Instrumen investasi apa yang terbaik sekarang? Mungkin pertanyaan tersebut menjadi salah satu FAQ atau pertanyaan yang paling sering ditanyakan saat seseorang baru mengenal investasi.
Bagi yang mulai berinvestasi karena termotivasi kisah sukses Pak Lo Kheng Hong pasti akan bilang saham adalah instrumen investasi terbaik. Bagi yang mendengar kisah cuan ribuan sampai puluhan ribu persen dari cryptocurrency pasti akan menanggap cryptocurrency adalah investasi terbaik.
Jadi instrumen investasi apa yang paling baik?
Well, sebenarnya tidak ada jawaban yang pasti, setiap orang pasti akan memiliki alasan dan pembenaran masing-masing. Tetapi 1 hal yang pasti menurut kami, instrumen investasi terbaik adalah instrumen yang risikonya siap kita tanggung dan sesuai dengan tujuan keuangan kita.
Sayangnya, masih banyak investor pemula yang menganggap instrumen investasi terbaik adalah instrumen yang memberikan potensi return paling tinggi. Padahal dibalik potensi return yang tinggi juga terdapat potensi loss yang tinggi.
Risiko adalah hal pertama yang harus kita pertimbangkan. Mereka yang mengabaikan risiko hanya akan menjadi mangsa yang siap dimakan.
Profil Risiko Standar
Ketika teman-teman membuat akun sekuritas saham atau agen penjual reksadana seperti Bibit dan Bareksa pasti akan diminta menjawab beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan standar untuk menentukan profil risiko seseorang. Semakin besar poin yang diperoleh, teman-teman akan dikategorikan sebagai investor agresif yang cocok berinvestasi di instrumen high risk, high potential return(/loss) seperti saham. Sebaliknya, poin kecil akan dikategorikan sebagai investor konservatif yang cocok berinvestasi di deposito atau obligasi.
But, in most cases, penentuan kategori berdasarkan pertanyaan tersebut masih belum membantu investor pemula memahami risiko di setiap instrumen investasi yang berbeda-beda.
Jenis Risiko Instrumen Investasi
Ada 3 jenis risiko utama dalam berinvestasi, yaitu:
- Risiko gagal bayar yang rendah atau tinggi. Mendanai UMKM melalui P2P lending pasti akan memiliki risiko gagal bayar yang lebih besar dibanding membeli obligasi negara.
- Risiko likuiditas, yaitu apakah sebuah instrumen investasi cepat atau lama untuk dicairkan. Deposito dan obligasi umumnya memiliki minimal periode lock up 3-6 bulan, sedangkan saham dapat kita jual dengan segera di market.
- Risiko pasar, yaitu apakah sebuah instrumen investasi memiliki pergerakan harga jual/beli yang volatil atau tidak.
Bagaimana cara memilih insturmen investasi sesuai risiko?
Contoh #1, jika teman-teman ingin berinvestasi untuk mempersiapkan dana umroh dengan risiko gagal bayar rendah dan harga jual/beli yang tidak volatil. Teman-teman juga siap dengan risiko lama dicairkan karena dananya baru akan dipakai 3 tahun ke depan.
Maka instrumen investasi yang kemungkinan cocok sesuai risiko yang siap ditanggung dan tujuan keuangan teman-teman adalah deposito dan obligasi negara.

Bagaimana dengan emas dan cyrptocurrency? Kok tidak ada di tabel produk investasi.
Memang emas sering dianggap sebagai “aset investasi” oleh masyarakat Indonesia sejak dulu. Tetapi sebenarnya, aset investasi adalah ASET PRODUKTIF yang mampu menghasilkan arus kas (wealth creation). Tanpa produktivitas, nilai intrinsik sebuah aset sama dengan nol atau tidak bisa diestimasi.
INVESTABOOK menggolongkan emas dan cryptocurrency hanya sebagai cash alternative, sesuatu yang dimiliki saat kepercayaan kita terhadap uang FIAT yang dicetak oleh bank sentral berkurang.
Jika teman-teman tetap meanggap emas dan cryptocurrency sebagai aset investasi, teman-teman juga harus paham bahwa 1 kg emas dan 1 bitcoin yang teman-teman simpan di bawah bantal, setelah 3 tahun tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan harga jual di tahun ke-3 tersebut hanya ditentukan berdasarkan kepercayaan/kesepakatan pelaku pasar di saat itu.
Mengenal Diri Sendiri
Selain mengenal risiko di setiap instrumen investasi, teman-teman juga bisa mempertimbangkan berbagai faktor lain dalam kehidupan untuk pemilihan instrumen investasi.
Faktor lain tersebut kami golongkan menjadi 2, yaitu faktor subjektif dan objektif.
Faktor subjektif berkaitan dengan sikap/emosional teman-teman dalam berinvestasi.
Memilih berinvestasi di saham berarti teman-teman harus memiliki komitmen belajar yang tinggi dan sabar menanti hasil tanpa terusik pergerakan harga yang volatil.

Sedangkan faktor objektif berkaitan dengan kondisi aktual seperti usia, pekerjaan dan saving rate.

Bagaimana penerapannya?
Contoh #2, teman-teman saat ini berusia 28 tahun dan bekerja sebagai supervisor di bagian sales & marketing. Saving rate teman-teman juga sangat baik di level 25%, ditambah kebutuhan keuangan jangka pendek seperti belanja bulanan dan dana darurat sudah aman. Dari sisi objektif, teman-teman sangat mampu untuk memilih instrumen investasi yang memiliki risiko lebih besar seperti saham.
Tetapi dari sisi subjektif, teman-teman tidak memiliki komitmen belajar yang tinggi karena pekerjaan yang selalu hectic dan waktu luang biasa teman-teman gunakan untuk quality time bersama keluarga. Teman-teman juga lebih menyukai “keuntungan kecil yang penting naik stabil setiap hari”.
Karena kedua hal tersebut, teman-teman memilih berinvestasi di obligasi negara dan reksadana pasar uang yang rendah risiko. And that’s totally fine!
Sering kali investor pemula tidak bisa tidur dengan tenang atau hilang fokus saat bekerja karena memaksakan mengambil investasi dengan risiko di luar kemampuannya.
Tentunya instrumen investasi terbaik versi teman-teman juga dapat berubah-ubah di masa depan sesuai dengan perubahan kondisi keuangan, jenis pekerjaan, pengetahuan dan pengalaman berinvestasi yang semakin luas.
Life is about becoming a better version of yourself.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.