“But sadly our investments are not our privately owned family businesses where we can focus on the fundamental performance and not worry about the stock market.”
(Terry Smith on Fundsmith Equity Fund Semi Annual Shareholder Letter 2022)
Pasar saham punya fungsi yang ambigu bagi seorang investor. Di satu sisi, pasar saham menyediakan likuiditas yang memudahkan kita untuk memiliki bisnis yang bagus tanpa harus susah payah membangunnya dari nol.
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kunjungan ke kantor tim lapangan BTPS dan salah satu komunitas dampingan mereka. Saya seperti nostalgia. Karena cara kerja tim lapangan BTPS ini lebih mirip seperti pegiat NGO (pekerjaan saya sebelum di INVESTABOOK) dibanding bankir. Karena kunjungan tersebut, saya jadi semakin terbayang betapa menantangnya mengelola 4,15 juta nasabah yang tergabung dalam 249 ribu kelompok.
Jangankan saya, pengusaha-pengusaha besar di Indonesia pun belum tentu bisa mendirikan bisnis pembiayaan mikro dengan profitabilitas dan pengelolaan risiko sebaik BTPS.
Namun, karena pasar saham, ada sekitar 8 juta lembar saham BTPS yang ditawarkan setiap harinya jika mengacu pada likuiditas perdagangan di tahun 2021.
Sayangnya, pasar saham juga berpotensi mendistraksi investor dari fundamental bisnis.
Keuntungan investasi kita bukan cuma diukur oleh berapa besar dividen yang kita peroleh dari bisnis, tetapi juga seberapa besar willingness to pay pelaku pasar pada saham yang kita miliki.
Here is the thing. Willingness to pay pelaku pasar bukan hanya didorong oleh ekspektasi terhadap earning power dan cash flow generation bisnis di masa depan, tetapi juga opportunity cost terhadap alternatif investasi yang lain.
Ketika suku bunga acuan dan imbal hasil bebas risiko (obligasi pemerintah) memberi return yang rendah, modal akan lari ke pasar saham (dan aset berisiko lain seperti crypto) untuk mencari keuntungan.
Namun, ketika situasi berbalik, seperti yang saat ini tengah terjadi, modal akan lari dari pasar saham dan membuat harga saham secara umum turun dan membuat kinerja investor yang punya exposure besar di saham akan terlihat buruk.
Ada dua pandangan dalam melihat hubungan antara business value dan market price. Pandangan pertama berakar pada Dow Theory, “market discount everything”. Kita tidak perlu melakukan analisis fundamental dan valuasi karena semua informasi tersebut telah tercermin di harga pasar saat ini. Fokus saja pada tren harga dan volume.
Pandangan kedua berakar pada filosofi Intelligent Investing, pasar saham adalah “voting machine in the short run, weighing machine in long run.” Kita perlu melakukan analisis fundamental dan valuasi karena bisa jadi informasi tersebut belum tercermin di harga pasar saat ini.
Jika kamu percaya pada pandangan yang kedua, seperti saya, maka kita harus sadar bahwa di beberapa waktu, saham-saham di portofolio kita sangat mungkin sedang tidak atau kurang disukai oleh pasar.
Saat itu terjadi, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengecek ulang tesis investasi saham-saham di portofolio kita.
- Apakah tesis tersebut masih relevan?
- Seberapa yakin kita bahwa harga saham hari ini belum mencerminkan kemampuan cash flow generation dari bisnis-bisnis yang kita miliki?
- Seberapa yakin kita akan mendapat keuntungan sepadan saat pasar saham kembali jadi mesin penimbang di masa depan?
Untuk menjawabnya, kita harus kembali mengingat esensi investor saham sebagai business owner.
Is it still the business you want to be owned for long run?
Pertanyaan itulah yang akan saya jawab di update portofolio compounder Q2 2022 kali ini.
Yuk Lanjut Baca Jurnal Investasi Founder INVESTABOOK
Dengan Berlangganan Paket Committed Investor atau Quality Investor!