Tidak seperti consumer goods yang menjadi bisnis kebutuhan pokok yang langsung berhubungan dengan konsumen akhir (masyarakat), konsumen akhir batubara bukanlah individu masyarakat melainkan perusahaan-perusahaan energi yang membutuhkan batubara sebagai sumber bahan bakar utama mereka.
Karena kebutuhan masyarakat akan bahan pokok itulah yang menyebabkan profitabilitas sektor ini jadi lebih stabil. Berbeda dengan sektor komoditas seperti batubara.
Industri batubara termasuk salah satu sektor yang cukup siklikal karena profitabilitas perusahaan yang sangat bergantung pada harga jual komoditas.
Jika berbicara mengenai batubara, tentu kita tidak asing dengan nama-nama perusahaan besar seperti Adaro Indonesia (ADRO), Bukit Asam (PTBA), Indo Tambangraya Megah (ITMG), dan lain-lain.
Tidak hanya memproduksi batubara yang besar setiap tahunnya, mereka juga mampu merubah batubara menjadi keuntungan yang besar pula bagi perusahaan. Profitabilitas yang dihasilkan tidak perlu diragukan lagi. Wajar, mengingat ukuran perusahaan yang sudah cukup besar dan mature.
Perusahaan besar ini mampu tetap survive di keadaan sulit pasca meledaknya pandemi COVID-19 dikala perusahaan lain cukup banyak terdampak pada profitabilitasnya.
Namun, ada satu perusahaan yang mungkin sebagian besar investor belum familiar dengan namanya karena tertutup bayang-bayang perusahaan besar, yaitu PT Mitrabara Adiperdana Tbk (MBAP).
Memang MBAP ini bisa dikatakan masih “muda” jika dibandingkan dengan perusahaan lain. Perusahaan yang berdiri di tahun 1992 ini baru memulai produksinya di tahun 2008 lalu dilanjutkan dengan IPO pada tahun 2014.
Produksinya saja saat ini hanya sebesar 3,2 juta ton di tahun 2020, proporsinya hanya 11% dari total produksi batubara PTBA di tahun 2019. Apalagi jika dibandingkan dengan ADRO yang produksinya sudah mencapai angka 58 juta ton.
Namun, Perusahaan baru dengan produksi batubara yang kecil bukan berarti otomatis menjadikannya sebagai perusahaan mediocre, bukan?
Produksinya memang kecil, namun profitabilitasnya boleh diadu dengan perusahaan besar lainnya. Rata-rata Return on Equity (ROE) MBAP selama 7 tahun terakhir menyentuh angka 32%. Sesuatu yang cukup mengejutkan ROE sebesar ini ada pada perusahaan batubara.
ROE MBAP memang terlihat terus mengalami penurunan sejak booming harga batubara di tahun 2018. Namun, hal ini wajar mengingat industri batubara merupakan industri yang cyclical ditambah dengan adanya ketidakpastian ekonomi akibat munculnya pandemi COVID-19. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan lain.
Perusahaan sekelas PTBA saja yang ROE-nya selalu double digit tidak mampu menyaingi ROE milik MBAP sejak 2014. Bahkan saat pandemi COVID-19 sekalipun, ROE MBAP tetap mengesankan yakni mampu mencapai >18%. Bandingkan dengan ADRO yang ROE-nya hanya 3% saja pada TTM Q1 2021.
Sulit dipercaya, kita seperti sedang membaca cerita fiksi indah dari sebuah novel yang biasanya too good to be true.
Meski begitu kita harus bersikap kritis, bisa saja ROE yang besar bukan berasal dari profitabilitasnya melainkan dari hutang, kan?
Seperti biasa, mari kita bedah ROE-nya menggunakan analisis DuPont.
Ternyata, tingginya ROE MBAP didukung oleh profit margin yang tebal serta perputaran aset yang cukup cepat. Bisa dilihat ketika tahun-tahun terburuk industri batubara di tahun 2015 dan 2020, MBAP tetap mampu mendapatkan profit margin yang tebal hingga >14%. Bahkan sejak IPO, Net Profit Margin (NPM) MBAP selalu mampu meraih double digit.
What a nice performance!
Lantas, apa resep rahasia MBAP mendapatkan NPM yang cukup tebal?
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!