Demam Tiktok menyebar ke seluruh dunia. Aplikasi video pendek dari Bytedance, perusahaan asal teknologi asal China, tersebut mengalami peningkatan jumlah pengguna terutama di tengah pandemi COVID-19 yang memaksa banyak orang stay at home. Monthly Active User Tiktok (tidak termasuk Douyin, aplikasi seperti Tiktok di China) sudah mencapai lebih dari 1 miliar.
Tiktok juga berhasil menemukan sistem content discovery yang memudahkan pengguna bisa mendapatkan konten yang mereka suka tanpa harus membangun following list.
Cukup dengan scrolling di For You Page (FYP) dan engage dengan konten yang kita suka, algoritma Tiktok akan terus mengenali selera kita dengan lebih baik dan terus memberi konten yang paling mungkin kita suka. Hasilnya, pengguna pun jadi betah untuk berlama-lama scrolling di Tiktok.
Karena waktu tiap orang terbatas, demam Tiktok ini mengancam perusahaan lain yang model bisnisnya juga berasal dari monetisasi perhatian pengguna. Salah satunya adalah Meta Platform (META).
META adalah perusahaan teknologi yang memiliki 3 dari 4 aplikasi dengan jumlah pengguna aktif terbanyak di dunia. Ada 2,88 miliar orang yang berinteraksi setiap harinya di Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Practically, META sebenarnya telah memiliki “virtual world” yang dihuni oleh 44% penduduk dunia selain China. Namun, sebagian besar penghuni “virtual world” tersebut masih mengaksesnya via perangkat berlayar seperti PC dan mobile phone/tablet.
Visi metaverse adalah upaya untuk mewujudkan “virtual world” yang lebih immersive dengan perangkat yang memungkinkan sense of presence saat berinteraksi. Karena itulah, menurut Mark Zuckerberg, the next computing platform adalah Virtual Reality (VR) & Augmented Reality (AR).
Bagi investor jangka panjang yang telah memahami sejarah evolusi internet dan ketidakterhindaran dari era metaverse, keberanian Mark Zuckerberg untuk mengalokasikan modal dan energi untuk peluang pertumbuhan jangka panjang tentu menyenangkan.
Jika diibaratkan dengan manusia, maka Mark Zuckerberg sedang memperpanjang usia harapan hidup META dengan membangun infrastruktur dan ekosistem untuk the next computing platform.
Namun, visi metaverse yang begitu potensial tidak akan bisa terwujud jika META gagal untuk mempertahankan profitabilitas bisnis Family of Apps yang akan menopang investasi untuk metaverse setidaknya dalam 10 tahun ke depan.
Kegagalan untuk META untuk mengembalikan tren pertumbuhan laba segmen Family of App yang 99% berasal dari pendapatan iklan akan membatasi kemampuannya untuk mengembangkan metaverse.
Bisnis digital advertising META memiliki dua sisi yang sama pentingnya.
Pertama, sisi supply/inventory yang berasal dari jumlah pengguna dan waktu yang mereka habiskan untuk berinteraksi di Family of Apps, terutama Facebook dan Instagram yang telah termonetisasi secara optimal. Kedua, sisi demand/revenue yang berasal dari advertising budget yang dibelanjakan oleh agency dan small medium business (SMB) di Meta Ads.
Demam Tiktok mengancam mesin uang META dari sisi supply. Hal ini kemudian mendorong META untuk beradaptasi dengan meniru proven playbook dari Tiktok. Sejumlah pengamat menyebutnya sebagai Tiktokifikasi.
Langkah tiktokifikasi ini ditentang oleh sejumlah pengguna. Belakangan muncul gerakan “Make Instagram Instagram Again” yang turut didukung oleh top influencer Instagram seperti Kim Kardashian dan Kylie Jenner. Mereka ingin kembali mendapatkan foto lucu dari teman-teman mereka. Mereka tidak ingin konten video dari yang orang tidak mereka kenal. Menurut mereka, Instagram tidak perlu meniru Tiktok.
Jadi, apakah META sedang menggali kuburannya sendiri dengan melakukan tiktokifikasi? Apa saja sebenarnya yang sedang dan akan berubah dari Facebook dan Instagram untuk keeping up with Tiktok? Apa dampak tiktokifikasi kepada kinerja bisnis META dalam jangka pendek dan jangka panjang?
Mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!