Menurut berbagai sumber, reksa dana pertama di dunia muncul pada tahun 1774 oleh seorang pedagang Belanda bernama Abraham van Ketwich. Ide ini lahir dari inisiatif Abraham untuk menyatukan investasi untuk memiliki suatu aset.
Singkat cerita, ide sederhana ini kemudian berkembang di beberapa negara Eropa dan Amerika yang diikuti berbagai inovasi hingga memunculkan industri reksa dana yang kita kenal sekarang.
Di Indonesia, reksa dana baru hadir pada tahun 1976 setelah lahirnya PT Danareksa yang didirikan oleh pemerintah. Reksa dana pertama dari Danareksa dinamakan “Sertifikat Danareksa” walaupun begitu, peraturan dan undang-undang reksa dana baru dibuat pada tahun 1995.
Sejak saat itu perkembangan reksa dana di Indonesia terus mengalami perkembangan yang signifikan. Hingga saat ini, jumlah produk reksa dana di Indonesia telah mencapai lebih dari 2.000 produk dengan total dana yang dikelola (Asset Under Management/AUM) reksa dana telah mencapai 543 Triliun rupiah per Juli 2022.
Pada akhir 2021, berdasarkan data KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) jumlah investor pasar modal telah mencapai 7,48 juta orang, naik 93% dari tahun 2020. Salah satu penyebab melonjaknya jumlah investor ini ditopang oleh naiknya jumlah investor reksa dana sebesar 2 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Dari 3,1 juta investor di tahun 2020 menjadi 6,8 juta investor pada tahun 2021. Fakta ini menunjukkan bahwa reksa dana semakin digemari dan minat masyarakat terhadap produk reksa dana semakin besar.
Sebenarnya bagaimana cara kerja reksa dana? Lalu bagaimana potret industri reksa dana di Indonesia saat ini?
Mau baca Insight tentang Reksa dana dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Reksa Dana: Kontrak Investasi Kolektif
Sesuai dengan ide awal pembentukan reksa dana, bisa dibilang reksa dana merupakan wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal untuk selanjutnya diinvestasikan atau dikelola oleh manajer investasi dalam surat berharga seperti saham, obligasi, dan instrumen pasar uang.
Dari hal ini, reksa dana mencakup 3 hal utama. Pertama, adanya modal atau dana dari masyarakat. Kedua, dana tersebut dikelola oleh manajer investasi. Dan ketiga, dana tersebut diinvestasikan dalam portofolio efek.
Lalu siapa manajer investasi tersebut?
Manajer investasi yang berperan dalam mengelola “wadah” tersebut adalah Perusahaan Asset Management. Jadi bisa dibilang reksa dana merupakan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asset management, namun perusahaan asset management hanya berperan sebagai manajer investasi atau penyedia jasa dalam pengelolaan dana tersebut.
Oleh sebab itu pendapatan dari perusahaan asset management yang mengeluarkan produk reksa dana berupa pendapatan manajemen atas pengelolaan reksa dana.
Lalu bagaimana dengan dana yang disetorkan masyarakat? Apakah diakui sebagai aset dari perusahaan?
Untuk lebih memahami hal ini, kita bisa melihat laporan keuangan satu-satunya perusahaan asset management yang listing di bursa, PT Ashmore Asset Management Indonesia (AMOR)
Dalam laporan keuangan AMOR, dijelaskan bahwa dana kelolaan dari produk reksa dana tersebut tidak diakui dalam posisi keuangan perusahaan.
Tidak diakuinya dana kelolaan tersebut dalam aset perusahaan bukan tanpa alasan, sebab reksa dana bukan milik perusahaan asset management, reksa dana merupakan kontrak investasi kolektif.
Kontrak investasi kolektif merupakan kontrak antara investor dengan bank kustodian dan manajer investasi. Bank kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan dana dari masyarakat (kolektif), sedangkan manajer investasi diberi wewenang untuk mengelola dana kolektif tersebut menjadi portofolio investasi, salah satunya dalam bentuk reksa dana.
Mekanisme Reksa Dana
Secara sederhana, untuk memiliki reksa dana, investor hanya perlu memilih jenis produk reksa dana yang sesuai dengan profil risiko, memilih manajer investasi, membaca prospektus dan melakukan pembelian (subscription) dengan cara mentransfer dana.
Pada awal lahirnya reksa dana, pembelian hanya bisa dilakukan langsung kepada perusahaan sekuritas atau manajer investasi yang menjadi penerbit reksa dana, namun produk yang dipasarkan hanya produk mereka sendiri.
Kemudian, pembelian kemudian dapat dilakukan via bank yang bertindak sebagai agen penjual. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan fintech di Indonesia, muncul semakin banyak APERD (Agen Penjual Efek Reksa Dana) seperti Bibit, Bareksa dan Ajaib yang bertindak menjadi “market place” pembelian reksa dana.
Dana investor yang disimpan di bank kustodian kemudian akan “diserahkan” kepada manajer investasi untuk dikelola sesuai dengan kebijakan yang telah dipaparkan dalam prospektus, dalam hal ini kepemilikan investor akan dinyatakan dalam unit penyertaan.
Unit penyertaan dihitung dengan cara membagi jumlah pembelian dengan harga Nilai Aktiva Bersih per unit reksa dana (NAB per unit) ketika pembelian diproses. Setelah pembelian, investor akan menerima laporan transaksi sebagai bukti pernyataan pembelian unit reksa dana dari bank kustodian, seperti rincian pemilik, nama reksa dana, jumlah unit dan nilai transaksi.
Perhitungan Kinerja Reksa Dana
NAB (Nilai Aktiva Bersih) atau NAV (Net Asset Value) merupakan salah satu tolak ukur dalam memantau hasil dari suatu reksa dana.
Satuan reksa dana dihitung berdasar unit penyertaan (UP) dan NAB. Misalnya, saat ini reksa dana BNI-AM Indeks IDX30 harga NAB-nya Rp 937,6/unit dan kita berencana membeli 1.000 UP, maka kita membutuhkan dana Rp 937.600 (tidak memperhitungkan komisi/fee).
Seandainya akhir tahun nanti harga NAB-nya menjadi Rp 1.000/unit dan kita hendak mencairkan reksa dana tersebut, maka keuntungan kita sebesar Rp 62.400 (tidak memperhitungkan komisi/fee/pajak) atau mendapat keuntungan sebesar 6,2%.
Sebaliknya, andaikan jika harga NAB-nya turun menjadi Rp 900/unit, maka kerugian kita menjadi Rp 37.600 atau rugi sebesar 4%.
Untuk melihat contoh nyata dari transaksi reksa dana, teman-teman bisa melihat transaksi berikut:
Kira-kira akhir tahun 2020 yang lalu, seorang teman penulis pernah membeli reksa dana BNI-AM Indeks IDX30 dengan modal investasi Rp 60.000 dan saat itu NAV reksa dana Rp 735/unit sehingga ia mendapatkan 81,6 Unit Penyertaan (UP) reksa dana BNI-AM Indeks IDX30.
Lalu pada awal April 2022, ia menjual seluruh reksa dana tersebut saat NAV-nya Rp 950/unit, sehingga ia mendapat nilai jual sebesar Rp 77.527, artinya total keuntungan yang ia dapatkan sebesar Rp 17.527 atau sebesar 29% dari modal investasi awal.
Berbeda dengan saham yang memiliki limit likuiditas karena dipengaruhi oleh pembeli dan penjual lembar saham, reksa dana menawarkan keuntungan likuiditas karena penjualan unit penyertaan kita akan ditebus oleh manajer investasi.
Sesuai dengan ketentuan di prospektus, bagi investor yang mau menjual atau mencairkan reksa dana, pihak manajer investasi sebagai pengelola dana memiliki tenggat waktu membayar uang investor sampai tujuh hari kerja terhitung sejak investor mencairkan dana.
Seluruh proses pembelian, perhitungan kinerja dan penjualan reksa dana baik lewat manajer investasi langsung maupun lewat APERD kini dapat dengan mudah dilakukan dan biasanya dapat diakses secara online.
Semakin berkembang fitur, kemudahan dalam bertransaksi dan minimal dana yang diperlukan untuk melakukan investasi reksa dana inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab pertambahan jumlah investor dalam beberapa tahun terakhir.
Perkembangan Reksa Dana di Indonesia
Berdasarkan data KSEI, jumlah investor pasar modal masih terus mengalami peningkatan dan telah mencapai 9,3 juta orang (SID/Single Investor Identification) pada akhir Juli 2022. Masing-masing individu yang tercatat dalam SID ini dapat melakukan investasi pada saham, obligasi atau reksa dana saja, ataupun dapat melakukan ketiganya sekaligus.
Berdasarkan statistik tersebut, kebanyakan investor berinvestasi pada reksa dana, mencapai 8,6 juta orang hingga Juli 2022, atau dengan kata lain 92,7% jumlah investor pasar modal berinvestasi pada reksa dana.
Jumlah investor reksa dana memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Padahal di tahun 2017, jumlah investor saham lebih tinggi daripada jumlah investor reksa dana, kini jumlah investor reksa dana 2 kali lipat dibandingkan investor saham.
Reksa dana sendiri memiliki berbagai banyak jenis, ada reksa dana terproteksi, reksa dana saham, reksa dana ETF & Indeks, reksa dana campuran, reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, hingga reksa dana sukuk.
Hingga Juli 2022, nilai AUM reksa dana telah mencapai 543,49 Triliun rupiah dengan komposisi sebagai berikut:
Berdasarkan komposisi reksa dana per Juli 2022, saat ini nilai AUM tertinggi adalah reksa dana pendapatan tetap yang memiliki komposisi sebesar 27,3% atau sekitar 148 Triliun, disusul oleh reksa dana saham yang memiliki komposisi 21,5% atau sebesar 116,7 Triliun.
Sedangkan reksa dana dengan AUM terendah adalah reksa dana sukuk, dengan komposisi 0,7% atau sekitar 3,9 Triliun.
Namun, ada hal menarik jika kita melihat statistik total AUM (Asset Under Management) reksa dana dalam beberapa tahun terakhir. Nilai AUM reksa dana hingga tahun 2021 telah mencapai hampir 580 Triliun, atau naik sebesar 350 Triliun dari tahun 2013, artinya terjadi peningkatan sebesar CAGR 14,7% dalam 8 tahun terakhir.
Walaupun begitu, nilai AUM per Juli 2022 justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan total AUM pada akhir tahun 2021, padahal jumlah investor reksa dana masih bertumbuh cukup signifikan. Apa yang jadi masalahnya?
Peningkatan jumlah investor reksa dana yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir tak lepas dari peran banyaknya platform APERD yang menawarkan kemudahan membeli produk reksa dana, selain dapat melakukan jual-beli online, pembelian reksa dana juga dapat dimulai dari Rp 10.000, oleh sebab itu masyarakat yang memiliki modal yang kecil sudah dapat berpartisipasi di reksa dana.
Selain itu pada laporan statistik yang sama, demografi investor yang berusia di bawah 30 tahun mencapai 59% dari total demografi investor individu di Indonesia, namun jumlah aset kategori usia ini hanya mencerminkan 4,8% dari total aset keseluruhan.
Oleh sebab itu, menurut kami, kenaikan jumlah yang signifikan pada jumlah investor reksa dana dalam beberapa tahun terakhir, tidak serta merta akan membuat jumlah AUM reksa dana naik signifikan mengikuti pertumbuhan jumlah investornya.
Jadi, penurunan AUM reksa dana pada tahun ini (Juli 2022), dapat dipengaruhi oleh 2 hal lain, investor yang menarik dana atau kinerja reksa dana yang semakin menurun?
Walaupun sebenarnya kami menemukan suatu pola bahwa AUM reksa dana memang cenderung menurun pada bulan Mei hingga Juni dan akan kembali naik pada Agustus hingga Desember, sehingga kami merasa jumlah AUM reksa dana akan perlahan kembali meningkat hingga akhir tahun, jadi pada artikel berikutnya kami akan mengupas produk reksa dana dan mengukur kinerjanya.
Stay tune!
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.