Tambang batu bara pertama di Indonesia terletak di Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, sekitar 70 km dari timur laut kota Padang yang menjadi ibu kota Provinsi. Di Asia Tenggara, lokasi tambang Ombilin merupakan situs pertambangan batu bara tertua yang beroperasi sekitar tahun 1890-an bersamaan dengan penemuan mesin uap dan awal dari Revolusi Industri di Eropa.
Sejak saat itu, tambang-tambang skala kecil terus dibuka seiring dengan permintaan batu bara yang sangat besar, batu bara kemudian menjadi komoditas berharga dunia karena menjadi salah satu bahan bakar yang sangat efisien. Hingga saat ini, batu bara masih menjadi salah satu sumber energi yang dibutuhkan oleh berbagai industri.
Walaupun dibutuhkan karena memiliki banyak kegunaan, namun harga batu bara sempat mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19 yang menghambat aktivitas ekonomi, bersamaan dengan itu beberapa negara mulai gencar melakukan kampanye EBT (Energi Baru Terbarukan) yang merupakan arah sumber energi berbagai negara ke depan.
Namun tidak ada yang menyangka bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 akan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Permintaan energi melonjak sekaligus namun pasokan tidak dapat memenuhi permintaan tersebut, akibatnya harga batu bara naik drastis bahkan menyentuh harga di atas $400/ton.
Kondisi ini jelas membuat perusahaan pertambangan batu bara mendapat “durian runtuh,” sebut saja seperti PT Bayan Resources (BYAN), PT Bukit Asam (PTBA), PT Adaro Energy Indonesia (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah (ITMG), PT Golden Energy Mines (GEMS), dan perusahaan tambang lainnya yang mencatatkan net profit tertinggi selama 10 tahun terakhir.
Kenaikan harga batu bara sepanjang tahun 2021 menyebabkan cemerlangnya laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tambang batu bara, bahkan menorehkan ROE (Return on Equity) diatas 20%.
Saat ini industri pertambangan batu bara memang mendapatkan tailwind dari kenaikan harga batu bara, namun kondisi ini jelas tidak akan bertahan sepanjang masa. Oleh sebab itu, sebagai Quality Investor, kita sudah selayaknya memahami model bisnis dan prospek dari perusahaan yang kita invest.
Untuk itu, pada INSIGHT kali ini, kami ingin membawa Anda lebih dekat dalam memahami bisnis perusahaan pertambangan batu bara.
Here we go!
Mau baca Insight tentang Batu bara dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Value Chain Pertambangan Batu bara
Dibandingkan industri lainnya, proses bisnis batu bara tergolong cukup singkat, karena proses bisnis utama hanya terbagi dalam 4 proses, yaitu eksplorasi, eksploitasi, logistik dan trading.
Namun jika kita bedah lebih detail, penambangan batu bara biasanya melewati 8 tahap, yaitu eksplorasi, perencanaan penambangan, overburden removal, penambangan batu bara, hauling batu bara dan processing, pengangkutan batu bara, transshipment/bongkar muat di terminal batu bara, pengangkutan batu bara dengan kapal tongkang dan aktifitas sosial dan lingkungan.
Eksplorasi Penambangan: Estimasi Untung Rugi Perusahaan
Setiap kegiatan pertambangan batu bara pasti dimulai dari tahap eksplorasi, yaitu proses mengidentifikasi lokasi, bentuk dan kualitas cadangan batu bara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh izin tambang, sehingga dapat dikatakan bahwa, tahap eksplorasi merupakan tahapan yang memakan waktu paling lama.
Di tahap ini, perusahaan mulai memetakan lahan dan kondisi permukaan tanah untuk mengestimasi pengeboran lubang yang tingkat kedalaman dan konfigurasinya bergantung pada kedalaman batu bara yang akan ditambang.
Selanjutnya perusahaan akan mengevaluasi perencanaan penambangan tersebut, termasuk di dalamnya melakukan evaluasi keuangan untuk memutuskan apakah rencana penambangan tersebut akan layak secara ekonomis untuk dilakukan.
Evaluasi ini mencakup jenis batu bara yang ditambang, estimasi penjualan harga batu bara, tingkat permintaan, biaya penambangan, besaran & kedalaman ekskavasi serta biaya pemrosesannya.
Di tahap ini, perusahaan mulai melakukan pertimbangan yang melibatkan kontraktor dan penyedia jasa penambangan lainnya untuk mendapat gambaran perencanaan dan area-area konsesi yang akan ditambang.
Ketika terjadi kesepakatan, kontraktor akan menyediakan seluruh peralatan yang dibutuhkan beserta modal kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyek penambangan.
Overburden Removal: Kegiatan Utama Penambangan
Kontraktor bertanggung jawab atas kegiatan operasi penambangan dan transportasi serta penyediaan peralatan pertambangan yang diperlukan, bahan-bahan habis pakai dan suku cadang sesuai dengan kontraknya masing-masing sedangkan tugas utama kontraktor adalah melakukan overburden removal (pengupasan lapisan tanah).
Pada umumnya perusahaan pertambangan batu bara melakukan metode pertambangan terbuka (open-pit mining) untuk menggali batu bara, proses penambangan dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing), lapisan tanah bagian atas (top soil) kemudian dikupas (stripped) dan ditimbun secara terpisah.
Untuk melepaskan lapisan overburden, dilakukan kombinasi dari pengeboran, peledakan dan dozer ripping. Pengupasan tanah bagian atas dilakukan menggunakan dozer ripping terlebih dahulu karena lapisan tanah bagian atas mengandung unsur hara yang nantinya akan dipakai kembali atau langsung digunakan pada area yang siap untuk direklamasi.
Kemudian dilakukan pengupasan (stripped) atau biasa lebih dikenal dengan istilah nisbah kupas (stripping ratio). Ukuran ini merupakan perbandingan antara volume lapisan penutup yang perlu dipindahkan (dalam meter kubik) dan atau ton bahan galian untuk mengakses dan mengambil 1 ton batu bara.
Secara sederhana, jika SR (Stripping Ratio) 4x maka artinya dibutuhkan 4 ton galian kupasan penutup batu bara yang harus disingkirkan untuk menghasilkan 1 ton batu bara.
Masing-masing perusahaan memiliki rasio pengupasan tanah (SR) yang berbeda, bahkan SR dari tiap konsesi tambang akan cukup bervariasi, tergantung pada karakteristik geologis dan kualitas batu bara yang ditambang.
Beban produksi perusahaan sangat dipengaruhi oleh rasio pengupasan tanah di setiap area konsesi. Rasio pengupasan tanah yang lebih tinggi mengharuskan kontraktor pertambangan untuk memindahkan overburden yang lebih banyak untuk mengakses batu bara yang akan ditambang, Maka, semakin rendah stripping ratio, maka makin murah biaya atau beban galian yang dibutuhkan.
Hal ini bisa kita lihat dari laporan keuangan dari perusahaan tambang batu bara yang memiliki stripping ratio berbeda, contohnya PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Indo Tambangraya Megah (ITMG).
Sepanjang 2021, PTBA tercatat memiliki SR sebesar 4,7x sedangkan ITMG tercatat memiliki SR sebesar 10,5x.
Agar lebih mudah mengukur jasa penambangan antara ITMG dan PTBA, maka kita akan memakai satuan yang sama, dalam rupiah.
Beban jasa penambangan PTBA sepanjang 2021 tercatat sebesar Rp 4,4 Triliun. Dengan total volume produksi PTBA yang mencapai 30 ton, maka biaya penambangan PTBA sekitar Rp 149.469/ton.
Bagaimana dengan ITMG? Sepanjang 2021, beban jasa penambangan ITMG tercatat sebesar Rp 5,3 Triliun. Dengan total volume produksi sebesar 18 ton, maka biaya penambangan ITMG sekitar Rp 291.599/ton.
Artinya, ITMG memang memiliki biaya penambangan yang lebih “mahal” dibandingkan PTBA, salah satu alasannya karena SR dari tambang batu bara ITMG 2 kali lipat dari SR tambang batu bara PTBA.
Beban jasa penambangan pada umumnya memiliki tarif tetap untuk setiap ton batu bara dan volume overburden yang dipindahkan. Walaupun SR yang tinggi membuat biaya penambangan menjadi lebih mahal dan mempengaruhi struktur biaya yang harus dikeluarkan perusahaan, namun masih ada banyak faktor yang nantinya akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan seperti biaya pengangkutan batu bara ke stockpile maupun harga jual rata-rata.
Tahap Akhir Pemrosesan Batu bara
Setelah dilakukan pengupasan lapisan overburden, batu bara diambil dengan menggunakan ekskavator dan langsung diangkut dengan truk melalui jalan pengangkutan batu bara (coal hauling) ke fasilitas stockpile dan pelabuhan batu bara.
Di fasilitas stockpile, batu bara dihancurkan dengan fasilitas crusher, untuk memecah batu bara dari ukuran besar menjadi ukuran lebih kecil. Stockpile juga berfungsi sebagai proses pencampuran batu bara untuk meyiapkan kualitas yang dipersyaratkan.
Dalam proses pencampuran ini dikenal 2 tipe, yaitu blending dan mixing. Blending bertujuan untuk memperoleh produk akhir dari dua atau lebih tipe batu bara di mana batu bara akan terdistribusi secara merata dan tanpa ada lagi tempat yang cukup besar untuk mengenali salah satu tipe batu bara tersebut ketika proses pengambilan sampling.
Sedangkan mixing merupakan salah satu dari tipe batu bara yang tercampur masih dapat dibedakan jenisnya dalam kuantitas kecil dari hasil campuran material dua atau lebih tipe batu bara.
Setelah spesifikasi sesuai dengan perjanjanjian awal, batu bara dimuat ke dalam kapal tongkang (barge) maupun kapal pengangkut (vessel) menggunakan crane dan conveyor belt.
Titik penjualan batu bara perusahaan biasanya menggunakan FOB (Freight on board) Barge, artinya penyerahan dan penjualan batu bara terjadi saat batu bara dimuat ke tongkang maupun ke kapal pengangkut.
Faktor Penentu Harga Batu bara
Karena pada umumnya batu bara adalah sebuah komoditas yang tidak memiliki “brand” maka para pelaku penambang batu bara memang tidak memiliki pricing power dan mengikuti dari harga referensi berbagai indeks, dalam hal ini mungkin kita lebih mengenalnya dengan istilah “price taker”
Harga batu bara sangat sensitif dengan perubahan tingkat produksi pertambangan batu bara, permintaan dan konsumsi batu bara dari industri kelistrikan, industri semen, baja, dan industri lainnya yang menggunakan batu bara sebagai bahan baku utama.
Dari sisi harga, faktor penentu utama dari harga batu bara adalah keseimbangan pasokan dan permintaan, serta ketersediaan energi alternatif.
Tidak seperti komoditas lainnya, batu bara tidak memiliki standar harga tunggal. Harga batu bara dipatok berbeda-beda dengan menggunakan beberapa referensi harga spot yang tersedia di berbagai indeks seperti Newcastle Export Index, Platts, Global coal Index, Indonesia Coal Index/Argus Coalindo, dan Harga Batu bara Acuan (HBA).
Di pasar internasional, sejak 1890-an harga batu bara mengacu pada harga indeks batu bara Newcastle atau ICE Newcastle. Sementara di Indonesia menggunakan Harga Batu bara Acuan (HBA) yang ditetapkan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral sejak tahun 2009.
Walaupun harga penjualan batu bara memiliki beberapa standar referensi dari berbagai sumber, namun pada praktiknya, harga penjualan batu bara akan ditentukan oleh berbagai banyak faktor.
Harga penjualan batu bara ditetapkan berdasarkan formula tertentu dengan mempertimbangkan nilai kalori, kandungan moisture, total sulfur, dan total ash. Oleh sebab itu, harga penjualan batu bara akan didasarkan pada kesepakatan dengan pelanggan dengan diskon berdasarkan negosiasi antara dua pihak, sehingga setiap perusahaan akan memiliki harga jual rata-rata (ASP) yang berbeda-beda pula.
Jika kita melihat harga rata-rata penjualan beberapa perusahaan tambang batu bara yang ada di Indonesia, kita akan melihat bahwa terdapat perbedaan harga jual rata-rata antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Di 2021, jika membandingkan 7 perusahaan yang “sejenis,” PT Indo Tambangraya Megah (ITMG) menjadi perusahaan pertambangan batu bara dengan ASP tertinggi, mencapai $102.8/ton atau sekitar Rp 1.467.630/ton.
Sedangkan jika mengacu dari 7 perusahaan di atas, maka PT Baramulti Suksessarana (BSSR) memiliki ASP terendah dibandingkan “peers-nya,” $50.6/ton atau sekitar Rp 722.123/ton.
Perbedaan harga yang timpang ini bukan tanpa alasan maupun indikasi bahwa ITMG memiliki cara yang lebih baik dalam negosiasi, melainkan karena adanya perbedaan jenis batu bara yang dijual oleh masing-masing perusahaan.
Jenis-jenis Batu Bara
Secara komposisi geologis, terdapat 4 jenis batu bara yaitu lignite, sub-bituminous, bituminous, dan anthracite.
- Lignite
Lignite atau batu bara cokelat adalah jenis batu bara muda yang baru terbentuk, karena tingkat efisiensinya rendah, lignite tidak dipasarkan secara luas dan biasanya dipakai sebagai bahan bakar PLTU (pembangkit listrik tenaga uap). - Sub-bituminous
Sub-bituminous merupakan jenis batu bara yang sedikit lebih tua dari lignite namun masih sedikit lunak, walaupun masih memiliki kadar air yang tinggi, sub-bituminous memiliki tekstur yang lebih padat daripada lignite. Sub-bituminous juga banyak digunakan pada PLTU. - Bituminous
Bituminous coal adalah jenis batu bara berwarna hitam yang paling banyak dipakai pada industri dan PLTU. Batu bara ini terbentuk dari sub-bituminous yang semakin dalam dan semakin lama tertimbun, sehingga tekstur batu bara menjadi keras dan warnanya menjadi lebih hitam. - Anthracite
Antrasit adalah jenis batu bara yang yang keras yang berwarna hitam mengkilat, secara fisik hampir sama dengan bituminous namun memiliki tekstur yang lebih padat, mengkilat dan lebih sedikit debunya. Karena kandungan sulfurnya rendah bisa digunakan untuk clean flame dan masuk dalam kategori premium fuel.
Jenis batu bara ini memiliki nilai kalori yang berbeda-beda, semakin dalam lapisan tanah dimana batu bara berada, biasanya akan memiliki kualitas batu bara yang semakin baik dengan nilai kalori yang lebih tinggi pula. Berbagai jenis batu bara ini bergantung pada area konsesi dan kedalaman dari penambangan yang dilakukan, di Indonesia kebanyakan batu bara adalah jenis sub-bituminous dan bituminous.
Perusahaan pertambangan batu bara dapat menjual produknya di dalam negeri maupun di luar negeri, sesuai dengan kebutuhan yang diminta oleh pelanggan. Dalam penjualan batu bara, umumnya diklasifikasikan berdasarkan penggunaannya sebagai batu bara thermal atau coking coal.
Coking coal juga biasa lebih dikenal dengan metallurgical coal yang biasanya dipakai untuk membuat coke yang merupakan salah satu bahan produksi besi dan baja. Sedangkan batu bara thermal, biasa lebih dikenal dengan nama steaming coal dan dipakai untuk pembangkit listrik.
Penutupan Pertambangan
Walaupun tampaknya proses bisnis tambang batu bara telah selesai setelah batu bara diserahkan di atas kapal, namun perusahaan tambang batu bara masih memiliki satu pekerjaan tersisa, yaitu melakukan reklamasi.
Definisi reklamasi sendiri merupakan suatu upaya yang dilaksanakan untuk mengembalikan fungsi alam dan fungsi sosial sebagaimana mestinya.
Setelah perusahaan mengeruk tanah di suatu area konsesi untuk mendapatkan batu bara, maka perusahaan wajib menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali.
Pekerjaan reklamasi biasanya sepaket dengan jasa penambangan yang dilakukan oleh kontraktor, namun perusahaan tambang batu bara diwajibkan menyerahkan jaminan reklamasi dalam bentuk dana untuk menjamin pelaksanaan kewajiban reklamasi di area konsesi.
Jaminan tersebut diwajibkan pemerintah sebagai bagian dari menghindari risiko jika kegiatan reklamasi tidak dilakukan oleh perusahaan bersangkutan.
Oleh sebab itu pada laporan keuangan perusahaan tambang batu bara, kita akan menemukan akun “kas-setara kas yang dibatasi penggunaannya” akun ini merupakan jaminan reklamasi berupa deposito berjangka yang ditempatkan pada bank pemerintah, atau bank daerah.
Pada akhirnya proses bisnis setiap perusahaan pertambangan batu bara akan berulang, dari eksplorasi, eksploitasi, penjualan hingga reklamasi. Walaupun cenderung melewati proses yang sama, setiap perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga bisa menghasilkan hasil dan kinerja yang berbeda pula.
Seperti yang kita lihat dalam proses pertambangan batu bara di atas, ada berbagai hal yang akan mempengaruhi proses dan hasil akhir bisnis pertambangan batu bara, kondisi geografis, jenis batu bara, jarak pengiriman, bahkan negosisasi harga yang melibatkan banyak faktor.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untukkeputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham BYAN. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.