Investasi adalah aktivitas menukar cash dengan potensi cash flow di masa depan. Karena menukar sesuatu sudah pasti dengan sesuatu yang belum pasti, kita menuntut return atau imbal hasil tertentu atas aset investasi yang kita beli. Semakin besar risiko, semakin besar return investasi minimal yang kita minta.
Jika Obligasi Ritel (ORI) seri 021 yang dijamin negara dan theoretically risk free bisa memberi kita return investasi 4,9% per tahun, maka kita tentu perlu menuntut return investasi yang lebih besar jika menukar cash kita dengan saham atau reksa dana yang memiliki alokasi saham, baik dikelola secara aktif (reksa dana saham) atau pun pasif (reksa dana indeks).
Di Indonesia, tolak ukur kinerja portofolio saham yang dikelola secara aktif, biasanya adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau Indeks Saham Syariah Indonesia untuk investor yang hanya membeli saham syariah seperti saya.
Dengan mengelola portofolio saham secara aktif, investor individu atau pun fund manager berarti percaya bahwa susunan stock pick mereka bisa memberi return yang lebih besar dibanding return indeks yang terdiversifikasi secara luas hingga ratusan saham.
Secara historis, dalam kurun waktu 24 tahun terakhir, IHSG rata-rata bisa memberi return investasi sebesar 12,4% per tahun.
Bagi fund manager yang penghidupannya bersumber dari dana investor yang mereka kelola, memberikan return di atas return pasar adalah harga mati. Jika dianggap gagal, investor bisa melakukan withdraw dan memaksa fund manager untuk melakukan penjualan pada aset saham di portofolio mereka.
Bagaimana dengan investor individu?
Saya pernah dengar ada pendapat yang mengatakan bahwa jika dalam kurun waktu tertentu, katakanlah 5 tahun, return portofolio saham kita tidak bisa mengalahkan IHSG, sebaiknya kita berinvestasi via reksa dana indeks saja.
Pendapat tersebut menurut saya problematik setidaknya karena 3 alasan.
Pertama, belum ada (dan sepertinya tidak akan ada) reksa dana indeks dengan acuan IHSG. Reksa dana indeks yang saat ini tersedia baru untuk indeks-indeks bluechip seperti IDX30, LQ45, JII, dsb.
Mengapa tidak reksa dana indeks dengan acuan IHSG atau ISSI? Karena indeks S&P 500 di pasar saham US pun tidak berisi seluruh saham yang ada. 500 saham yang menjadi konstituen S&P 500 adalah saham-saham dengan kapitalisasi pasar terbesar a.k.a bluechip di sana. Bahkan, ada juga indeks yang lebih inklusif dari S&P 500 seperti Russel 2000 dan Russell 3000.
Jadi, harusnya yang menjadi tolak ukur kinerja portofolio kita itu bukan IHSG atau ISSI, tetapi IDX30, LQ45, dan JII.
Namun, karena jumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terlalu sedikit, akhirnya indek bluechip-nya pun jadi kurang terdiversifikasi.
Aneh kan kalau kita pindah ke reksa dana indeks karena tidak bisa mengalahkan IHSG, padahal indeks bluechip yang kita pilih pun belum tentu bisa mengalahkan IHSG.
Kedua, expense ratio (rasio biaya operasional) reksa dana indeks di Indonesia masih terlalu tinggi. BNI-AM Indeks IDX 30 misalnya, membebankan 1,92% dari total dana kelolaan untuk biaya operasional. Artinya, jika portofolio saham yang disusun dengan acuan IDX 30 memberi return 12%, investor hanya bisa mendapatkan return 10,08% saja.
Skala dana kelolaan yang masih kecil, dibanding reksa dana indeks di US misalnya, memang jadi salah faktor yang membuat biaya operasional pengelolaan reksa dana indeks di Indonesia jadi kurang efisien.
Meskipun begitu, tetap saja, kecuali investor tersebut memang sama sekali tidak punya waktu dan komitmen untuk belajar dan melakukan analisis, expense ratio > 0,5% menurut saya masih terlalu besar untuk reksa dana indeks.
Ketiga, ini yang menurut saya paling mendasar, investor individu sebenarnya tidak perlu beat the market. Kita hanya perlu mencapai target return pribadi kita untuk mencapai tujuan keuangan pribadi kita.
Kita tidak perlu menjual apapun. Kita tidak mengelola portofolio investasi untuk siapa pun. Kecuali diri dan keluarga kita sendiri.
Hal ini berarti lebih sedikit tekanan, lebih sedikit noise, dan lebih banyak peace of mind. Kita tidak perlu melakukan window dressing sekadar untuk membuat return tahunan yang lebih “mulus”. Kita bisa makin fokus mengejar tujuang jangka panjang kita: financial well-being.
Bahkan sebenarnya, return investasi tidak selalu menjadi hal yang paling penting dalam perjalanan investasi kita.
Ini alasannya!
Yuk Lanjut Baca Jurnal Investasi Founder INVESTABOOK
Dengan Berlangganan Paket Committed Investor atau Quality Investor!