“Perusahaan telah mencatatkan rugi bersih sejak didirikan, dan Perusahaan mungkin tidak dapat mencapai profitabilitas.”
Prospektus Awal GOTO, hlm. 54.
GOTO diolok-olok oleh sejumlah investor ritel di media sosial karena memuat pernyataan tersebut di prospektusnya. Sebagian yang lain jadi ragu karena memandang, “jika manajemen yang memahami bisnis GOTO dengan baik saja tidak percaya diri terhadap prospeknya untuk mencapai profitabilitas, bagaimana dengan kita para investor?”
Padahal, jika saja mereka memperhatikan dengan saksama di bagian mana kalimat tersebut tertulis, mereka harusnya bisa langsung paham, kalau kalimat tersebut wajar dan memang harus ditulis bagi perusahaan seperti GOTO.
Kalimat tersebut tertulis pada BAB risiko usaha, bagian risiko usaha yang bersifat material baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi hasil usaha dan kondisi perusahaan.
Dalam semua prospektus investasi, penjelasan soal risiko adalah bagian yang harus ada karena pada dasarnya semua aktivitas investasi mengandung risiko.
Namun, karena pada dasarnya manusia tidak nyaman berurusan dengan risiko atau hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan, kita jadi susah memproses penjelasan soal risiko dengan proporsional, tidak meremehkan, tetapi juga tidak takut berlebihan.
Setelah mencari pattern dari prospektus setebal 967 halaman, keterbukaan informasi dari perusahaan ekosistem pesaing seperti Grab dan Sea Limited, dan bertanya seputar dampak pembentukan GOTO pada sejumlah pegawai Gojek dan Tokopedia, saya menemukan sejumlah hal yang lebih penting untuk dibahas dari sudut pandang investor.
Kita harus sadar, meskipun telah memuat daftar risiko, prospektus tetaplah alat promosi untuk menjual saham yang akan diterbitkan oleh perusahaan.
Informasi di dalamnya mungkin saja akurat, tetapi cara penyajiannya tetap diatur sedemikian rupa untuk mendorong investor yang membaca prospektus tersebut berkesimpulan, “buy!“
Apa saja informasi “tersembunyi” tersebut? Bagaimana informasi tersebut mempengaruhi prospek GOTO untuk mencapai profitabilitas? Apakah harga penawaran saham IPO GOTO masih wajar atau terlalu mahal dibanding prospek bisnisnya ke depan?
Mari kita bahas!
Mau baca Insight tentang Perusahaan E-Commerce dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Kepemimpinan Semu Tokopedia
Selain cerita soal pertumbuhan, baik historis maupun ke depan, cerita lain yang menjual di prospektus adalah soal market leadership. Lebih mudah menjual saham dari bisnis yang menjadi market leader atau menjadi pemain nomor 1 di industrinya.
Jadi, wajar saja jika dalam 6-12 bulan sebelum IPO, perusahaan berusaha menggenjot kinerja bisnis untuk “mempercantik” prospektusnya.
Sebagai Quality Investor, kita harus sadar bahwa status sebagai market leader hanyalah petunjuk, tetapi bukan bentuk economic moat itu sendiri.
Apa keunggulan kompetitif yang dimiliki dan bisa membuatnya terus menjadi market leader di masa depan, itu baru economic moat.
Data historis hanyalah petunjuk, tetapi analisis economic moat selalu berdasarkan pandangan jangka panjang ke depan (long term forward looking view).
Di antara 3 bisnis utama GOTO yang diklaim menjadi nomor 1 di tiap kategori, saya paling ragu pada market leadership durability dari bisnis E-Commercenya: Tokopedia.
2020 adalah Kekalahan Besar Bagi Tokopedia
“Tokopedia berhasil mencatat rekor dalam jumlah pesanan dan jumlah pengguna unik yang bertransaksi terbanyak pada tahun 2020 karena pengguna memilih bertransaksi menggunakan platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Di sisi lain, Covid-19 juga telah mengubah perilaku belanja konsumen menjadi cenderung menunda pembelian barang-barang yang tidak mendesak (misalnya, barang elektronik dan fesyen) dan memprioritaskan konsumsi kebutuhan sehari-hari dan barang rumah tangga (misalnya FMCG, perabotan dan keperluan rumah tangga) yang pada umumnya memiliki harga yang relatif rendah. Perubahan perilaku ini semakin diakselerasi oleh ketidakpastian ekonomi terutama selama masa awal pandemi Covid-19 dimana masyarakat belum banyak terlibat dalam program vaksinasi dan ketidakpastian kapan kondisi akan kembali normal. Oleh karena itu, meskipun ada peningkatan GTV dari kebutuhan pokok konsumen dan rumah tangga, penurunan GTV pada kategori barang yang tidak mendesak menyebabkan GTV Tokopedia di tahun 2020 turun sebesar 4,8%.”
Prospektus GOTO, hlm. 156.
Penjelasan di atas terlihat masuk akal. Namun, berdasarkan data RedSeer yang menjadi acuan utama berbagai data industri di prospektus GOTO, Gross Transaction Value (GTV) e-commerce formal (tidak termasuk social commerce) pada tahun 2020 justru naik 61%.
GTV Marketplace Bukalapak yang diolok-olok karena dianggap sudah sedikit orang yang menggunakan saja masih tumbuh 32% pada tahun 2020.
Penjelasan manajemen GOTO terkait penurunan GTV Tokopedia makin tidak masuk akal ketika kita melihat GTV Shopee Indonesia.
Manajemen Sea Limited, induk usaha dari Shopee, memang tidak membuka nilai GTV per negara, tetapi dalam beberapa kuartal, mereka membuka data jumlah pesanan Shopee di Indonesia, sebagai pasar terbesar mereka.
Dengan asumsi average order value (AOV) Shopee Indonesia sedikit lebih rendah dari AOV konsolidasi, menurut estimasi saya GTV Shopee Indonesia tumbuh 109% pada tahun 2020. Secara konsolidasi, Shopee memang mengalami pertumbuh sangat pesat selama pandemi COVID-19.
Dari pengamatan saya di bisnis e-commerce di berbagai negara, seperti Amazon di US atau Alibaba di China, pandemi COVID-19 secara umum adalah tailwind yang memberi efek percepatan pada penetrasi dan market size e-commerce.
Jadi jelas, ketika GTV e-commerce di Indonesia meningkat, tetapi GTV Tokopedia justru turun pada tahun 2020, Tokopedia mengalami penurunan GTV share yang signifikan. Berdasarkan data-data yang tersedia, saya estimasi GTV share Tokopedia turun dari 52% pada tahun 2019 menjadi tinggal 30% pada tahun 2020. Bahkan pada tahun 2021, jika data 7 bulan kita setahunkan, saya estimasi GTV share Tokopedia kembali turun menjadi 28%.
Di saat yang sama, GTV Share Shopee Indonesia justru terus membesar dalam kue e-commerce formal dan kini saya estimasi sebenarnya menjadi market leader e-commerce formal di Indonesia,
Berarti klaim di prospektus GOTO bahwa Tokopedia adalah pemain e-commerce nomor 1 di Indonesia secara GTV bohong dong?
Belum tentu. Karena pada umumnya yang dihitung dalam GTV e-commerce, termasuk data dari Redseer, hanyalah nilai transaksi produk fisik. Tidak termasuk produk digital seperti pembelian pulsa, voucher game, emas, reksadana, hingga pembayaran tagihan listrik dan internet.
Mari kita baca sekali lagi penjelasan terkait klaim Tokopedia sebagai pemain e-commerce nomor 1 di Indonesia per Semester 1 2021.
Menurut info dari salah satu pegawai Tokopedia yang saya peroleh, transaksi produk digital punya porsi yang cukup besar di Tokopedia.
Jadi, mari kita tetap beri benefit of the doubt pada Tokopedia. Namun, andai estimasi saya yang salah sekali pun, misalnya karena AOV Shopee Indonesia jauh lebih rendah dibanding AOV konsolidasi, saya tetap yakin bahwa Tokopedia atau bisnis e-commerce GOTO belum benar-benar memiliki moat dan masih harus bersaing ketat dengan Shopee.
Ekosistem Sea Limited Lebih Kuat dari Grab
Salah satu tujuan utama model bisnis ekosistem di mana menjadi fasilitator dua atau lebih pihak dalam sebuah interaksi atau transaksi adalah untuk menciptakan network effect yang saling menguatkan satu sama lain.
Dalam bisnis e-commerce marketplace, makin banyak seller yang bergabung, makin banyak pilihan produk yang tersedia (Stock Keeping Unit), dan makin banyak kebutuhan buyer yang bisa terfasilitasi. Di sisi yang lain, semakin banyak buyer, semakin menarik juga peluang untuk berjualan di ekosistem tersebut dan akan semakin tinggi willingness to pay dari seller untuk membayar platform fee dalam bentuk komisi maupun sejumlah value added service seperti ads dan fulfillment (penyimpanan dan pemenuhan pesanan).
Menurut Pat Dorsey, network effect adalah bentuk economic moat terkuat karena jika network-nya telah self sustained seperti yang terjadi di Amazon, Alibaba, termasuk Google dan Facebook, value yang didapatkan oleh partisipan di network tersebut akan sangat tinggi yang menciptakan high switching cost sekaligus economies of scale yang menurunkan cost per unit bagi perusahaan.
Namun, ada setidaknya dua jenis network effect dengan konsekuensi yang berbeda pada model bisnis. Pertama, nation-wide (or global) network effect yang biasanya dimiliki oleh perusahaan e-commerce atau pure play internet service yang tidak melibat produk fisik. Misalnya, satu seller yang bergabung ke Tokopedia atau Shopee di Jakarta, bisa segera melayani buyer dari Sabang sampai Merauke. Apalagi jika yang difasilitasi adalah produk atau jasa digital.
Hal ini membuat biaya untuk setup dan scale-up network-nya lebih rendah dibanding jenis kedua, local network effect.
Mengapa Uber tidak kunjung bisa membukukan laba usaha meski telah menjadi market leader di Amerika Serikat? Karena setiap kali, Uber masuk ke kota baru, network di kota sebelumnya tidak akan terlalu berguna. Hal yang sama juga dialami oleh bisnis on demand service GOTO dan Grab.
Namun, sisi baiknya, karena lebih capital intensive, barrier to entry di bisnis on demand service pun lebih tinggi dibanding e-commerce. Meski kini Shopee dan Traveloka juga masuk ke layanan food delivery, menurut saya Shopee akan sulit mengulangi keberhasilannya dalam melampaui Tokopedia di e-commerce karena perbedaan jenis network yang dibangun.
FYI, Shopee itu pertama kali diluncurkan pada tahun 2016 loh. 7 tahun setelah Tokopedia berdiri. Namun, berkat dukungan dan pengalaman dari bisnis social games mereka yang telah profitable, strategi dan eksekusi yang baik, serta blunder-blunder yang dilakukan oleh pesaingnya, Shopee bisa memiliki GTV share terbesar di Indonesia saat ini dengan pricing power yang juga lebih tinggi dibanding Tokopedia, pesaing terdekatnya.
Seller biasa di Shopee harus membayar commission rate paling rendah 1,25%, sedangkan di Tokopedia hanya 0,5%. Bahkan, kini program promosi untuk buyer seperti gratis ongkir atau cashback sebagiannya telah ditanggung oleh seller.
Shopee juga membuat perbedaan commission rate antar kategori produk. Produk kategori A yang SKU-nya telah sangat lengkap di Shopee seperti fashion, beauty, dan low price item lainnya diberikan commission rate yang lebih tinggi dibanding produk seperti handphone atau laptop.
Gross take rate Shopee sekarang sudah hampir 3x lipat lebih besar dari Tokopedia (7,3% vs 2,7%) dengan GTV share yang lebih tinggi. Buyer Shopee Indonesia belanja rata-rata 8x per bulan, sedangkan buyer Tokopedia belanja rata-rata 7-8x per kuartal. Regular traffic dan order di Shopee membuat willingness to pay dari seller untuk menerima commission rate dan mengikuti program promosi berbayar dari Shopee terus meningkat.
Shopee Indonesia pun memiliki dan mengendalikan bisnis logistiknya sendiri (Shopee Xpress) ketika Tokopedia hanya bermitra dengan SiCepat dan AnterAja. Layanan fulfillment Shopee (Dikelola Shopee) bahkan ternyata memiliki titik gudang yang lebih banyak dibanding Tokopedia (Dilayani Tokopedia).
Jadi, bergabungnya Tokopedia dengan Gojek sebenarnya adalah kebutuhan untuk bisa mengejar Shopee alias aksi bertahan. Tokopedia butuh kemampuan logistik Gojek terutama untuk layanan pengiriman same day delivery dan instant commerce.
Shopee bahkan kini telah memiliki layanan same day delivery-nya sendiri. Saya tidak akan kaget jika ke depan Shopee bahkan mampu menjual jasa logistiknya ke pemain e-commerce lain.
Akses Permodalan yang Semakin Terbatas
Pembentukan GOTO jelas dibutuhkan oleh (pemegang saham) Tokopedia untuk bisa keeping up dan tetap bersaing ketat dengan Shopee. Namun, apakah Gojek tidak butuh?
Tidak juga. Gojek butuh Tokopedia untuk meningkatkan daya tawarnya dalam fundraising, baik di round terakhir sebelum IPO maupun saat IPO.
Berbeda dengan Sea Limited yang semua segmen bisnisnya menjadi pandemic winner, bisnis mobility Gojek (dan Grab) justru menjadi pandemic loser.
Headwind yang menghambat potensi pertumbuhan biasanya menurunkan risk appetite investor untuk membayar dengan multiple yang tinggi atau bahkan sama sekali enggan menyuntikkan modal. Padahal, di tahapan bisnis seperti Gojek yang masih cash burning, meminta suntikan modal secara rutin adalah sebuah keharusan untuk bisa tetap bertahan.
Akses permodalan untuk Gojek semakin terbatas. Jangankan investor baru, investor lama pun bisa jadi ragu untuk kembali memberikan suntikan modal pada Gojek di tahun 2020.
Hal ini bisa dilihat dari laporan arus kas GOTO yang merekam lalu lintas masuk dan keluarnya kas.
Pada tahun 2020, GOTO yang saat itu masih mewakili entitas bisnis Gojek sebenarnya punya kebutuhan suntikan modal yang tidak jauh berbeda dengan tahun 2019 dan 2018, sekitar 21-23 triliun rupiah. Namun, karena hanya berhasil menggalang pendanaan dari penerbitan saham baru sebesar 2,3 triliun, GOTO melakukan penutupan dan penjualan saham (divestasi) di sejumlah entitas anak dan entitas lain yang kepemilikan sahamnya minoritas.
GOTO bahkan juga mengambil utang bank. Tebak apa jaminannya? Pendapatan komisi dari GoFood.
Di satu sisi, kesulitan akses permodalan ini memang membuat Gojek lebih disiplin dalam alokasi modal. Mereka menutup bisnis GoLife dan GoFood Festival. Mereka juga menjual bisnis Gojek Thailand dan menjual kepemilikan saham minoritasnya di JD.ID dan JD Logistic.
Gojek (dan Grab) juga jadi lebih fokus dalam meningkatkan monetisasi pengguna loyal di bisnis intinya dibanding secara agresif memberi promo untuk mengakuisisi pengguna baru yang belum tentu loyal.
Karena itulah, menurut saya, persaingan antara On Demand Service GOTO dan Grab tidak akan seketat persaingan Tokopedia dengan Shopee.
Namun, di sisi lain, kesulitan Gojek mendapatkan akses modal yang telah terjadi pada tahun 2020 adalah bukti nyata besarnya risiko berinvestasi di cash burning company seperti GOTO.
Manajemen dari perusahaan yang telah mencapai maturity dan punya cash flow yang sehat bisa mengabaikan dinamika pasar saham untuk fokus pada bisnisnya. Privilege ini tidak dimiliki oleh manajemen GOTO.
Pembentukan GOTO dan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) barulah langkah awal untuk menutupi kebutuhan permodalannya untuk bisa tetap survive dan competitive. GOTO masih berencana melakukan IPO di bursa efek luar negeri dan sangat mungkin juga akan meminta tambahan setoran modal lagi dari investor-investornya di masa depan.
Harga penawaran final yang bukan di angka tertinggi (Rp 338 dari range Rp 316 – 346) adalah bukti besarnya tantangan yang dihadapi GOTO untuk mendapatkan pendanaan.
Jadi, IPO GOTO adalah sebuah kebutuhan. GOTO butuh suntikan modal dari kalian.
Namun, apakah value yang bisa ditawarkan sepadan dengan harga penawaran yang diminta?
Semua investor harus menjawab pertanyaan tersebut sebelum mengambil keputusan.
Itulah kenapa, menurut Buffett, jika kembali pada esensi intinya, semua intelligent investing pasti adalah “value investing”. Bukan masalah berapa PE, PBV, atau dividend yield-nya.
“We think the very term ‘value investing’ is redundant. What is ‘investing’ if it is not the act of seeking value at least sufficient to justify the amount paid? Consciously paying more for a stock than its calculated value – in the hope that it can soon be sold for a still-higher price – should be labeled speculation (which is neither illegal, immoral nor – in our view – financially fattening).”
Warren Buffett
Harga Wajar GOTO dan Opportunity Cost
Seperti yang juga tercermin di valuasi saya terhadap BUKA, saya pun sebenarnya cukup optimis pada prospek bisnis GOTO dan ekonomi digital di Indonesia secara umum.
Namun, karena masih belum profitable, pertumbuhan pendapatan yang pesat saja tidak cukup untuk BUKA dan GOTO bisa memberikan value kepada pemegang sahamnya.
BUKA dan GOTO juga harus menjaga agar opex (beban usaha) dan capex-nya (belanja modal) bertumbuh lebih lambat dari pendapatannya.
Jika story utama path to profitability BUKA adalah bisnis Mitra Bukalapak, untuk GOTO akan ada 3 story:
- Fokus untuk mengakuisisi dan menjaga loyal buyer sehingga GOTO bisa menjaga dan meningkatkan pangsa pasarnya dalam perang ekosistem di Indonesia dengan lebih efisien.
- Penawaran yang lebih komprehensif untuk merchant yang tergabung dalam GoFood, Tokopedia, dan berbagai lini bisnis GOTO Financial akan meningkatkan willingness to pay mereka dan menambah take rate GOTO ke depan.
- Fokus untuk mengoptimasi produk inti dan melanjutkan penutupan produk non-inti yang kurang prospektif akan membuat talent productivity meningkat lebih cepat dibanding talent cost.
Penjelasan lebih lengkap soal path to profitability GOTO bisa kalian dapatkan di rekaman INVESTALK di bawah ini.
Berdasarkan estimasi saya, GOTO baru akan bisa menghasilkan free cash flow pada tahun 2028. Lama ya?
Karena sebagian besar cash flow yang akan diperoleh oleh investor IPO GOTO berada jauh di masa depan dan mereka juga masih harus melewati 6 tahun lagi masa untuk “bakar uang” yang bisa jadi lebih lama lagi mengingat faktor persaingan dan tantangan dalam mengakses modal, GOTO tidak layak dihargai “semahal” harga penawaran IPO-nya.
Menurut estimasi saya, pre money valuation (nilai sebelum penambahan suntikan modal baru) GOTO adalah 126 triliun rupiah atau 111 rupiah per lembar saham. Jauh lebih rendah dari PMV IPO GOTO di sekitar 383 triliun rupiah.
Namun, opportunity cost saya yang telah memiliki wonderful cash generating business seperti META, BTPS, dan SCMA bisa jadi berbeda dengan orang lain.
Bagi fund manager yang bekerja untuk client, IPO GOTO ini bisa jadi too big to ignore. Seperti cerita tentang fund manager yang tetap ikut IPO Indocement meski menurut estimasi mereka harganya terlampau mahal. Ya bagaimana, saat itu masih sedikit perusahaan besar yang IPO di bursa efek.
Bagi manajemen dan pegawai GOTO juga bisa jadi harga penawaran IPO GOTO ini masih sepadan. Karena mereka mendapatkan fasilitas opsi saham dengan harga eksekusi yang spesial.
Bagi spekulator cerdas yang sadar betul dirinya berspekulasi, harga IPO GOTO juga bisa jadi masih masuk akal. Saya tidak punya pandangan sedikit pun soal apakah harga saham GOTO akan naik atau turun setelah IPO.
Yang jelas, menurut saya, harga IPO GOTO dibanding value yang bisa ditawarkan, masih terlalu mahal.
Jika masih ragu, kalian bisa juga melakukan adjustment terhadap model valuasi yang saya buat.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untukkeputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi investasi di saham yang dibahas di atas. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.