ROE atau return on equity adalah rasio yang mengukur seberapa besar laba bersih yang menjadi hak investor dibandingkan dengan modal yang diberikan. Rasio ROE juga sekaligus menggambarkan kualitas sebuah bisnis.

Saat melakukan simulasi screening saham di kelas Quality Investing Course pun kami menggunakan parameter ROE >9.5% sebagai filter pertama.
Meskipun ROE yang tinggi memang mengindikasikan kualitas bisnis yang hebat, tetapi seorang investor tidak bisa semata-mata langsung terfokus pada angka ROE yang tinggi tanpa memahami model bisnis atau kondisi perusahaan.
Salah satu contoh yang pernah kami bahas adalah PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF) yang pernah menghasilkan ROE hampir 800% di tahun 2014. ROE LPPF yang anomali tersebut bukan berasal dari kinerja bisnis yang hebat, melainkan hasil dari aksi korporasi merger LPPF dengan induknya yaitu PT Meadow Indonesia sehingga terjadi perubahan di sisi ekuitas.
Tahun 2020 lalu pun, PT Garuda Indonesia Persero Tbk. (GIAA) menghasilkan ROE 127%. Jika tidak dianalisis, sekilas GIAA “tampak hebat” di tengah maraknya pandemi COVID-19 yang menekan bisnis penerbangan. Padahal ROE yang tinggi tersebut berasal dari rugi bersih dan ekuitas yang negatif.
Inilah yang kami sebut dengan inclusion error, yaitu ada emiten yang sebenarnya memiliki kualitas bisnis yang buruk tetapi masuk ke dalam hasil screening.
Begitu juga sebaliknya, yaitu exclusion error. Ada emiten yang sebenarnya memiliki kualitas bisnis yang bagus tetapi tidak masuk ke dalam hasil screening seperti perusahaan yang terdampak force majeur atau perusahaan yang sedang membangun economic moat.
Seperti apa contohnya?
Mau baca Insight tentang perusahaan Media dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Bank of America & Warren Buffett
Mungkin teman-teman ingat kisah krisis keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat yang berdampak ke seluruh dunia?
Banyak bank dan perusahaan keuangan di Amerika Serikat mengalami krisis saat itu. Lehman Brothers – top 5 investment bank in USA – bahkan harus gulung tikar karena kasus gagal bayar.
Di tahun 2011, Warren Buffett melihat peluang untuk berinvestasi di Bank of Amerika ($BAC) – bank terbesar ke-2 secara nilai aset di AS – meskipun ROE-nya negatif karena terdampak krisis.

Buffett membeli saham preferen BAC senilai USD 5 miliar dengan dividen 6% per tahun, dividend yield yang cukup besar untuk bursa AS.
Melalui letter to shareholder di tahun tersebut, Buffett menilai Brian Moynihan – CEO Bank of America sejak 2009 – sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa membersihkan kredit macet dan masalah lain yang ditinggalkan Ken Lewis, CEO sebelumnya.
Meskipun membutuhkan waktu yang lama, kinerja BAC berhasil recovery dan ROE mulai bertumbuh. Buffett mengubah saham preferennya menjadi saham biasa sebanyak 700 juta lembar dengan harga pelaksanaan USD 7.14/lembar di tahun 2017 dan terus menambah posisi kepemilikannya (average up).

Per 1Q 2022, BAC sudah menjadi emiten posisi terbesar ke-2 setelah Apple dengan floating profit 185%.

SCMA: Membangun Kerajaan Media & Konten
Apa yang terpikirkan oleh sebagian besar pelaku pasar di Indonesia mengenai perusahaan media televisi?
Sinetron kurang bermutu, sisnis yang sunset, terdisrupsi oleh internet, Youtube dan Tiktok lebih dinikmati generasi muda dan sebagainya. Memang dibanding tahun 2015, penetrasi media televisi semakin menurun dan penetrasi internet semakin meningkat di Indonesia.

Salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia, PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA) mengalami penurunan ROE yang sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir. ROE SCMA turun dari 61% menjadi “hanya” 21%.

Apakah kualitas bisnis SCMA juga menurun seperti ROE-nya?
Yang jarang diketahui oleh pelaku pasar adalah SCMA bukan hanya sekedar perusahaan media televisi saja. SCMA sudah melakukan transformasi bisnisnya sejak tahun 2013. SCMA tidak tinggal diam melihat landscape industri media yang terus berkembang seiring dengan perkembangan internet.
Sejak 2013, SCMA mengakuisisi banyak perusahaan untuk membangun perusahaan media & konten yang terintegrasi:
- 2013, akuisisi Indosiar membuat SCMA memiliki 2 dari top 3 stasiun TV FTA serta pengambilalihan Screenplay (production house)
- 2017, akuisisi SinemArt (production house)
- 2019, pengambilalihan Vidio yang sekarang menjadi platform OTT video streaming nomor 1 di Indonesia
- 2020, mengakuisisi PT Benson Media Kreasi (BMK) yang bergerak di bidang offline events, marketing influencer dan talent management

SCMA juga mulai merambah ke bisnis content & talent melalui dr.m dan FAS. Digital Rantai Maya (dr.m) adalah perusahaan yang bergerak sebagai manajemen/agensi content creator Youtube ternama seperti Deddy Corbuzier, Judika Entertainment dan lainnya. Famous All Star (FAS) adalah perusahaan yang bergerak menghubungkan talent/influencer dengan brand yang sesuai.
Teman-teman bisa mempelajari bisnis media & konten di artikel insight SCMA.
Sebelum tahun 2013, ROE yang tinggi hanya berasal dari bisnis media televisi dan iklan SCTV saja. Penurunan ROE adalah biaya yang harus SCMA bayarkan untuk membangun perusahaan media & konten yang terintegrasi.
ROE rendah atau sedang menurun belum tentu memiliki kualitas bisnis yang rendah. Kinerja perusahaan yang baru turnaround atau sedang membangun moat belum tercermin di ROE-nya sekarang, melainkan di masa depan. Inilah yang menjadi hidden treasure.
After all, investing should always be forward-looking, right?
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi investasi di saham SCMA. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.