x sisi kepala yang muncul.

No, it’s too small data point.

Investasi adalah pertaruhan sepanjang hidup. Seperti permainan poker yang berlangsung puluhan tahun. Keputusan yang telah saya buat di masa lalu, harus tetap saya evaluasi dengan forward looking.

Saya lebih rela melakukan banyak kesalahan dengan kerugian yang kecil dan jadi lebih waspada, dibanding jumawa karena terlalu sering benar. Seperti Bill Miller, fund manager yang 15 tahun berturut-turut beat the market, tetapi kemudian mengalami kerugian telak akibat average down terus menerus di loser stock Global Financial Crisis seperti Bear Stearns, Citigroup, dan AIG.

Realisasi Cerita Bisnis

Dalam berinvestasi, kita selalu membeli masa depan.

Kita menukarkan cash yang kita punya hari ini dengan potensi cash flow yang ditawarkan di masa depan. Inilah yang dimaksud oleh Buffett dengan “price is what you pay, value is what you get.”

Sebaliknya, ketika kita menjual saham, kita menukarkan potensi cash flow tersebut dengan cash hari ini. Jika kita modifikasi pertakaan Buffett di atas, maka ketika menjual saham, price is what you get, value is what you let go.

Jadi, singkatnya, intrinsic value dari sebuah aset adalah kemampuannya dalam menghasilkan cash flow. Inilah yang saya estimasi ketika saya ingin mengukur apakah harga penawaran di pasar saat ini masih masuk akal atau tidak.

Untuk membuat estimasi yang masuk akal, saya butuh cerita bisnis yang kuat.

Akan seperti apa bisnis tersebut berevolusi di masa depan? Seberapa besar potensi pertumbuhannya? Seberapa besar investasi yang dibutuhkan untuk memanfaatkan potensi pertumbuhan tersebut? Apakah bisnis tersebut memiliki kemampuan untuk menahan serangan pesaing dan tekanan makro ekonomi? Apakah ada aksi korporasi yang menggerus terlalu banyak value untuk investor minoritas?

Cerita inilah yang terus saya pantau dari waktu ke waktu.

Apakah informasi baru yang saya dapatkan memperkuat atau justru menegasikan apa yang saya pahami saat pertama kali melakukan pembelian?

Seperti pertaruhan dalam permainan poker, conviction kita harus selalu dievaluasi setiap ada kartu baru yang dibuka di atas meja.

Meskipun analisis fundamental yang komprehensif bisa menghabiskan puluhan atau bahkan ratusan halaman, tetapi tesis investasi atau story di balik pembelian saham harusnya sudah merupakan poin-poin kunci yang ringkas.

Seperti kata Albert Einstein, “everything should be made as simple as possible, but not simpler.”

Tesis investasi yang sederhana akan memudahkan kita untuk memantau realisasinya.

EPS Growth & PE at Average Cost

Saya percaya, analisis kualitatif dan kuantitatif adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Realisasi story tidak bisa hanya tercermin dalam kata-kata, tetapi juga angka.

Salah satu cara yang saya gunakan untuk mengevaluasi apakah saya berekspektasi terlalu tinggi pada sebuah bisnis adalah mengukur perkembangan EPS dari kuartal ke kuartal dan membandingkannya dengan average cost saya. Saya menyebutnya sebagai PE at Average Cost.

Mengapa tidak menggunakan rasio PE yang biasa? Membandingkan EPS terkini dengan harga saat ini?

Karena saya tidak sedang ingin melakukan aksi beli atau jual. Saya sedang mengevaluasi keputusan beli saya di masa lalu.

Kembali ke prinsip dasar, “price is what you pay, value is what get.” Selama saya tidak melakukan apapun, average cost saya tidak akan berubah, tetapi value-nya yang saya dapatkan bisa terus compounding.

Jadi, seiring waktu, saham compounder justru bisa jadi semakin murah dibanding harga pembelian kita dulu. Karena bukan cuma harga sahamnya yang meningkat, nilai intrinsiknya juga.

Jika kamu membeli saham BBCA pada akhir tahun 2010 dengan PE 19x dan tidak pernah melakukan apapun, PE at Average Cost-mu hanya 6x di tahun 2020. Jika pakai PBV, sejak tahun 2019, harga yang kamu bayar pada tahun 2010 sudah di bawah dari book value alias PBV < 1.

PBV & PE BBCA

Saya ingin, harga yang saya bayarkan pada saham-saham di portolio saya ke depan terus menjadi semakin murah karena EPS-nya yang terus bertumbuh.

Sebaliknya, saya pun ingin terhindar dari value trap, saham yang terlihat murah karena PE yang rendah, padahal bisa jadi mahal dibanding risiko penurunan EPS-nya di masa depan. Mirip seperti pembelian BBNI pada tahun 2019.

Jadi, saya ingin mencari saham yang seperti BBCA dan menghindar sebisa mungkin dari saham yang seperti BBNI.

Current & Expected ROE

“Pertumbuhan hanya akan memberi manfaat kepada investor ketika bisnis tersebut mampu berinvestasi dengan imbal hasil yang menarik, dengan kata lain, hanya ketika setiap dollar yang digunakan untuk membiayai pertumbuhan menciptakan setidaknya satu dollar dalam bentuk nilai pasar jangka panjang. Ketika bisnis yang memiliki return rendah membutuhkan tambahan pendanaan, pertumbuhan justru merugikan investor.”

Warren Buffett

Melihat EPS saja bisa menjebak. Bagi quality investor, EPS harus selalu dilihat sebagai hasil dari modal yang diinvestasikan. ROE tetap harus menjadi north star metric.

Perusahaan yang EPS-nya bertumbuh 10% akan tetap mengalami penurunan ROE ketika book value-nya meningkat 20%.

Penurunan ROE adalah salah satu indikasi kegagalan perusahaan dalam meng-compound tambahan modal yang diberikan oleh pemegang saham.

Namun, saya tidak akan serta merta menjual perusahaan yang ROE terkininya turun, saya harus memahami dulu cerita di baliknya. Apa penyebabnya? Seberapa lama tren penurunan ROE itu akan terjadi ke depan? Apakah ada ekspektasi saya yang berlebihan di masa lalu?

Karena saya ingin portofolio saya diisi oleh high quality business yang punya potensi besar untuk compounding di masa depan, saya tidak akan membiarkan ada low quality business berada terlalu lama di sana. Jika saya menemukan opsi yang lebih baik, baik saham baru maupun saham yang sudah ada di portofolio saya, saya akan segera melakukan pemindahan posisi.

Saya percaya, turnaround sangat jarang terjadi. Penurunan ROE seringkali terjadi karena kita melebih-lebihkan durability dari ROE-nya di masa lalu.

Saat ini, rata-rata tertimbang ROE di portofolio saya adalah 26%. Jika pandemi COVID-19 bisa terus terkendali dan pemulihan ekonomi berlanjut, saya cukup percaya diri ROE portofolio saya bisa lebih dari 30%.

How to Make You Less Stupid, Consistently!

Agar sebuah ajaran bisa berlaku universal, maka ajaran tersebut tidak boleh terlalu spesifik. Itulah yang sering saya temukan ketika membaca surat-surat Warren Buffett.

Buffett lebih sering memberikan general guidance, dibanding formula-formula yang spesifik. Kita masih perlu mengoperasionalisasikan ajarannya menjadi kerangka yang lebih konkret.

Seperti halnya konsep economic moat yang tidak pernah dijelaskan terlalu detail penerapannya oleh Warren Buffett, begitu pun dengan kerangka dalam manajemen portofolio.

Jadi, meski kalian membaca banyak kutipan Buffett di atas, tidak berarti Buffett akan setuju dengan seluruh kebijakan portofolio saya yang terapkan. Terutama ketika menyangkut indikator spesifik seperti penggunaan PE at Average Cost, misalnya.

Lihatlah kebijakan portofolio saya sebagai salah satu contoh penerapan dari ajaran Warren Buffett, Charlie Munger, Terry Smith, dan quality investor lainnya.

Semakin umum pembelajaran yang kamu ambil, semakin bernilai pembelajaran tersebut untukmu.

Menurut saya, benang merah, dari semua kebijakan portofolio yang beragam adalah, bagaimana caranya agar kita bisa secara konsisten tidak melakukan hal bodoh. Yang kita kelola sebenarnya bukan saham di portofolio, tetapi cara kita melihat dan bertindak terhadapnya.

“Betapa banyak keuntungan jangka panjang yang diperoleh orang-orang seperti kami yang berusaha untuk tidak bodoh secara konsisten, alih-alih berusaha menjadi sangat cerdas.”

Charlie Munger

DISCLAIMER:

Jurnal Investasi adalah dokumentasi perjalanan dan pembelajaran investasi Alfisyahrin, Founder dan CEO INVESTABOOK. Catatan ini dibuat semata hanya untuk edukasi, bukan merupakan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.

Alfisyahrin

Investor aktif sejak 2018. Suka ngulik data dan mengenali pola sejak kuliah di Sosiologi Universitas Indonesia. Percaya tentang pentingnya kualitas dalam berbagai urusan, termasuk dalam investasi. Sangat tertarik pada titik temu antara keuangan, media, dan teknologi.

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
5 1 vote
Rating Analisis
Subscribe
Notify of
3
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!