10 Pelajaran Penting dari Surat Warren Buffett

Ingin belajar tentang filosofi dan strategi investasi Warren Buffett? Pelajari lah secara langsung dari surat-surat yang dirilisnya setiap tahun.

Tidak sah sepertinya jika media edukasi investasi tidak membahas atau memuat kutipan dari Warren Buffett, meskipun konten edukasi lainnya sebenarnya bertentangan dengan pandangan investasi Buffett. Bagi sebagian media edukasi “investasi”, Buffett mungkin hanya dianggap sebagai topik yang bisa meningkatkan engagement. Tidak lebih.

Berbagai buku juga telah ditulis tentang Warren Buffett. Di antara itu, buku yang paling terkemuka adalah Warren Buffett Way dari Robert G. Hagstrom dan seri Warren Buffett yang ditulis oleh Mary Buffett (mantan menantu Warren Buffett).

Namun, menurut saya, tidak akan ada satu pun buku tentang Warren Buffett yang bisa menggantikan surat yang dibuat sendiri oleh Warren Buffett untuk para pemegang sahamnya setiap tahun.

Kumpulan surat Buffett tersebut bisa kalian baca secara gratis di website Berkshire Hathaway. Namun, jika kalian tidak cukup punya waktu dan komitmen untuk mencari timeless wisdom dari 45 surat Bufett yang terdiri dari puluhan halaman tersebut, kalian bisa membaca versi yang telah dibukukan dan disusun secara tematik oleh Lawrence A. Cunningham dengan judul “The Essay of Warren Buffett: Lessons for Investors and Managers”.

Sekarang, saya akan share 10 pelajaran paling penting yang saya dapatkan dari surat Buffett yang telah disusun oleh Cunningham.

1. Semua Investasi Cerdas adalah Value Investing

“We think the very term ‘value investing’ is redundant. What is ‘investing’ if it is not the act of seeking value at least sufficient to justify the amount paid? Consciously paying more for a stock than its calculated value – in the hope that it can soon be sold for a still-higher price – should be labeled speculation (which is neither illegal, immoral nor – in our view – financially fattening).”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1992

Menurut Warren Buffett, kontras dari value investing bukanlah growth investing. Karena growth selalu menjadi komponen dari kalkulasi value.

Bahkan menganggap istilah “value investing” itu tidak perlu. Cukup investing saja.

Artinya, value investing adalah rumah besar yang bisa menampung banyak varian strategi. Ada yang lebih menonjolkan pada low multiple, ada yang lebih menonjolkan pada kualitas bisnis, ada yang lebih menonjolkan pada potensi pertumbuhan.

Selama kita telah melakukan pekerjaan rumah kita, melakukan analisis fundamental dan valuasi, serta tidak membayar di harga yang sudah overvalued, kita masih akan tetap berada dalam rumah besar value intelligent investing yang dirintis oleh Benjamin Graham.

Tanpa menjalnkan prinsip investasi cerdas tersebut, setiap orang yang mengaku sebagai value investor, growth investor, atau bahkan quality investor sekali pun, sebenarnya sedang berspekulasi.

Spekulasi boleh-boleh saja dan tetap bisa juga kok menghasilkan keuntungan. Namun, jangan ngaku berinvestasi ketika kamu sebenarnya sedang spekulasi. Keduanya punya perbedaan yang sangat jelas.

2. Mencari Saham dengan PE dan PBV Rendah bukanlah Ciri Value Investing

“Whether appropriate or not, the term ‘value investing’ is widely used. Typically, it connotes the purchase of stocks having attributes such as a low ratio of price to book value, a low price-earnings ratio, or a high dividend yield. Unfortunately, such characteristics, even if they appear in combination, are far from determinative as to whether an investor is indeed buying something for what it is worth and is therefore truly operating on the principle of obtaining value in his investments. Correspondingly, opposite characteristics – a high ratio of price to book value, a high price-earnings ratio, and a low dividend yield – are in no way inconsistent with a “value” purchase.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1992

Pembelian saham dengan PE dan PBV rendah atau dividend yield tinggi sebenarnya lebih cocok disebut sebagai value factor investing, bukan value investing.

Karena undervalued investment juga bisa kita dapatkan di saham dengan PE dan PBV yang tinggi atau dividend yield yang rendah.

Kuncinya adalah pemahaman terhadap value sebuah bisnis berdasarkan prospek arus kasnya di masa depan.

Ingat, selalu ada dua sisi, price dan value. Sebuah saham bisa jadi makin murah/diskon bukan cuma ketika harganya turun, tetapi ketika intrinsic value-nya naik melebihi kenaikan harganya.

Jadi, jika ada orang yang mengaku “value investor” tetapi lebih banyak bicara soal valuasi, dibanding analisis bisnis, sebaiknya tinggalkan. Orang tersebut jelas tidak benar-benar memahami inti ajaran Benjamin Graham yang dijalankan dengan sangat baik oleh Warren Buffett.

3. Pendekatan Cigarbutt Berisiko Tinggi

If you buy a stock at a sufficiently low price, there will usually be some hiccup in the fortunes of the business that gives you a chance to unload at a decent profit, even though the long-term performance of the business may be terrible. I call this the “cigar butt” approach to investing. A cigar butt found on the street that has only one puff left in it may not offer much of a smoke, but the “bargain purchase” will make that puff all profit.

Unless you are a liquidator, that kind of approach to buying businesses is foolish. First, the original “bargain” price probably will not turn out to be such a steal after all. In a difficult business, no sooner is one problem solved than another surfaces – never is there just one cockroach in the kitchen. Second, any initial advantage you secure will be quickly eroded by the low return that the business earns. For example, if you buy a business for $8 million that can be sold or liquidated for $10 million and promptly take either course, you can realize a high return. But the investment will disappoint if the business is sold for $10 million in ten years and in the interim has annually earned and distributed only a few percent on cost. Time is the friend of the wonderful business, the enemy of the mediocre.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1989

Tidak seperti Buffett, saya tidak akan menyebut tindakan membeli bisnis hanya berdasarkan valuasi bukan kualitas bisnis atau pendekatan Cigar Butt sebagai kebodohan. It’s make sense for 1-2 year time frame investor.

Namun, risiko membeli saham tanpa memperhatikan kualitas bisnis menurut saya terlalu besar, terutama untuk kebanyakan investor individu.

PE ratio yang “tinggi” saat ini bisa turun secara cost basis di masa depan jika earning per share perusahaan bertumbuh positif.

Sebaliknya, pembelian saham dengan PE ratio yang “rendah” saat ini bisa jadi justru meningkat secara cost basis di masa depan jika earning per share mengalami penurunan.

Salah satu contohnya adalah pembelian saham BBNI pada Oktober 2019.

Pendekatan Cigar Butt sangat bergantung pada kecepatan pasar mengapresiasi “value” sebuah bisnis. Karena bisnis medioker dengan ROE rendah akan destroying value ketika di-hold terlalu lama.

Seorang Cigar Butt investor harus berani melepas saham yang tidak kunjung diapresiasi pasar dalam timeframe investasinya (biasanya < 5 tahun). Karena intrinsic value yang tidak compounding, semakin lama menunggu, harga pembeliannya bukannya makin murah, bisa jadi justru malah makin mahal.

4. Pertumbuhan Bisnis Tidak Selalu Menciptakan Nilai Bagi Investor

“Business growth, per se, tells us little about value. It’s true that growth often has a positive impact on value, sometimes one of spectacular proportions. But such an effect is far from certain … Growth benefits investors only when the business in point can invest at incremental returns that are enticing – in other words, only when each dollar used to finance the growth creates over a dollar of long-term market value. In the case of a low-return business requiring incremental funds, growth hurts the investor.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1992

Bukan cuma “value (factor) investor” yang di-roasting oleh Warren Buffett karena salah memahami esensi value investing. Para “growth (factor) investor” yang percaya bahwa pertumbuhan bisnis akan serta merta berkontribusi pada pertumbuhan shareholder value juga kena.

Karena growth hanya salah satu komponen dari kalkulasi value, maka fast growing company belum punya nilai yang lebih tinggi dibanding slow or moderate growing company.

Kuncinya adalah apakah pertumbuhan tersebut profitable atau tidak.

Karena itulah, growth at all cost yang biasa dijalankan oleh venture capital bukanlah intelligent investing.

Perusahaan startup atau young growth harus tetap peduli pada capital efficiency. Setiap alokasi dana untuk pertumbuhan harus dipastikan akan memberi Return on Investment (ROI) yang sepadan di masa depan.

Every growth has cost.

5. Discounted Cash Flow adalah Kerangka Valuasi yang Berguna

“In The Theory of Investment Value, written over 50 years ago, John Burr Williams set forth the equation for value, which we condense here: The value of any stock, bond or business today is determined by the cash inflows and outflows – discounted at an appropriate interest rate – that can be expected to occur during the remaining life of the asset.

The investment shown by the discounted-flows-of-cash calculation to be the cheapest is the one that the investor should purchase – irrespective of whether the business grows or doesn’t, displays volatility or smoothness in its earnings, or carries a high price or low in relation to its current earnings and book
value.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1992

Ada yang menganggap Warren Buffett tidak menggunakan Discounted Cash Flow (DCF). Jika yang dimaksud adalah DCF ala akademisi dan investment banker yang menggunakan volatility harga saham (beta) sebagai ukuran risiko sebuah saham, mereka benar.

Namun, Buffett tetap menggunakan kerangka DCF dalam membuat estimasi value terhadap cash generating asset. Bukan cuma saham (kepemilikan minoritas) dan bisnis (kepemilikan mayoritas/pengendali), tetapi juga surat utang (bond) dan aset-aset lain yang menghasilkan cash flow.

Karena itulah ada yang menyebut cara valuasi Buffett sebagai equity-bond. Menurut saya, hal itu penyempitan makna. Sama seperti mengasosiasikan intelligent investing dengan membeli saham dengan PE & PBV rendah.

Cara valuasi Buffett ya DCF. Sama seperti intelligent investing yang dirintis Benjamin Graham, DCF yang dirintis oleh John Burr Williams juga merupakan rumah besar untuk berbagai varian cara valuasi.

Ada yang merasa cukup mengestimasikan laba bersih. Ada yang harus berupa free cash flow. Ada yang lebih suka pakai dividen. Ada yang menggunakan angka yang berbeda untuk discount rate. Ada pula yang menggunakan angka yang berbeda untuk discount rate sesuai tingkat risiko dari masing-masing saham.

Dengan kerangka DCF, kita akan dipaksa untuk selalu forward looking dalam menilai sebuah bisnis. Rekam jejak memang penting, tetapi dalam investasi, kinerja historis tidak lebih dari sekadar baseline untuk membuat estimasi tentang potensi cash flow di masa depan.

Ketika sebuah bisnis saat ini masih rugi atau ROE-nya rendah, harus kita yakini akan bisa turnaround atau bertumbuh secara profitable di masa depan, agar bisa kita bisa mendapatkan value. Jika tidak, maka kita akan terjebak pada permanent mediocre business yang harga sahamnya nampak “murah” dan akan terus nampak “murah” di masa depan.

Sebaliknya, bisnis yang saat ini sudah profitable, harus kita yakini akan bisa sustainable profitabilitasnya dalam waktu yang panjang. Jika tidak, kita akan membayar kemahalan untuk bisnis yang sebenarnya tidak bagus-bagus banget.

6. Semua Orang Bisa Salah dalam Valuasi

“Though the mathematical calculations required to evaluate equities are not difficult, an analyst – even one who is experienced and intelligent – can easily go wrong in estimating future “coupons.” At Berkshire, we attempt to deal with this problem in two ways. First, we try to stick to businesses we believe we understand. That means they must be relatively simple and stable in character. If a business is complex or subject to constant change, we’re not smart enough to predict future cash flows. Incidentally, that shortcoming doesn’t bother us. What counts for most people in investing is not how much they know, but rather how realistically they define what they don’t know. An investor needs to do very few things right as long as he or she avoids big mistakes.

Second, and equally important, we insist on a margin of safety in our purchase price. If we calculate the value of a common stock to be only slightly higher than its price, we’re not interested in buying. We believe this margin-of-safety principle, so strongly emphasized by Ben Graham, to be the cornerstone of investment success.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1992

Ketika banyak investor lain begitu terobsesi pada formula valuasi yang canggih untuk menghasilkan hitungan nilai intrinsik yang yang presisi, Buffett justru menegaskan bahwa hitungan-hitungan valuasi itu tidak sulit.

Yang sulit adalah membuat estimasi yang masuk akal tentang potensi cash flow generation sebuah bisnis di masa depan. Bukan formula valuasi, tetapi value driver-nya.

Namun, berurusan dengan ketidakpastian adalah bagian dari pekerjaan kita sebagai investor. Tidak ada yang pasti di masa depan.

Namun, kita bisa meningkatkan kemungkinan kita untuk berhasil dan menurunkan kemungkinan gagal dengan cara hanya membeli bisnis yang kita mengerti dan meminta margin of safety.

Seorang investor membeli saham di harga yang terlampau mahal bukan karena tidak pandai dalam membuat model valuasi, tetapi karena tidak cukup tekun dalam memahami bisnis dan tidak cukup sabar menunggu harga beli yang memberi margin of safety.

7. Warren Buffett Tidak Punya Target Price

“Whenever Charlie and I buy common stocks for Berkshire’s insurance companies (leaving aside arbitrage purchases, discussed later) we approach the transaction as if we were buying into a private business. We look at the economic prospects of the business, the people in charge of running it, and the price we must pay. We do not have in mind any time or price for sale. Indeed, we are willing to hold a stock indefinitely so long as we expect the business to increase in intrinsic value at a satisfactory rate.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1987

Ketika kita membeli saham, kita menukar cash kita hari ini dengan potensi cash flow (dividen) di masa depan. Kerangka inilah yang mendasari ungkapan dari Warren Buffett, “price is what you pay, value is what you get.”

Nah, kita bisa pakai kerangka yang sama untuk mencoba memahami mengapa Buffett tidak punya target price. Ketika kita menjual saham, berarti kita menukar potensi cash flow kita dengan cash dan seringkali direalokasi untuk membeli potensi cash flow lainnya.

Karena itu, keputusan jual hanya rasional, ketika cash yang kita dapat hari ini sudah jauh lebih tinggi dibanding potensi cash flow generation dari bisnisnya.

Masalahnya, karena semua investor bisa salah dalam valuasi, ongkos dari salah jual lebih besar dibanding ongkos dari salah beli.

Kita bukan cuma bisa menjual “terlalu murah” dibanding potensi cash flow generation sebuah bisnis yang terus compounding dalam jangka panjang, kita juga bisa salah membeli bisnis pengganti yang ternyata tidak lebih baik.

Jadi, bagi Buffett, menyimpan saham selama mungkin itu bukan limitasi. Buffett bisa menjual saham setelah hold 6 bulan, 1 tahun, atau 5 tahun.

Hold forever adalah aspirasi. Jika bisa tetap mendapat return yang sepadan tanpa harus terlalu sering jual-beli, kenapa tidak?

Less worry, less decision, less mistake, less trading fee, less tax bill.

“Investing is where you find a few great companies and then sit on your ass.”

Charlie Munger

8. Jangan Jual Winner Stock Business

“Inactivity strikes us as intelligent behavior. Neither we nor most business managers would dream of feverishly trading highly-profitable subsidiaries because a small move in the Federal Reserve’s discount rate was predicted or because some Wall Street pundit had reversed his views on the market. Why, then, should we behave differently with our minority positions in wonderful businesses? The art of investing in public companies successfully is little different from the art of successfully acquiring subsidiaries. In each case you simply want to acquire, at a sensible price, a business with excellent economics and able, honest management. Thereafter, you need only monitor whether these qualities are being preserved.

When carried out capably, an investment strategy of that type will often result in its practitioner owning a few securities that will come to represent a very large portion of his portfolio. This investor would get a similar result if he followed a policy of purchasing an interest in, say, 20% of the future earnings of a number of outstanding college basketball stars. A handful of these would go on to achieve NBA stardom, and the investor’s take from them would soon dominate his royalty stream. To suggest that this investor should sell off portions of his most successful investments simply because they have come to dominate his portfolio is akin to suggesting that the Bulls trade Michael Jordan because he has become so important to the team.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1996

Kira-kira hal di atas lah yang akan dijawab oleh Buffett ketika ada yang tanya, “saham saya sudah cuan 100% nih, sebentar lagi akan ada tapering, sudah saatnya jual kah?”

Saat ini, 47,6% portofolio saham Berkshire dihuni oleh 1 saham, Apple Inc.

Mengapa Buffett tidak “mengamakan” profit-nya di saham Apple dan melakukan rebalancing?

Tidak juga kok. Pada Q3 dan Q4, Buffett melakukan penjualan sebagian saham Apple dengan nilai sekitar 4% dari portofolio. Namun, bukannya happy, Buffett justru menyesal dengan keputusannya tersebut.

That was probably a mistake…Charlie in his usual low key way let me know he thought it was a mistake, too… It’s an extraordinary business… [Tim Cook] couldn’t do what Steve Jobs obviously could do in terms of creation, but Steve Jobs couldn’t do what Tim Cook has done in many respects.”

Warren Buffett

Jika menjual seluruh winner business seperti menjual Michael Jordan ke tim lain, menjual sebagian bisa dianalogikan dengan mendudukkan di bangku cadangan dan membiarkan Bulls bertanding tanpa pemain terbaiknya.

It doesn’t make any sense.

9. Opportunity Cost = Ongkos Nyata yang Tak Nampak

“Some of my worst mistakes were not publicly visible. These were stock and business purchases whose virtues I understood and yet didn’t make. It’s no sin to miss a great opportunity outside one’s area of competence. But I have passed on a couple of really big purchases that were served up to me on a platter and that I was fully capable of understanding. For Berkshire’s shareholders, myself included, the cost of this thumb-sucking has been huge.

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1989

Separuh masalah finansial kita akan selesai jika kita sadar bahwa semua pilihan itu punya ongkos. Bukan cuma onkgos dari pilihan yang kita pilih, tetapi juga ongkos dari pilihan yang tidak kita pilih.

Kita tidak bisa memiliki kue yang utuh sambil tetap memakannya. Kita harus memilih dan kita harus sadar konsekuensi dari setiap pilihan kita.

Buffett tentu tidak bodoh. Namun, Buffett mengakui bahwa terkadang dirinya juga melakukan kesalahan yang memberi ongkos tertentu pada pemilik saham Berkshire, termasuk dirinya.

Menurut Buffett, kesalahan yang punya ongkos terbesar justru bukan salah beli saham yang dapat dengan mudah terlihat dan dikoreksi, tetapi tidak membeli saham bagus yang sebenarnya kita pahami dan punya potensi memberi keuntungan yang sepadan karena berbagai alasan.

Bisa jadi saat itu Buffett punya cadangan kas yang terbatas dan tidak bersedia menjual saham lain di portofolio. Atau margin of safety yang ditawarkan di harga saat itu tidak terlalu besar meski sebenarnya tidak mahal juga.

Meski kesalahan karena melewatkan peluang yang kita pahami tidak nampak, tetapi kesalahan tersebut tetap perlu kita akui, karena hanya dengan mengakui kesalahan kita akan bisa jadi investor yang lebih baik.

10. Keberhasilan Investasi = Keberhasilan Bisnis

“Following Ben’s teachings, Charlie and I let our marketable equities tell us by their operating results – not by their daily, or even yearly, price quotations – whether our investments are successful. The market may ignore business success for a while, but eventually will confirm it. As Ben said: ‘In the short run, the market is a voting machine but in the long run it is a weighing machine.’ The speed at which a business’s success is recognized, furthermore, is not that important as long as the company’s intrinsic value is increasing at a satisfactory rate. In fact, delayed recognition can be an advantage: It may give us
the chance to buy more of a good thing at a bargain price.”

Buffett’s Letter for Berkshire Shareholder 1987

Investor = business owner.

Jika kita kita sudah benar-benar memahami hal tersebut, kita harusnya tidak lagi khawatir dengan pergerakan harga saham.

Harga saham tidak ke mana-mana sekali pun, jika kemampuan cash flow generation perusahaan tidak memburuk, kita tetap akan jadi makin kaya.

Intelligent investing yang diajarkan oleh Benjamin Graham businesslike investing. Investor menumpang dan mendapatkan manfaat dari kesuksesan sebuah bisnis.

Jadi, tidak masuk akal, jika kita membeli bisnis yang kita yakini masa depannya akan buruk hanya harga sahamnya terlihat murah berdasarkan PE, PBV, atau dividend yield.

“Investment is most intelligent when it is most businesslike”

Benjamin Graham

Itulah kenapa, dalam analisis saham di INVESTABOOK Insight, kami lebih banyak membahas soal kualitas bisnis dan prospek compounding-nya dalam jangka panjang.

Kami ingin tahu, seberapa besar peluang bisnis tersebut untuk sukses di masa depan. Hanya dengan itulah kami bisa punya dasar untuk menilai apakah peluang kesuksesan tersebut sudah sepenuhnya dihargai oleh Mr. Market atau belum.


Mau dapet panduan investasi saham untuk pemula, watchlist saham potensial, dan teman diskusi sefrekuensi? Yuk langganan Paket Belajar INVESTABOOK. Dapatkan potongan harga 15% untuk pembelian pertama dengan membuat akun.

Alfisyahrin

Investor aktif sejak 2018. Suka ngulik data dan mengenali pola sejak kuliah di Sosiologi Universitas Indonesia. Percaya tentang pentingnya kualitas dalam berbagai urusan, termasuk dalam investasi. Sangat tertarik pada titik temu antara keuangan, media, dan teknologi.

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
0 0 votes
Rating Analisis
Subscribe
Notify of

Insight Menarik Lainnya

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!