INVESTABOOK sudah mulai membahas tentang krisis energi dunia sejak setahun lalu, tepatnya 22 Oktober 2021. Namun, saat itu, harga batu bara di Indeks Newcastle masih di kisaran $200an.
Kini, setahun lebih berlalu, HBA masih di level yang sangat tinggi di range $350-450.
Tingginya harga batu bara pun mulai berdampak material pada kinerja keuangan perusahaan batu bara.
Namun, dampaknya pada pertumbuhan laba bersih PTBA tidak sematerial 3 perusahaan batu bara lainnya.
Bahkan, jika kita menggunakan sebagai laba full year 2018, titik puncak siklus batu bara sebelumnya, sebagai baseline, pertumbuhan laba PTBA tetap ketinggalan dari peers-nya.
Karena dalam jangka panjang, laba bersih (terutama yang berbentuk kas) adalah pendorong utama peningkatan market value, lagging-nya pertumbuhan laba PTBA membuat pasar lebih mengapresiasi saham-saham batu bara lainnya.
Jika berasumsi investor BYAN, ADRO, ITMG, dan PTBA sama-sama membeli saham pada tanggal 1 Januari 2019, investor PTBA masih akan dalam kondisi floating loss 13% setelah hold hampir 4 tahun.
Di saat yang sama, investor BYAN, ADRO, dan ITMG sedang menikmati floating profit masing-masing 386%, 179%, 84%.
Apakah perbedaan laju pertumbuhan laba bersih di tengah puncak siklus batu bara ini semata karena porsi penjualan domestik PTBA yang lebih besar? Atau ada faktor lain?
Jika forecast dari Wood Mackenzie yang ditampilkan di presentasi PTBA benar terjadi, indeks Newcastle dan indeks Indonesia masing-masing hanya menurun sampai ke level $200an dan $90-100 hingga Q4 2024, which means masih cukup tinggi, apakah laba new normal BYAN, ADRO, dan ITMG akan tetap lebih tinggi dari PTBA?
Mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!