Industri Televisi FTA (Free to air) di Indonesia dimulai saat TVRI sebagai stasiun televisi pertama mengudara untuk pertama kali pada tahun 1962, namun persaingan ketat industri ini baru dimulai dalam tiga dekade terakhir saja, karena selama lebih dari 30 tahun, TVRI memonopoli siaran televisi.
Monopoli ini berakhir pada tahun 1989 saat lahirnya stasiun TV swasta pertama yang bernama RCTI (Rajawali Citra Televisi) yang merupakan usaha patungan antara Bambang Trihatmodjo dengan Peter Sondakh, RCTI memulai siarannya sebagai stasiun TV lokal dan kemudian diberikan izin untuk mengudara secara nasional pada tahun 1993.
Sejak saat itu, perkembangan industri TV mulai semakin menarik sejak semakin banyaknya stasiun TV lainnya yang bermunculan seperti SCTV, TPI (yang kelak berganti nama menjadi MNC TV), ANTV dan Indosiar.
Jauh sebelum perkembangan smartphone, TV bisa dibilang menjadi satu dari sedikit opsi bagi masyarakat untuk mendapatkan hiburan. Televisi telah menjadi media penting dalam perkembangan hidup manusia, namun banyak yang menggangap bahwa, kini televisi hanya menjadi benda mati yang hadir di banyak ruang keluarga, industri televisi dianggap tidak lagi menarik seiring perkembangan internet.
ROE (Return on Equity) dari MNCN dianggap mencerminkan menurunnya industri TV. Namun benarkah demikian?
Sebenarnya, bagaimana industri televisi bekerja? Benarkah media televisi sudah ketinggalan jaman?
Mau baca Insight tentang Perusahaan Media dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Persaingan Keras Media TV
Salah satu teori tentang penggunaan atau konsumsi media dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch yang dikenal dengan Teori Use & Gratification. Teori ini menjelaskan bagaimana media tertentu dapat memuaskan kebutuhan seseorang atau penonton, sehingga dianggap punya kesadaran diri dan mampu memahami isi media, sehingga dapat menyatakan alasan mereka menggunakan atau memilih media tertentu.
Jika merujuk pada teori ini, maka dalam praktek persaingan antar stasiun televisi sekarang adalah penonton akan bebas untuk memilih program acara atau stasiun televisi mana yang akan mereka tonton setiap saat atau setiap harinya untuk memuaskan kebutuhan mereka.
Kerasnya persaingan TV ditandai dengan penonton hanya bisa menonton 1 acara TV saja dalam satu waktu.
Untuk lebih mengerti situasi ini, Anda mungkin bisa membayangkan sebuah rumah yang terdiri dari keluarga kecil dan memiliki preferensi menonton yang berbeda-beda, seorang Ibu mungkin lebih menyukai tontonan sinetron, seorang Ayah mungkin lebih menyukai tontonan olahraga, sedangkan seorang Anak mungkin lebih menyukai tontonan kartun.
Sengitnya persaingan menguasai remote TV juga merupakan gambaran sengitnya persaingan TV dalam menjangkau penonton.
Saat ini ada 13 stasiun TV swasta yang bersaing dalam menjangkau penonton, dari 13 stasiun TV swasta tersebut, 4 di antaranya dikuasai oleh PT Media Nusantara Citra (MNCN) milik MNC Group, artinya MNCN menguasai 31% dari jumlah stasiun TV swasta di Indonesia.
Sebagian dari stasiun TV tersebut sudah IPO, merujuk laporan keuangan dari PT Surya Citra Mandiri (SCMA), PT Visi Media Asia (VIVA), dan Net Visi Media (NETV), maka kita bisa mendapatkan total pendapatan iklan FTA (Free to Air) dari masing-masing stasiun TV tersebut.
Sebagai pemilik stasiun terbesar dan terbanyak di antara pesaingnya, maka tak heran kalau MNCN memiliki pendapatan terbesar dibandingkan para pesaingnya yang umumnya hanya memiliki 1-2 stasiun TV saja.
Pendapatan TV FTA bersumber dari iklan. Untuk menarik iklan, stasiun TV harus menayangkan konten atau program untuk menarik jumlah penonton sebanyak-banyaknya dan selama mungkin, stasiun TV akan menayangkan program terbaik yang mereka miliki, sumber konten tersebut bisa berasal dari berbagai sumber.
MNCN memiliki 3 sumber dalam mendapatkan konten atau program yang dapat mereka tayangkan, yang pertama, program yang mereka buat sendiri (in house production), yang kedua dengan cara adopsi waralaba acara kompetisi mencari bakat dan membayar sejumlah royalti, yang ketiga dengan cara membeli lisensi tayang program dari pihak ketiga (program akuisisi).
Masing-masing stasiun TV umumnya memiliki niche yang berbeda pula, hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu keunggulan MNCN dalam menjangkau berbagai golongan dan lapisan masyarakat.
Contohnya, RCTI diposisikan sebagai siaran TV yang menargetkan kalangan masyarakat dengan pendapatan menengah-ke atas, MNC TV diposisikan untuk menargetkan kalangan masyarakat menengah-ke bawah dengan siaran-siaran religi dan bantuan sosial, GTV diposisikan untuk menargetkan anak-anak sampai dewasa muda dengan kategori siaran kartun, dan iNews diposisikan untuk menargetkan masyarakat yang ingin mendengarkan berita.
Dalam siaran TV, dikenal istilah Day Time dan Prime Time, day time adalah jam tayang acara TV dari pagi hingga sore hari, dan prime time merupakan jam tayang acara TV yang dimulai dari jam 6 sore hingga jam 11 malam.
Traffic terbesar akan didapatkan pada jam prime time, yaitu saat aktivitas sehari-hari telah selesai dan masyarakat kembali ke rumah, sehingga pada jam ini, stasiun TV akan mengeluarkan tayangan utama atau tayangan andalannya untuk menarik pentonton, dan umumnya adalah sebuah sinetron.
Sinetron: Tumpuan MNCN Meraup Laba
Serial TV atau sinetron sering dipandang sebelah mata karena dianggap memiliki kualitas yang jauh di bawah film layar lebar. Padahal dari sisi bisnis, sinetron jauh lebih menguntungkan daripada sebuah film layar lebar.
Menurut kami, ada 3 alasan mengapa sinetron memiliki keuntungan dibandingkan film layar lebar. Pertama, sinetron dapat menjangkau lebih banyak penonton karena lebih mudah diakses dan gratis, dibandingkan film layar lebar yang harus mengeluarkan effort membayar dan pergi ke bioskop yang persebarannya tidak merata.
Dari alasan pertama inilah yang kemudian melahirkan alasan kedua, yaitu sinetron punya kelenturan untuk dikembangkan. Jika sebuah sinetron tidak memenuhi ekspektasi, PH (Production House) dapat dengan mudah mengubah jalan cerita ataupun menghentikan program agar tidak terlalu rugi, sedangkan film layar lebar harus menjalankan proses yang panjang lebih dahulu dengan ketidakpastian jumlah penonton dan tidak bisa meminimalisir rugi. Film layar lebar terbatas pada durasi, tapi sinetron dapat terdiri dari banyak episode.
Alasan ketiga juga muncul dari alasan yang kedua, yaitu penulis naskah bisa mengembangkan plot dan cerita lebih luwes dengan perkembangan karakter, penonton jadi merasa punya ikatan dengan karakter favorit, sehingga tak heran banyak yang tidak bisa membedakan antara acting dan kenyataan. Bahkan seorang aktor/aktris bisa jadi lebih dikenal dengan nama pemeran dalam sebuah sinetron dibandingkan nama asli mereka.
Seperti “Mba Andin” yang lebih dikenal alih-alih nama aslinya, Amanda Manopo, yang sepertinya juga diamini oleh orang yang bersangkutan.
Program TV umumnya dibuat untuk 2 tujuan sederhana, pertama untuk memberikan konten dalam bentuk gagasan, idealisme dan trend, yang kedua untuk tujuan monetisasi. Konten yang memberikan keuntungan jelas akan terus diproduksi dan ditayangkan karena merupakan sumber keuntungan terbesar yang bisa didapatkan oleh pemilik stasiun TV.
Salah satu program TV yang paling menguntungkan bagi MNCN dalam beberapa tahun ini adalah sinetron, salah satunya adalah Ikatan Cinta yang berhasil memperoleh share sekitar 48% pada Januari hingga Agustus 2021.
Share adalah persentase jumlah pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu pada suatu channel tertentu terhadap total pemirsa di semua channel. Artinya pada jam tayang Ikatan Cinta, hampir setengah penonton TV akan menonton acara tersebut dibandingkan tayangan lainnya.
Kesuksesan sinetron “Ikatan Cinta” bahkan mencetak sejarah di industri televisi Indonesia karena menjadi Sinetron prime time dengan audience share di atas 40% berturut-turut selama 100 hari. Hal ini jugalah yang membuat Ikatan Cinta yang diproduksi lewat MSIN, anak usaha MNCN telah menayangkan lebih dari 700 episode dan masih akan terus diproduksi karena menghasilkan keuntungan.
Jumlah episode sinetron akan berbanding lurus dengan kesuksesannya. Jadi, selama masih banyak yang menonton, maka episode-episode berikutnya akan terus dibuat dan sinetron akan terus berjalan. Walaupun banyak yang mengkritik bahwa sinteron Indonesia tidak bagus, namun faktanya sebuah konten tersebut laku dan sesuai dengan selera masyarakat.
Konsep dari konten atau program TV yang bagus juga debatable. Sebenarnya apa definisi konten bagus?
Jawabannya mungkin akan berbeda setiap orang, tergantung selera dan preferensinya. Kami lebih suka dengan definisi konten bagus adalah konten yang dicintai oleh pentontonnya.
Namun, sampai kapan dan seberapa lama Ikatan Cinta dapat terus bertahan untuk dimonetisasi?
Untuk menjawab hal ini, kita harus melihat pola dan kebiasaan MNCN dalam menayangkan episode sinetron di TV mereka. Hasilnya, 4 sinetron dengan jumlah episode terpanjang sepanjang masa di Indonesia, merupakan tayangan di stasiun TV FTA milik MNCN.
Tukang Bubur Naik Haji the Series dan Raden Kian Santang yang menduduki peringkat 3 dan 4 dibeli lewat pihak ketiga, yaitu Sinemart yang telah diakuisisi SCMA dan MD Entertainment, sedangkan peringkat 1 dan 2, Tukang Ojek Pengkolan dan Dunia Terbalik, diproduksi langsung oleh MNCN lewat MSIN.
Dengan melihat pola tersebut, industri yang terlampau ketat dan idealisme yang tidak selalu menguntungkan, sehingga selera masyarakat harus diutamakan, maka kita bisa menebak jawabannya.
Selama masih disukai, Ikatan Cinta atau sinetron lainnya, berpotensi menembus lebih dari 1.000 episode dan bukan tak mungkin menjadi salah satu sinetron dengan episode terbanyak sepanjang masa.
Namun semua ini masih belum pasti dan bisa berubah lewat 1 kata, yaitu RATING!
Penilaian Rating: Detak Jantung Televisi
Penonton bebas memilih, menikmati dan berpindah dari satu acara ke acara yang lain, dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi lainnya untuk memuaskan kebutuhan mereka. Dengan demikian, pemilik stasiun televisi tidak punya pengaruh yang terlalu kuat dalam mendikte penonton, sehingga harus selalu menyajikan acara “bagus” untuk mempertahankan penontonnya.
Sebuah program yang ditayangkan sebuah televisi dapat dikatakan “bagus” atau berhasil jika program tersebut mampu menarik penonton sebanyak dan selama mungkin menyaksikan tayangan tersebut. Kesediaan penonton menyaksikan sebuah tayangan atau program sebanyak dan selama mungkin biasanya diukur menggunakan rating.
Rating dipakai untuk penilaian dan menjadi tolak ukur kesuksesan sebuah tayangan televisi. Rating akan mempengaruhi pemasangan iklan dan tarif iklan (rate card) yang berimbas pada pendapatan usaha perusahaan.
Secara singkat, iklan TV bisa didapat dari program tayangan yang menarik hingga digemari pemirsa, sehingga memancing pengiklan memasang iklan dalam program tersebut.
Dengan memahami ini, stasiun TV memang sudah seharusnya melayani target market terbesar bisnis TV, yaitu pemirsa yang menyukai sinetron. Mencoba melawan arah dengan idealisme yang berbeda, justru dapat menjadi bencana bagi pemilik stasiun TV, seperti NETV yang susah profitable karena “tidak bisa” melayani target market terbesar TV.
Penilaian rating televisi di Indonesia dilakukan oleh AGB Nielsen Media Research yang mendapatkan data penilaian dari kotak survey penonton dengan memasang alat khusus bernama people meter pada setiap televisi di 2.273 rumah tangga, di 11 kota besar di Indonesia.
Berdasarkan data yang dikemukanan Nielsen Indonesia, RCTI cenderung menjadi market leader karena memperoleh All Time Audience Share terbesar dalam periode 2013 hingga Juli 2021, hanya pernah kalah selama 3 tahun pada 2018-2020 oleh SCTV yang dimiliki oleh SCMA.
Sedangkan stasiun TV MNCN lainnya, cenderung memiliki peringkat pertengahan, MNC TV berada di peringkat 4 atau 5, GTV berada di peringkat 7-8 dan iNews yang berada di peringkat 11.
Jika ditotal, MNCN memang menguasai pangsa penonton televisi Indonesia, disusul oleh PT Surya Citra Media (SCMA), CT Group, dan PT Visi Media Asia (VIVA)
Pengiklan menggunakan rating sebagai acuan untuk menentukan di mana akan beriklan. Bagi stasiun TV, rating dipakai sebagai alat jualan kepada pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah program, semakin mudah dijual.
Meskipun AGB Nielsen Media Research berusaha untuk menggunakan metode penilaian yang merupakan nilai dari perwakilan dari populasi penonton televisi Indonesia, hasil estimasi dari kotak survey yang dilakukan oleh AGB Nielsen Media Research belum tentu merupakan hasil yang akurat.
Walaupun dikritik karena memonopoli dan dianggap tidak mempresentasikan seluruh penonton di Indonesia, nyatanya hasil tersebut telah menjadi seperti mata uang bagi para pelaku industri penyiaran. Bukan hanya TV, para pengiklan, produser hingga production house (PH) juga bergantung pada rating.
Rating AGB Nielsen merupakan satu-satunya rujukan data kuantitatif untuk menentukan keberhasilan sebuah program dan yang dipercaya semua stasiun televisi dan pemasang iklan.
Bagaimana Iklan Mempengaruhi Pendapatan Televisi?
Pendapatan iklan sebuah stasiun TV dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu rate card yang berisikan daftar harga spot iklan, occupancy rate yaitu proporsi yang diambil oleh pemasang iklan terhadap slot yang tersedia, dan diskon atau bonus yang ditawarkan oleh stasiun TV kepada para pemasang iklan.
Rata-rata pendapatan iklan melalui penjualan spot iklan berdurasi 30 detik. Stasiun TV yang populer dapat menjual spot iklan dengan harga yang lebih menarik dan memiliki occupancy rate yang tinggi, sedangkan stasiun TV yang kurang populer harus memberikan diskon yang lebih besar atau bonus berupa tambahan waktu spot iklan untuk menarik pemasang iklan.
Perjanjian Tayangan Iklan
Pasar periklanan TV Indonesia umumnya didominasi oleh agensi biro periklanan. Agensi ini berperan membantu klien memasang iklan dan membantu membuat paket iklan dibeberapa stasiun TV dengan tujuan memperoleh target pemirsa yang lebih pas.
Jadi pada umumnya, klien/pengiklan tidak langsung meminta rate card kepada stasiun TV untuk memasang slot iklan, namun jika seorang klien/pengiklan ingin membeli slot blocking, yaitu pembelian slot airtime tertentu dengan minimum durasi seperti acara HUT (Hari Ulang Tahun), acara promo, barulah akan berhubungan langsung dengan stasiun TV.
Agensi pengiklan terbesar yang ada saat ini adalah PT Wira Pamungkas Pariwara, PT Initiatif Media Indonesia dan PT Quantum Pratama Indonesia, agensi ini yang kemudian melakukan perjanjian kerjasama kepada stasiun TV milik MNCN, SCMA, VIVA maupun NETV.
Agensi dan pemilik siaran TV akan melakukan perjanjian penjualan spot iklan dengan dua cara:
- Yang pertama, jaminan biaya berdasarkan poin peringkat (cost per rating point guarentee). Stasiun TV sepakat dengan klien untuk memberikan harga spot per point peringkat dengan jaminan persentase rating tertentu, sehingga akan dilakukan pengkajian di akhir bulan, dan setiap kekurangan poin rating, akan dikompensasikan dengan bonus spot iklan. Namun, perjanjian ini cukup jarang dipergunakan.
- Mayoritas pemasang iklan menggunakan komitmen volume dengan bonus. Caranya, biaya iklan ditentukan lebih dulu, kemudian stasiun TV akan memberikan bonus iklan gratis di program lainnya di muka. Bonus spot iklan ini biasanya berupa iklan yang ditayangkan di day time atau di acara yang memiliki rating yang lebih rendah. Hal ini memberikan kesempatan bagi stasiun TV untuk mengalokasikan spot iklan di prime time dan sekaligus memaksimalkan occupancy rate di acara yang kurang populer.
Selain menjadi penengah dalam kesepakatan antara pengiklan dan stasiun TV, agensi jugalah yang memberikan tawaran dalam berbagai variasi jenis iklan yang diinginkan pengiklan.
Batasan dan Berbagai Variasi Iklan Televisi
Penempatan spot iklan biasanya dilakukan pada jeda iklan (commercial break) di sela acara/program tertentu. Pemasang iklan bisa memilih jam tayang iklan atau membeli slot run of station, yang memberikan slot iklan yang tersebar disepanjang hari. Tarif layanan ini juga akan bervariatif tergantung jam prime time, urutan iklan, dan banyaknya slot yang dibeli.
1 spot iklan berdurasi 30 detik, bisa memiliki harga yang bervariasi, dari harga 15 juta hingga 150 juta. Berdasarkan scuttlebutt yang kami lakukan, untuk RCTI, Indosiar, dan SCTV umumnya memiliki rate card yang hampir sama, berkisar 35 juta saat day time hingga 150 juta saat prime time, namun harga ini juga masih bergantung oleh berbagai faktor.
Posisi iklan dapat terbagi menjadi 2, premium dan standart. Premium adalah posisi pertama (setelah acara selesai dan iklan langsung muncul), kedua, ketiga dan yang terakhir (iklan tayang sesaat acara dimulai). Sedangkan standart adalah posisi selain yang disebutkan, biasanya iklan akan muncul secara acak, tergantung tim programming. Urutan penayangan iklan ini juga akan memiliki harga yang berbeda.
Menurut P3-SPS, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, stasiun TV dibatasi slot waktu iklan maksimal 20% dari total jam siaran.
Artinya kalau sebuah stasiun TV beroperasi 24 jam sehari, slot iklan mereka terbatas sekitar 4,8 jam perhari atau sekitar 288 menit slot iklan. Jika 1 spot berdurasi 30 detik, maka dalam 1 hari, jumlah spot iklan yang tayang bisa mencapai 576 spot.
Namun tidak semua spot iklan tersebut dapat mereka monetisasi penuh. Sebagian spot tersebut dialokasikan untuk iklan layanan masyarakat dan bonus spot iklan yang disepakati. Secara efektif, jumlah iklan akan terbatas sehingga membuat tingginya occupancy rate sebuah iklan TV.
Bukankah hal ini membatasi stasiun TV dalam memonetisasi iklan? Apakah stasiun TV hanya dapat meningkatkan rate card untuk menambah pendapatannya?
Walaupun secara umum iklan dibatasi, namun stasiun TV memang dituntut harus kreatif dalam membuat program. Salah satu caranya adalah dengan “in-program ads” yaitu memasukkan iklan ke dalam program, biasanya dengan cara:
- Product Placement
Logo brand masuk ke dalam sebuah acara program. - Running Text
Teks yang muncul dibawah dan biasanya berjalan hingga 10 detik - Impose
Kejadian dimana dalam program tiba-tiba muncul logo brand atau visual produk di atas monitor TV - Squeeze Frame
Munculnya sebuah frame di TV sehingga membuat frame membesar lalu membuat tayangan program mengecil
Perhitungan Beban dan Keuntungan Suatu Program
Berbeda dengan model bisnis pada umumnya, pengakuan beban program atau beban pokok penjualan perusahaan media agak sedikit berbeda. Karena persediaan konten berupa intangible asset (aset tidak berwujud), perusahaan TV umumnya mengamortisasi biaya perolehan program sebanyak-banyaknya dua kali tayang.
Masing-masing TV memiliki kebijakan sendiri mengenai amortisasi atas biaya persediaan untuk program yang dibeli atau di produksi sendiri.
Persediaan program yang diproduksi secara internal (in house production), bersama dengan persediaan program-program non film dan non drama series, pada umumnya dibebankan sebagai biaya pada penayangan pertama, biaya program berita juga dibebankan secara keseluruhan pada penayangan pertama.
Walaupun berbentuk aset tidak berwujud, namun beberapa persediaan program bisa dianggap kedaluwarsa apabila belum ditayangkan namun tidak lagi relevan ataupun telah habis masa lisensinya. Program yang dianggap kedaluwarsa bisa dihapusbukukan dan dicatatkan sebagai biaya secara penuh di akhir periode lisensi.
MSIN: Keuntungan MNCN memiliki In House Production
Secara umum, belum banyak PH (Production House) yang mau dan bisa membuat konten atau sinetron untuk menyuplai kebutuhan stasiun TV, beberapa PH lebih fokus membuat tayangan film layar lebar yang umumnya membutuhkan waktu yang lebih panjang dan fleksibel, sedangkan sinetron atas kebutuhannya, memerlukan stripping, yakni sistem pembuatan tayangan yang pengerjaannya dilakukan setiap hari secara terus-menerus karena harus tayang setiap hari.
Sebuah film atau sinetron, merupakan sebuah industri padat karya karena diproduksi dan melibatkan banyak orang, akibatnya tidak banyak PH yang memiliki sumber daya yang besar. Selain itu, kebanyakan PH juga tidak memiliki daya tawar yang memadai terhadap TV.
Selama program acara awal, bakar uang terjadi pada acara TV. Karena tidak ada kepastian sebuah tayangan akan laku, sehingga evaluasi akan dilakukan lewat sentimen masyarakat, rating, demografi, habit dan durasi tertinggi di menit keberapa.
Hasil evaluasi ini akan menjadi bekal tim marketing untuk mencari iklan. Kalau hasil evaluasinya kurang memuaskan, program tersebut bisa ditutup dan PH tidak mendapat perpanjangan kontrak karena acara dihentikan sepihak. Hal ini jugalah yang membuat stasiun TV akhirnya memiliki in house production sendiri.
MNCN memakai strategi time belt, dimana untuk program-program yang berbiaya mahal hanya di produksi pada jam prime time, sedangkan untuk jam non prime time, program-program yang digunakan adalah program akuisisi berbiaya murah ataupun program re-run (tayangan ulang)
Untuk program-program di prime time, MNCN menggunakan anak usahanya MSIN untuk memproduksi secara in house, sehingga dapat meminimumkan beban margin yang dibebankan PH lain.
Namun keunggulan ini bukan satu-satunya dimiliki oleh MNCN seorang. Pesaing terdekatnya, SCMA, juga memiliki in-house-production sendiri seperti Sinemart dan Screenplay.
Mempunyai Produksi in-house sendiri memang lebih mudah menyesuaikan atau menghentikan program jika sambutan dari masyarakat dirasa kurang baik. Kini kita tau bahwa tayangan sinetron telah menjadi penghasil keuntungan perusahaan stasiun TV, namun sebenarnya berapa keuntungan yang mereka dapatkan?
Keuntungan MNCN dari Sinetron
Dalam 1 episode penayangan sebuah sinetron, ada beragam jenis iklan yang ditayangkan. Untuk mengestimasi pendapatan MNCN dalam 1 episode sinetron, kita akan menggunakan sinetron Ikatan Cinta untuk melakukan estimasi.
Dari pantauan 2 sumber yang berbeda, terdapat sekitar 120 iklan yang ditayangkan dalam 1 hari penayangan. Perhitungan ini mungkin tidak akan akurat karena berbagai faktor seperti diskon atau paket bundling, namun cukup memberikan gambaran keuntungan yang dapat dihasilkan MNCN atas sebuah tayangan sinetron.
Biaya produksi 1 episode acara sinetron biasanya kurang dari 500 juta, biaya produksi ini biasanya memiliki porsi yang besar di honor aktor/aktris, bisa mencapai 1/3 dari biaya produksi. Untuk itu asumsi biaya produksi 1 sinetron Ikatan Cinta berkisar antara 300-400 juta/episode.
Jika rate card prime time RCTI diasumsikan berada di range 80-100 juta/spot, dan berbagai asumsi dari faktor pembentuk harga iklan, maka MNCN berpotensi meraup 4-7 Miliar dalam 1 hari penayangan sinetron Ikatan Cinta.
Sejak ditayangkan akhir Oktober 2020 lalu, hingga kini, estimasi penghasilan ikatan Ikatan Cinta mungkin telah mencapai 3 Triliun, sedangkan estimasi biaya produksinya hanya mencapai sekitar 300-400 Miliar. Ten Bagger!
Industri TV Masih Menarik
Berdasarkan Nielsen Indonesia, sepanjang 2020 penetrasi televisi konvensional masih berada di kisaran 86%, angka ini masih cukup tinggi walaupun memang mengalami menurunan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya yang bisa mencapai di atas 90%, namun jumlah durasi penonton televisi tidak berkurang banyak, rata-ratanya masih sama yaitu 5 jam sehari.
Angka ini menunjukkan bahwa ada generasi yang tidak terpapar TV, namun jumlah penontonnya masih tidak berbeda jauh. Televisi masih menjadi pilihan pertama sarana hiburan masyarakat.
Atas dasar inilah, pengiklan masih mau mengalokasikan belanja iklan mereka di stasiun TV. Belanja iklan nasional di Indonesia masih didominasi oleh Televisi.
Berdasarkan Data Nielsen, persentase belanja iklan televisi memang mengalami penurunan menjadi 78,2% pada tahun 2021 dari tahun 2019 yang mencapai 79% dari total belanja iklan nasional. Namun penurunan persentase ini diakibatkan tumbuh pesatnya iklan digital sehingga menggerus total persentase belanja iklan TV.
Secara nominal, masih naik. Tahun 2019, total belanja iklan di TV sekitar 143 Triliun, dengan persentase yang menurun, jumlah belanja iklan TV 2021 naik menjadi 202,5 Triliun (Gross).
Nielsen memang tidak menjelaskan dan merinci metode perhitungan belanja iklan ini, sekilas nilai ini terlampau besar dibandingkan pendapatan yang diterima oleh stasiun TV. Kami menduga bahwa perhitungan ini adalah perhitungan kotor (gross) yang belum memfaktorkan bonus slot spot iklan dan potongan harga yang diterima. Jika mengacu pada hal ini, perhitungan ini memang masih dapat diterima.
Namun poin penting yang ingin kami sampaikan adalah, TV masih menjadi media belanja iklan paling besar di Indonesia dan yang masih efektif dalam menjangkau awareness masyarakat.
Apa yang membuat iklan Televisi bisa lebih efektif dibandingkan lainnya?
TV menggabungkan suara, teks dan gambar bergerak. Tiga-tiganya akan hadir dalam ingatan kita, suka ataupun tidak suka, akan melekat. Lihat saja iklan Mars PERINDO yang pernah tayang di layanan TV MNC Group sehingga terngiang-ngiang dalam benak masyarakat hingga menimbulkan protes.
Hadirnya internet memang menjadi tantangan sendiri bagi industri televisi dan radio di Indonesia, namun bukan berarti pertanda akhir dari industri televisi. Inti dari tayangan televisi adalah konten yang disiarkan. Selama konten tersebut masih digemari masyarakat, maka industri TV akan mendapat porsi yang besar dalam iklan, walaupun persentase dari pengeluaran iklan akan menurun, namun secara nominal masih naik. Memasukkan program televisi dalam platform digital justru menjadi cara adopsi terbaru dari industri televisi di Indonesia.
“Kalau kita lihat di negara-negara lain pun untuk belanja iklan digital mengalahkan TV itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Bisa 8-10 tahun, jika melihat di negara lain. Kalau di Indonesia, saya rasa perjalanannya masih akan cukup lama.”
Hellen Katherina (Direktur Eksekutif Nielsen Indonesia)
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untukkeputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi investasi di saham MNCN. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.
[/ihc-hide-content]