Secara umum, pinjaman terdiri dari dua kategori besar, pinjaman produktif dan pinjaman konsumtif. Pinjaman produktif merupakan pemberian utang untuk membiayai kebutuhan usaha seperti modal kerja dan belanja modal (investasi), sedangkan pinjaman konsumtif digunakan untuk membiayai kebutuhan pribadi seperti membeli rumah, kendaraan, dan pengeluaran pribadi lainnya.
Dalam personal finance, pinjaman produktif biasanya dianggap lebih baik karena pokok utang dan bunga yang akan dibayar harusnya bisa di-cover oleh cash flow dan dengan keuntungan yang dihasilkan oleh bisnis.
Dalam pinjaman konsumtif, kita sebenarnya meminjam dari aset kita di masa depan dan membayar bunga kepada lender seperti bank, koperasi, atau fintech atas jasanya menalangi kebutuhan pengeluaran kita hari ini.
Pinjaman konsumtif yang menumpuk dan tidak bisa dibayar juga merupakan salah satu masalah personal finance yang cukup sering muncul.
Namun, dari sisi bisnis, pinjaman konsumtif adalah bisnis yang sangat besar dan menguntungkan.
Aktornya bukan cuma fintech pinjol, tetapi juga bank-bank besar yang kita gunakan sebagai tempat menyimpan uang dan bertransaksi sehari-hari.
Siapa saja market leader di masing-masing kategori pinjaman konsumtif? Apakah kehadiran fintech pinjol akan menggantikan bank? Bagaimana prospek bisnis pinjaman konsumtif di masa depan?
Mari kita bahas!
Mau baca Insight tentang Saham Bank dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Ingat KPR, Ingat BBTN
Membeli rumah biasanya merupakan pengeluaran konsumtif terbesar kita. Karena itulah, sebagian besar orang yang beli rumah juga menggunakan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Berdasarkan laporan Bank Indonesia, pada Q1 2022, 70% dari pembelian properti di pasar primer (dari developer ke konsumen) menggunakan KPR.
Di kategori KPR, market leader-nya adalah BBTN, bank terbesar kelima secara aset di Indonesia. Jumlah KPR BBTN lebih besar 2x lipat dari KPR BBCA di peringkat kedua.
Meskipun BBCA telah merintis ekosistem consumer banking sejak lama melalui inovasinya dalam penyediaan ATM yang masif, pembayaran dengan kartu debit via EDC, dll, BBTN tetaplah top of mind konsumen dalam mencari KPR.
BBTN pun diuntungkan dengan statusnya sebagai BUMN yang menjadi partner utama dalam program pembiayaan rumah subsidi dari pemerintah. Dari 214 triliun KPR yang sedang disalurkan oleh BBTN, Rp 131 triliun (61%) merupakan KPR subsidi dan hanya Rp 83 triliun (39%) yang non-subsidi. Dalam 5 tahun terakhir, porsi KPR subsidi terus membesar dalam neraca BBTN.
Jadi, jika hanya menghitung KPR non-subsidi, skala bisnis KPR BBCA sebenarnya masih lebih besar.
Namun menariknya, meskipun debitur KPR subsidi merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (maksimal gaji gabungan suami istri 8 juta) dengan profil risiko yang cenderung lebih tinggi dan kualitas bangunan yang menjadi jaminan lebih rendah karena harga jual yang dibatasi maksimal Rp 150-168 juta (tergantung daerah), NPL-nya lebih baik dibanding KPR non-subsidi KPR.
Jika tidak ada aset KPR bersubsidi, bukan cuma posisi BBTN sebagai market leader KPR yang akan hilang, kualitas aset konsolidasi BBTN juga akan merosot drastis.
Kualitas aset yang buruk akan meningkatkan cost untuk membentuk pencadangan.
Masalahnya, sama seperti BBNI dan bank lain yang asetnya didominasi kredit korporasi, KPR adalah kredit konsumtif dengan yield paling rendah. BBTN tidak punya banyak ruang untuk menanggung credit cost yang terlalu tinggi. ROE double digit BBTN sebelum 2019 sebenarnya adalah istana di atas kaca yang rapuh. Sebelum tahun 2020, coverage ratio BBTN tidak pernah 100%.
Lagi pula, sweet spot dalam bisnis pinjaman konsumtif juga bukan KPR.
Selain yield-nya yang rendah, risiko likuiditas KPR juga lebih tinggi karena tenornya lebih panjang. Meski sebagai jaminan, aset rumah lebih mudah disita dibanding kendaraan, tetapi bukan berarti nilai pinjamannya juga bisa dengan cepat dipulihkan. Dalam kasus BBTN pada tahun 2021, dari Rp 2,3 triliun kredit yang dihapusbuku (write off), hanya Rp 57 miliar atau 2,5% dari nilai pokok kredit yang bisa dipulihkan.
Payroll PNS Pusat: Hidden Moat BBRI
Sweet spot dalam bisnis pinjaman konsumtif untuk meraih keuntungan yang besar dan berkelanjutan adalah bisnis Kredit Tanpa Agunan (KTA) berbasis payroll (rekening penyaluran gaji).
Karena tanpa agunan, mirip seperti kredit ultra mikro yang diberikan oleh BTPS, risiko individual pinjaman ini pun lebih besar dibanding KPR dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Namun, jika dipasangkan dengan payroll, risiko KTA menjadi lebih rendah karena pembayaran cicilan akan langsung dipotong setelah debitur mendapatkan gaji.
KTA payroll adalah high yield, low risk asset bagi bank, terutama untuk tipe pegawai yang karakteristik pekerjaannya stabil.
Playbook ini bukan cuma dijalankan dengan baik oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti BJTM dan BJBR. Bank-bank BUMN yang punya akses ke rekening payroll PNS Pusat dan BUMN juga sudah menjalankan playbook ini dan sedang berusaha untuk terus meningkatkan porsinya.
BMRI, BBNI, dan BRIS sedang berusaha meningkatkan porsi KTA payroll di neraca mereka. Ketiganya ingin menggusur BBRI yang ternyata bukan cuma market leader di kredit mikro, tetapi juga di kategori KTA payroll.
Jumlah KTA payroll di neraca BBRI bahkan lebih besar dibanding jumlah KPR di neraca BBCA. Padahal, plafon KTA payroll biasanya jauh lebih kecil dibanding KPR. Artinya, jumlah debitur aktif BBRI di kategori ini juga lebih besar dibanding jumlah debitur aktif KPR BBCA.
Berdasarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN), total PNS di instansi pusat pada tahun 2021 mencapai 936.859 orang. Jika 80% saja di antara mereka mengambil KTA payroll dengan plafon Rp 100 juta, berarti ada addressable market sebesar Rp 75 triliun hanya dari PNS instansi pusat saja. Belum jika kita menghitung pegawai BUMN dan PNS daerah yang tidak memiliki BPD.
BBRI adalah “BJBR” dan “BJTM” untuk instansi pusat. BBRI mengelola 65% giro dan payroll Kementerian dan Lembaga RI. Dalam 6 tahun terakhir, bisnis KTA payroll BMRI dan BBNI memang tumbuh lebih cepat dibanding BBRI. Namun, hal itu disebabkan juga oleh base yang lebih rendah. BBNI yang pada tahun 2015 hanya punya Rp 4 triliun, memang berhasil meraih pertumbuhan 45% per tahun dengan KTA payroll mencapai Rp 36 triliun. Namun, apakah kecepatan pertumbuhan serupa bisa diulang di masa depan?
Melihat KTA payroll BMRI yang anjlok lebih dalam pada tahun 2020 dibanding BBRI, saya ragu posisi BBRI bisa digeser oleh BMRI dan BBNI. Posisi BBRI akan membatasi potensi pertumbuhan KTA payroll BMRI, BBNI, dan gabungan dari anak usaha syariah mereka dulu: BRIS.
Fintech Pinjol: No Moat Business
Bagaimana dengan fintech lending atau yang lebih dikenal dengan pinjol (pinjaman online)?
Menurut data OJK, hingga tahun 2021, ada 103 penyelenggara fintech pinjol yang menyalurkan Rp 13,6 triliun pinjaman dengan rincian Rp 9 triliun merupakan pinjaman produktif dan Rp 4,6 triliun merupakan pinjaman konsumtif.
103 fintech pinjol hanya bisa menyalurkan sedikit lebih banyak pinjaman konsumtif tanpa agunan (non-KPR dan non-KKB) dibanding BBCA. They’re still subscale player.
Alih-alih berusaha mendisrupsi, saya justru melihat tren fintech pinjol yang mengambil pilihan untuk berkolaborasi dengan perbankan. Digital service perbankan yang makin baik plus hak eksklusifnya dalam menyimpan dana masyarakat membuat lebih menguntungkan bagi fintech pinjol untuk mengakses dana masyarakat via perbankan dibanding melakukannya secara langsung.
Bukan dana masyarakat, bank-bank besar juga bisa menjadi equity provider bagi fintech pinjol melalui anak usaha venture capital mereka. Meskipun Tingkat WanPrestasi 90 hari (TWP90) fintech pinjol tidak terlalu buruk, yakni 2,29% pada tahun 2021. Namun, ROE keseluruhan fintech pinjol tetap tidak istimewa, hanya 8,5% pada tahun 2021.
Financial Literacy: Booster or Barrier?
Seberapa besar prospek bisnis pinjaman konsumtif di Indonesia?
Pada kategori KPR, gambarannya sedikit lebih jelas. Menurut data BPS, ada 19% rumah tangga yang belum memiliki rumah di Indonesia. Jika kita berasumsi, setiap rumah tangga berisi 3-4 orang, berarti ada 15 juta rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah.
Jika kita berasumsi 80% dari mereka akan mengambil KPR dengan plafon Rp 500 juta, berarti ada addressable market sebesar Rp 6.000 triliun yang bisa digarap untuk KPR. Hingga Juni 2022, jumlah KPR yang sedang disalurkan di Indonesia baru Rp 581 triliun atau 10% dari total potensi pasarnya.
KTA Payroll untuk segmen non-PNS dan non-BUMN juga belum terlihat memiliki potensi yang besar. Consumer banking leader seperti BBCA saja hanya punya Rp 3 triliun KTA payroll di neracanya.
Salah satu alasannya adalah karena penduduk Indonesia masih kurang banyak berutang.
Rasio utang rumah tangga per PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tidak jauh bergerak di sekitar 17% dalam 10 tahun terakhir.
PDB per kapita Indonesia yang bisa kita gunakan sebagai proxy untuk pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia baru sebesar Rp 57,8 juta per tahun. Artinya, rata-rata orang Indonesia hanya punya utang Rp 9,8 juta.
Di Singapura, utang rumah tangga bisa mencapai 50-60% dari PDB. Padahal, PDB per kapitanya sudah mencapai Rp 992 juta per tahun.
Angka-angka di atas mungkin terlihat counter-intuitive.
Mengapa negara yang penduduknya lebih produktif dan punya penghasilan lebih tinggi, justru punya rasio utang yang lebih besar?
Apakah literasi finansial mereka lebih buruk?
Survei Kesehatan Finansial yang dilakukan oleh OCBC NISP justru menujukan bahwa masyarakat Singapura punya literasi dan kondisi finansial yang lebih sehat dibanding masyarakat Indonesia.
Literasi dan kondisi keuangan yang lebih sehat justru meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berutang.
Masyarakat yang memiliki tabungan dana darurat yang cukup dan selalu menjaga rasio utang pada level yang sehat, justru adalah masyarakat yang mampu berutang secara berkelanjutan.
Masih banyaknya masyarakat yang sembarangan dalam berutang dan akhirnya masuk ke daftar hitam OJK justru adalah penghambat pertumbuhan utang konsumtif di Indonesia.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham BTPS. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.