Dalam setahun terakhir, para analis dari berbagai lembaga keuangan mengatakan bahwa harga komoditas global akan mengalami fase supercycle.
Di awal 2021, Jeff Currie, pimpinan riset komoditas Goldman Sach, menghadiri podcast S&P Global Plattss untuk membeberkan analisisnya tentang commodity supercycle.
JPMorgan juga beberapa kali merilis analisis tentang commodity supercycle, dengan penekanan bahwa kita akan memasuki fase supercycle. Turut memanaskan situasi, Bloomberg pun merilis artikel yang berfokus pada kesimpulan JPMorgan tentang dimulainya fase commodity supercycle.
Apa sebenarnya commodity supercycle?
Menurut ekonom Nikolai Kondratieff, commodity supercycle adalah tren peningkatan harga komoditas dalam jangka panjang karena pertumbuhan demand yang kuat dan tidak bisa dipenuhi oleh supply. Dalam hal ini, definisi jangka panjang adalah sekurang-kurangnya satu dekade.
Bukan hanya ditandai oleh durasinya yang lama, supercycle juga sangat terikat pada periode transformasi perkembangan ekonomi.
Supercycle terakhir terjadi pada dekade 2000-an. Ditengarai oleh pertumbuhan masif keempat negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) yang diakhiri oleh runtuhnya harga komoditas di tahun 2015.
Pertumbuhan cepat negara BRIC yang diakibatkan oleh industrialisasi besar-besaran menciptakan kebutuhan tinggi pada bahan baku dan pembangkit listrik yang, sayangnya, gagal dipenuhi oleh produsen.
Kebangkitan infrastruktur, ekspansi ekonomi, dan pertumbuhan populasi semakin mendorong kenaikan harga komoditas akibat permintaan (demand) yang tinggi.
Kali ini, di tahun 2021, harga sejumlah komoditas juga mengalami kenaikan drastis dalam setahun kebelakang. Batubara misalnya, sepanjang tahun telah mengalami kenaikan hampir 300%.
Namun, apakah kenaikan harga komoditas saat ini bisa menjadi bukti permulaan commodity supercycle?
BELUM TENTU.
Situasi saat ini tidak serta merta bisa disamakan dengan supercycle sebelumnya.
Singkatnya, situasi kali ini sebenarnya jauh lebih rumit.
Mulai dari beberapa negara yang kembali membatasi mobilitas sembari mengerem laju pemulihan ekonomi akibat timbulnya varian baru COVID-19, transisi menuju energi bersih yang belum sepenuhnya bisa menggantikan sumber energi fosil, hingga tensi geopolitik antara beberapa negara seperti China & Australia dan Rusia & Uni Eropa.
Harga komoditas dapat meningkat tajam bukan hanya karena peningkatan demand, tetapi juga diakibatkan oleh gangguan supply. Situasi yang disebut oleh The Economist sebagai supermayhem, kekacauan super.
Peningkatan harga komoditas yang terjadi saat ini lebih mirip seperti krisis lanjutan dari pandemi COVID-19. Dimulai dari krisis energi yang mempengaruhi supply chain global.
Beberapa mayhem seperti naiknya nilai tagihan listrik di Inggris dan pemadaman listrik bergilir di China bisa menjadi bekal bagi para investor konservatif di Indonesia untuk bersiap menghadapi kekacauan tersebut.
Biasanya, setelah disodorkan beberapa fakta dan opini para analis, kebanyakan dari kamu akan bertanya-tanya: “Lalu apa hubungannya dengan saya? Good news or bad news? Saham apa yang harus saya beli agar dapat cuan dari kenaikan harga komoditas (batubara)?”
Apalagi, fakta yang dibeberkan sebenarnya cukup bernada pesimis daripada optimis.
Dalam dunia investasi saham, pesimisme dan optimisme punya sinonim yang lebih lekat di kepala. Pesimisme sering diasosiasikan dengan bear, sementara optimisme dikaitkan dengan bull.
Namun, masih ada pasangan kata yang lebih nyaman untuk digunakan. Pasangan kata tersebut adalah fearful untuk menyebutkan pesimisme/bear, dan greedy untuk menyebut optimisme/bull.
Investor yang cerdas, biasanya lebih menyukai market yang sedang fearful. Seperti pepatah bijak Warren Buffett yang acap kali diulang-ulang oleh para pelaku pasar modal:
“Be fearful when others are greedy and greedy when others are fearul.”
Warren Buffett
Lantas, bagaimana cara investor untuk bisa tetap optimis dikala orang lain pesimis, tetap bullish ketika orang lain cenderung bearish, tetap greedy saat yang lain sedang fearful?
Jawabannya adalah, menurut penulis, dengan berinvestasi pada perusahaan berkualitas yang tidak bersentuhan secara langsung dengan aktivitas jual-beli komoditas, tetapi keberadaannya sangat fundamental bagi industri tersebut.
Perusahaan yang bukan, terpaksa bertumbuh karena terbawa arus, tetapi yang mampu mengarungi ombak besar bernama krisis energi.
Masih menurut penulis, sebenarnya Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki perusahaan berkualitas tersebut. Perusahaan berskala luas dengan kapitalisasi pasar yang sangat besar, tetapi fisiknya seolah transparan karena belakangan tidak pernah lagi disorot oleh media-media ternama.
Perkenalkan, United Tractors Tbk. (UNTR), perusahaan yang masih masuk dalam daftar 20 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI, bahkan setelah kehilangan setengah dari total kapitalisasi pasarnya jika dibandingkan dengan all time high di tahun 2018.
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!