5 April 2022, SCMA -Bisnis Media dari Emtek Group- memberi kabar bahagia untuk pecinta sepakbola di Indonesia. Mereka mengumumkan bahwa aset media mereka akan menayangkan 380 pertandingan Liga Inggris selama 3 musim ke depan.
Tambahan lisensi Liga Inggris membuat SCMA kini menguasai hampir seluruh lisensi tayangan olahraga di Indonesia. Untuk tayangan sepakbola, salah satu olahraga paling populer di Indonesia, SCMA telah memegang lisensi untuk Liga Indonesia, Liga Italia, Liga Spanyol, Liga Prancis, Liga Champions, Liga Eropa, hingga Piala Dunia.
SCMA juga menayangkan olahraga lain seperti Balap Formula 1, Liga Basket Indonesia dan NBA, Liga Voli, Turnamen Bulutangkis dan Tenis, hingga E-Sports.
Jika ada olahraga yang punya basis penggemar dengan jumlah tertentu, tidak harus sebesar penggemar sepakbola, kemungkinan besar SCMA juga akan membeli lisensi tayangnya.
Visi SCMA menjadi one stop sport entertainment tidak mungkin terlaksana tanpa konsolidasi Vidio yang sebelumnya merupakan sister company (sama-sama dimiliki Emtek Group).
Platform seperti Vidio bukan cuma memberi kebebasan pada penonton untuk menikmati tayangan kesukaannya secara on demand tanpa diikat jadwal seperti di TV konvensional, tetapi juga menyediakan slot yang hampir tidak terbatas untuk menyediakan beragam konten.
Tayangan olahraga niche seperti tenis atau voli yang sebelumnya tidak terlalu ekonomis untuk ditayangkan di media dengan slot terbatas seperti TV karena basis penonton yang terlalu sedikit kini menjadi ekonomis untuk ditayangkan Vidio.
Model seperti ini disebut dengan long tail dan perusahaan yang menjalankannya disebut sebagai aggregator. Dengan bantuan internet, aggregator mengumpulkan supply yang kurang laku jika dijual secara satuan dan membuat platform untuk membuatnya mudah ditemukan oleh pengguna/konsumen yang tertarik.
Kurang lebih ilustrasinya seperti ini.
Namun berbeda dengan platform seperti Youtube, Instagram, atau Tiktok yang biaya akuisisi kontennya sangat rendah karena content creator dengan senang hati memasok konten pada platform tersebut secara gratis, Vidio harus membayar biaya yang tidak sedikit untuk membeli lisensi tayangan olahraga, series, film, dan konten lain yang ditayangkan di Vidio.
Karena itu, untuk meningkatkan skala platformnya, Vidio butuh biaya investasi yang besar.
Kebutuhan biaya investasi yang besar untuk pertumbuhan Vidio itulah yang membuat kinerja terkini menjadi kurang cantik.
Bukan cuma laba bersih 6M 2022 yang turun 15% secara year on year, capital intensity SCMA pun meningkat signifikan dalam 6 bulan terakhir. SCMA membukukan free cash flow negatif atau bisa dibilang “rugi” secara cash basis.
Artinya, meski secara akuntansi, SCMA masih mampu membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 616 miliar di 6M 2022, uang tersebut hanya ada di atas kertas. Operasional bisnis SCMA sebenarnya nombok cash sebesar Rp 584 miliar dalam 6 bulan terakhir.
Namun, kerugian cash basis tersebut tidak mengganggu operasional bisnis SCMA karena Vidio telah mendapatkan telah mendapatkan suntikan pendanaan eksternal sebesar Rp 2,2 triliun pada tahun 2021 dan Rp 663 miliar pada tahun 2022.
Kas dan setara kas SCMA yang biasanya hanya di kisaran Rp 500-800 miliar, setelah pendanaan eksternal ke Vidio, jumlahnya selalu di atas Rp 2 triliun. Namun, pendanaan eksternal untuk Vidio tersebut bukannya tanpa downside. Sesuai dengan prinsip keseimbangan neraca, tambahan kas di sisi aset juga memberi tambahan ekuitas yang memberi tekanan ganda pada ROE SCMA selain dari penurunan laba bersih.
ROE SCMA yang sempat naik ke level 35% karena share buyback jumbo pada tahun 2020 kembali harus turun ke level 17% pada TTM Q2 2022.
Jika Netflix yang telah merintis bisnis streaming video sejak 2007 saja belum kunjung meraih Free Cash Flow positif dan bisnis streaming Disney (Disney+, Hulu, ESPN+) yang masih merugi secara akuntansi dengan 221 juta pelanggan (sedikit lebih banyak dari Netflix dengan 220,7 juta pelanggan), apa yang manajemen SCMA yakin investasi besar-besaran pada Vidio akan memberi hasil sepadan?
Jika memang masih masa menanam dan belum bisa menghasilkan laba bagi SCMA, pertumbuhan Vidio harusnya tetap tercermin dalam pertumbuhan pendapatan konsolidasi SCMA.
Namun sayangnya, hal tersebut belum terlihat di laporan keuangan. Pendapatan 6M 2022 SCMA hanya tumbuh 7% dibanding tahun sebelumnya.
Dengan rekam jejak penurunan ROE dalam 11 tahun terakhir, apakah SCMA masih layak disebut sebagai saham compounder? Oke, mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!