Mengapa Saya Yakin Meta Platform akan Berhasil Mengeksekusi Visi Metaverse

Metaverse tidak seabstrak dan sejauh itu. Sebaliknya, kita justru semakin butuh metaverse hadir di hidup kita. Meta Platform berpotensi menjadi pemain terbesar di era baru platform digital ini.

Sejak Facebook Connect 2021, istilah metaverse langsung menjadi buzzword baru di dunia bisnis dan teknologi. Mark Zuckerberg, Founder & CEO Facebook yang kini berganti nama menjadi Meta Platform, berhasil membuat para pemimpin bisnis besar lainnya, terutama di bidang teknologi, dipaksa menjawab pertanyaan media atau analis, “apa visi mereka untuk metaverse?

“Saya merasa beruntung misi kami timeless (abadi). Ada semakin banyak informasi yang perlu dikelola dibanding sebelumnya.”

Sundar Pichai (CEO Alphabet/Google)

Walupun Sundar Pichai percaya ke depan komputasi akan berkembang menjadi semakin immersive, terutama menurutnya melalui Augmented Reality (AR), Alphabet akan tetap menjadikan search sebagai fokus utama.

Komentar serupa juga diberikan oleh Tim Cook, CEO Apple.

“Kami adalah perusahaan di bisnis inovasi. Jadi, kami akan selalu mengeksplorasi teknologi baru. … Saat ini, kami memiliki lebih dari 14.000 AR kit app di App Store yang menghadirkan pengalaman AR yang luar biasa ke jutaan orang. Kami melihat banyak potensi di sini dan akan berinvestasi berdasarkan potensi tersebut.”

Tim Cook

Di Indonesia, salah satu “media” yang menjadi rujukan dalam narasi seputar metaverse adalah Pak Indrawan Nugruho. Beliau adalah konsultan inovasi sekaligus content creator di youtube.

Dalam sejumlah video essay di youtube channel-nya maupun interview-nya di youtube channel lain seperti podcast Close The Door, Pak Indrawan memaparkan dengan sangat baik apa itu metaverse, siapa saja yang sedang berusaha membangun metaverse, dan apa pentingnya metaverse bagi dunia bisnis dan kehidupan kita sehari-hari.

Dalam salah satu video essay-nya, Pak Indrawan bahkan dengan tegas mengatakan bahwa visi metaverse bagi Meta Platform adalah sebuah keniscayaan untuk bertahan di tengah strategic inflection point karena disrupsi yang tengah menerpa core business Meta di social media.

Dalam video essay tersebut, saya melalui akun INVESTABOOK kemudian memberikan tanggapan di kolom komentar sebagai berikut:

“Terima kasih Pak Indrawan! Seperti biasa, pembahasannya selalu ciamik!

Kami sepakat, META memang sedang lompat ke S curve baru ketika mereka menggarap visi Metaverse. Namun, saya kami kurang sependapat dengan kesimpulan Bapak bahwa “Mark sudah melihat bahwa masa-masa kejayaan Facebook akan segera berakhir”.

Kesimpulan itu menurut kami kurang komplit karena beberapa alasan:

1. Metaverse cuma salah satu dari fokus bisnis META di 2020 dan seterusnya. Ada juga Reels, Community Messaging (WhatsApp, Messenger, DM), Commerce (Facebook & Instagram Shop), hingga teknologi Ads yang lebih privacy-friendly dengan memanfaatkan AI.

2. Peningkatan belanja modal (capex) META yang mencapai 2x lipat pada tahun 2022 sebagian besar dialokasikan untuk Family of Apps (FB, IG, WA) bukan Reality Labs (Metaverse).

3. Dengan keunggulan strukturalnya pada targeting dan measurement, digital advertising platform akan terus memakan kue dari platform iklan konvensional seperti TV, media cetak, dan iklan luar ruangan. Perkembangan e-commerce dan ekonomi digital secara umum akan terus meningkatkan demand untuk platform digital advertising yang bisa membantu bisnis menjangkau target konsumennya dengan efisien.

4. Mencuri time spent baru langkah awal untuk membuat platform digital advertising yang efisien. META masih punya sejumlah PR untuk bisa mengambil balik time spent yang dicuri oleh Tiktok. Namun, Tiktok juga masih punya PR yang tidak sedikit untuk bisa menawarkan Return on Advertising Spend (ROAS) yang sepadan bagi para pengiklan.

5. Tiktok bukan social media. Pengguna Tiktok mencari hiburan/informasi di sana. Konten di Tiktok lebih banyak berisan secara value proposition dengan konten Youtube dibanding konten Facebook dan Instagram. Namun, Mark juga menyadari tren bahwa kita akan lebih banyak mengkonsumsi public content di feed, sedangkan interaksi dengan keluarga/teman pindah ke group & private chat. Sayangnya, Tiktok atau induknya Bytedance tidak punya aplikasi messaging terbesar di dunia seperti WhatsApp.

Kami percaya, bahkan hingga Metaverse bisa mewujud nyata nanti, misalnya 10 tahun lagi, bisnis-bisnis Family of Apps akan tetap punya kegunaan yang nyata bagi konsumen dan bisnis.

Saya percaya, kita tidak bisa mengekstrapolasi pengalaman individual kita atau circle kita sebagai gambaran agregat value proposition sebuah bisnis.

Contohnya, saya memang tidak lagi rutin membuka Facebook kecuali Facebook Ads Manager. Time spent saya di Instagram pun kini lebih banyak untuk pekerjaan dibanding berinteraksi dengan teman atau menikmati public content. Untuk network yang saya buat dari 0 seperti grup kantor atau grup Quality Investor Club, saya pun menggunakan Telegram, bukan WhatsApp.

Namun, setelah mempelajari bisnis Meta dan industri teknologi secara umum, saya sadar bahwa pengalaman saya dan mungkin juga pengalamanmu tidak dialami oleh kebanyakan orang.

Saat iseng membuka Facebook App, ternyata saya masih menemukan teman-teman saya yang meng-update kehidupan pribadinya di news feed atau facebook stories. Hampir separuh penduduk internet dunia selain China masih menggunakan Facebook setiap hari. Saya ulangi, setiap hari.

Di Indonesia, proporsinya lebih besar lagi. 63% penduduk internet Indonesia adalah pengguna Facebook.

Bagi saya yang tidak lagi menemukan kegunaan nyata dalam Facebook App selain untuk keperluan bisnis, statistik di atas tentu saja mengejutkan.

Namun, frasa “selain untuk” ternyata adalah kata kunci untuk memahami begitu banyaknya orang yang masih menggunakan Facebook App saat ini.

Di saat kita punya semakin banyak alternatif aplikasi, mula dari Instagram dan WhatsApp yang juga dimiliki oleh Meta, Youtube yang dimiliki Google, Tiktok yang dimiliki Bytedance, Netflix, atau berbagai game yang bisa kita mainkan di PC, mobile, ataupun console.

Sama seperti saya, orang-orang hanya butuh minimal 1 alasan untuk tetap mengakses Facebook App. Hebatnya Meta, mereka menyediakan banyak alternatif alasan agar orang-orang tetap membuka Facebook App.

Orang-orang bisa membuka Facebook App untuk berbagi cerita dan berdiskusi di Facebook Group. Riset NYU menunjukkan bahwa Facebook Group memiliki 1,8 miliar pengguna yang mengaksesnya paling tidak 1x sebulan. Ada lebih dari 70 juta admin yang mengelola Facebook Group dengan beragam topik.

Orang-orang juga bisa menawarkan atau mencari rumah untuk dibeli atau disewa di Facebook Marketplace yang bekerja dengan skema listing sederhana seperti OLX. Per Q1 2021, Facebook Marketplace telah memiliki 1 miliar pengguna aktif. Facebook Shop yang baru diluncurkan pada 2020 dan menawarkan commerce experience yang lebih lengkap telah memiliki 250 juta pengguna aktif. di US, pengguna Facebook Shop (dan Instagram Shop) sudah bisa melakukan in app checkout tanpa harus mengunjungi website lain.

Orang-orang juga menonton gamers yang melakukan live stream di Facebook Gaming. FYI, dari segi total time watched, Facebook Gaming bahkan sudah lebih besar dibanding Youtube Gaming, meskipun masih jauh tertinggal dari Twitch yang dimiliki oleh Amazon.

Sumber: StreamLabs

Bahkan tanpa Instagram dan WhatsApp sekali pun, bisnis social media Meta masih jauh dari “yahoo moment“.

Tanpa menafikan headwind yang kini tengah menerpa mesin uang Meta karena App Tracking Policy (ATT) Apple dan Tiktok, Family of App Meta menurut saya punya perbekalan yang cukup untuk tetap bertahan dan bertumbuh, baik dari segi pengguna maupun rata-rata pendapatan per pengguna.

Namun, tesis investasi saya untuk Meta buka cuma soal defensible wide moat business, tetapi juga soal peluang value creation dari visi ambisius Mark Zuckerberg: metaverse.

Sama seperti kekuatan Family of Apps, saya juga menemukan misunderstanding dan misjudgment dalam peluang keberhasilan Meta mengeksekusi visi Metaverse-nya.

So, let’s break it down!

Mau baca Insight tentang Sektor Teknologi dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!

Visi Jangka Panjang Mark Zuckerberg

Banyak pengamat yang mengatakan bahwa rebranding Facebook menjadi Meta adalah untuk menggeser narasi dan memulihkan citra bisnisnya yang dipandang buruk terutama pasca kasus kebocoran data cambridge analytica di Facebook App dan sejumlah dampak buruk lain dari social media-nya seperti polarisasi politik hingga kesehatan mental remaja.

Zuckerberg menjawab dengan sangat baik berbagai isu dan tuduhan tersebut di podcast ini. Durasinya 2 jam, tetapi menurut saya sepadan jika kamu memang ingin mempelajari DNA dari Meta dan sang founder.

Namun, satu poin penting yang seringkali dilewatkan orang-orang ketika berbicara tentang visi Metaverse Meta adalah ini bukan visi baru.

Oculus telah diakuisisi oleh Meta sejak tahun 2014. Meta telah mengakuisisi perusahaan Virtual Reality (VR) headset terkemuka 7 tahun sebelum visi metaverse disampaikan secara terbuka.

Dalam sebuah email internal yang bocor pada tahun 2015, Zuck mengungkapkan visinya tentang Metaverse, sebelum dirinya menggunakan istilah tersebut.

Visi kita adalah VR / AR akan menjadi the next major computing platform setelah mobile dalam 10 tahun. VR / AR bahkan bisa lebih ubiquitous (ada di mana-mana) dibanding mobile – terutama ketika telah mampu mencapai AR – karena kita bisa selalu membuatnya menyala. VR / AR juga lebih alami dibanding mobile karena mereka menggunakan penglihatan dan sistem gerak normal kita.”

Mark Zuckerberg

Sesuatu yang yang baru kita dengar Oktober tahun lalu, telah menjadi bahasan di internal Meta sejak tahun 2015.

Zuckerberg juga telah sadar bahwa posisinya akan selalu rentan di mobile platform, jauh sebelum Apple menggunakan landlord power-nya dalam mengimpelementasikan ATT yang membatasi kemampuan Meta melakukan pelacakan yang saat ini menjadi teknologi dasar dalam digital advertising. Sesuatu yang dianggap berpotensi tidak efektif oleh Google yang juga akan membuat kebijakan serupa di Android tetapi dengan pendekatan yang lebih gradual untuk mencari alternatif teknologi digital advertising yang lebih ramah privasi sekaligus tetap efektif.

“Kita berada dalam posisi yang rentan di mobile terhadap Google dan Apple karena mereka lah yang membuat major mobile platform. Kita harus memiliki posisi strategis yang lebih kuat di gelombang computing berikutnya. Kita hanya bisa meraihnya dengan cara membangun major platform sekaligus aplikasi kunci.

… kita harus berhasil dalam keduanya, baik major platform maupun aplikasi kunci untuk meningkatkan posisi strategis kita di the next computing platform. Jika kita hanya membuat aplikasi kunci saja, kita akan tetap di posisi strategis kita yang sekarang. Jika kita hanya membuat platform saja, kita mungkin akan ada di posisi yang lebih lemah.”

Mark Zuckerberg

Fakta bahwa Apple harus menggunakan “cara keras” untuk merebut pangsa pasar Mobile Apps Install Ads dari Facebook adalah bukti bahwa memiliki aplikasi kunci yang digunakan secara berulang oleh pengguna seperti Family of App Meta, sama pentingnya dengan memiliki hardware dan OS.

Pangsa pasar iklan aplikasi di iOS

Tim Cook tentu saja tidak happy ketika melihat sebagian besar aplikasi terpasang di iOS justru berasal dari iklan yang ditayangkan di Facebook dan Instagram. Apple memang akan tetap mendapat bagian 30% dari aplikasi premium ataupun in app transaction di platform-nya. Namun, hal itu sepertinya tidak cukup bagi Tim Cook.

Dalam visi metaverse versi 2015, Zuckerberg membayangkan bahwa mereka akan mengeksekusi strategi dengan urutan yang terbalik dari ekosistem Apple. Jika Apple memulai dengan hardware, platform service, baru kemudian apps / experiences.

Meta harus membuat dulu aplikasi kunci yang menawarkan kegunaan nyata dan membuat harga beli perangkat VR / AR menjadi sepadan.

“Aplikasi kunci seperti yang kalian kira adalah aplikasi komunikasi sosial dan konsumsi media terutama immersive (3D) video. Gaming tetap penting, tetapi sifatnya akan musiman dan tidak bertahan lama, jadi memiliki game kunci sepertinya tidak terlalu penting dibanding sekadar membuatnya tersedia di platform kita.”

Mark Zuckerberg

Visi tersebut lah yang mendasari lahirnya Horizon World, sebuah dunia 3D yang menjadi “Facebook of Metaverse” dan sudah bisa dinikmati secara gratis oleh pengguna berumur 18 tahun ke atas di US dan Canada, pasar paling matang dari ekosistem Meta.

Terkait platform service, sejak tahun 2015 pun Zuckerberg sudah menekankan pada pentingnya interoperability. Zuckerberg membayangkan platform tersebut harus bisa diakses di iOS, Android, dan desktop. Kurang lebih, visi interoperability mirip seperti cloud first company ala Microsoft di bawah Satya Nadella.

Menurut Zuckerberg, membuat platform tidak berarti harus membuat sebuah OS yang berdiri sendiri seperti iOS, Android, atau Windows. Dalam visinya, Meta harus mampu membangun core platform service yang superior secara fungsi dan memberi opportunity cost yang besar jika diabaikan oleh pemilik OS.

Visi Zuckerberg untuk platform service tersebut memberikan konteks terhadap berita pembubaran tim yang sebelumnya ditugaskan untuk membangun satu OS tunggal untuk VR dan AR.

Zuckerberg tidak hanya ingin sekadar mengganti android dari Quest. Mereka ingin membuat sesuatu yang membuat Google, iOS, dan Microsoft merasa rugi jika tidak menggunakan platform service Meta di OS mereka.

Dari sisi hardware, Zuckerberg menyadari bahwa ini adalah bagian tersulit untuk membangun dan mengembangkannya dalam skala besar. Namun, hardware tetap diperlukan untuk mempercepat adopsi VR / AR dan bahkan bisa menjadi revenue stream yang penting seperti iPhone Apple.

“Visi kita secara keseluruhan di bidang ini adalah kita akan punya aplikasi kunci yang digunakan oleh banyak orang, punya cakupan yang besar dalam platform service (seperti Google via Android) dan cukup kuat di hardware dan sistem untuk memberikan dukungan minimal untuk visi platform service kita dan jadi yang terbaik di kategorinya.”

Mark Zuckerberg

Dengan kata lain, dalam visi metaverse Meta versi 2015, Meta ingin tetap mempertahankan keunggulan aplikasi kunci yang dimiliki oleh Family of Apps-nya sambil “meniru” keunggulan platform service Android yang digunakan di banyak device dan kualitas hardware ala Apple.

Namun, sayangnya, tidak semua visi metaverse Meta versi 2015 tersebut berjalan sesuai rencana.

Pertama, dari segi timeline, setelah 6 tahun berjalan, belum ada lompatan adopsi yang signifikan dari VR / AR. Dalam presentasi visi Metaverse versi 2021, Zuckerberg meminta “tambahan waktu” 10 tahun ke depan untuk mendorong adopsi yang lebih masif dari metaverse.

Kedua, Zuckerberg juga salah menilai sifat gaming apps yang dalam beberapa tahun belakangan telah berkembang menjadi new social apps, terutama untuk anak-anak dan remaja. Game seperti Fortnite atau Roblox telah berkembang bukan hanya menjadi Intellectual Property (IP), tetapi juga platform untuk berkreasi dan membuat dunia virtual. 2D virtual world game adalah jembatan yang diperlukan Meta untuk mempercepat adopsi metaverse.

Pada presentasi visi Metaverse versi 2021, Zuckerberg mengumumkan bahwa game Grand Theft Auto San Andreas yang menjadi 2D virtual world pada masanya akan hadir di VR headset Meta, Quest. Namun, menurut saya, itu tidak cukup. Meta harus mampu menghadirkan 2D virtual world yang banyak digunakan di masa sekarang, entah menghadirkan Roblox atau Fortnite di Quest atau membuat Horizon World yang ke depan akan bisa diakses via mobile semenarik Fortnite atau Roblox.

Ketiga, Meta belum berhasil mengakuisisi Unity, perusahaan yang menyediakan cross-platform game engine. Ide untuk mengakuisisi Unity adalah salah satu action plan penting dari email tahun 2015 yang bocor tersebut. Meta bisa memanfaatkan dan mengembangkan core competence Unity untuk menghadirkan VR / AR experience yang bisa bekerja dengan baik lintas platform.

Pengawasan antitrust yang begitu ketat pada US Big Tech yang dianggap melakukan monopoli seperti Amazon, Google, dan Meta sepertinya jadi salah satu alasan mengapa ide tersebut gagal dieksekusi. Meta bahkan tidak bisa mendapatkan izin dari regulator sekadar untuk mengakusisi Giphy, perusahaan database gambar bergerak atau GIF.

Situasi itulah yang membuat saya berpikir, jangan-jangan, peningkatan kompetisi yang dialami oleh Meta dari Apple dan Tiktok yang dibahas berulang kali di earning call Q4 2021 dan penurunan market cap Meta justru akan jadi trigger Meta kembali diizinkan untuk melakukan akuisisi besar seperti sang “Good Big Tech” Microsoft yang akan mengakuisisi perusahaan game Activision Blizzard dengan nilai $68,7 miliar. We’ll see apakah Meta bisa mengakuisisi Unity ke depan.

Jadi, visi Metaverse versi 2021 adalah iterasi dan penyempurnaan dari versi 2015.

Namun, berbeda dengan peluncuran iPhone pada tahun 2007 yang barangnya bisa segera beredar dalam hitungan bulan. Banyak yang menganggap bahwa Metaverse yang dipresentasikan oleh Zuckerberg dan tim masih terlalu jauh dan belum cukup matang.

Jika dibandingkan dengan peluncuran iPhone, pendapat tersebut ada benarnya. Namun, perlu diingat bahwa iPhone bukanlah perintis ponsel, sebelumnya telah ada Nokia, Windows Phone, dan Blackberry. Mobile adoption sudah dimulai, meskipun iPhone punya peran penting untuk membuatnya sebesar sekarang.

Meta butuh lebih banyak pihak untuk turut mempercepat hadirnya metaverse dari segala sisi. Meta butuh lebih banyak pihak yang merasa bahwa mobile computing sudah tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan kita.

Karena itulah, menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk mengajak orang-orang mempertimbangkan metaverse selain tahun 2021.

Pandemi yang Mempercepat Digitalisasi

Tahun 2021 adalah tahun kedua dari pandemi COVID-19 yang membatasi mobilitas penduduk di hampir seluruh penjuru dunia dan memaksa kita mempercepat adopsi digital dalam kehidupan kita sehari-hari.

Digitalisasi terjadi di semakin banyak bidang, dengan tingkat penetrasi yang semakin besar, dan cakupan kelompok pengguna yang semakin beragam.

Di dunia kerja, video conferencing bukanlah hal yang benar-benar baru. Sebagian perusahaan yang punya wilayah kerja di banyak negara biasanya telah menggunakannya untuk meminimalisir biaya perjalanan. Kita mengenal skype.

Namun, ketika pandemi COVID-19 terjadi, Zoom lah yang menjadi standar industri. Zoom daily participant naik dari 10 juta pada tahun 2019 menjadi 350 juta pada tahun 2020.

Bukan cuma di dunia kerja, sekolah yang seringkali terlambat dalam mengadopsi perkembangan digital pun dipaksa oleh kondisi untuk menggunakan zoom atau alternatif video conferencing lain seperti Microsoft Teams, Google Meet, Webex, dll.

Aktivitas sosial yang santai seperti nongkrong dan ngobrol dengan teman pun harus menempuh jalur yang sama seperti rapat formal.

Hal ini kemudian memunculkan yang disebut oleh Jeremy Bailenson, seorang Psikolog dari Standford University, sebagai “zoom fatigue” atau kelelahan yang ditimbulkan oleh terlalu banyak melakukan Zoom meeting.

Menurut Bailenson, zoom fatigue disebabkan oleh 4 faktor:

  1. Tatapan Mata dari Jarak Dekat. Di zoom, kita harus melihat dan dilihat oleh banyak orang dengan waktu yang bersamaan dengan ukuran wajah yang lebih kecil karena dibatasi layar. Di dunia nyata, kita terbiasa punya jarak sosial yang beragam tergantung tingkat kedekatan kita dengan orang lain. Situasi di zoom meeting mirip seperti situasi di lift di mana kita dipaksa untuk berdekatan dengan orang yang tidak kita kenal. Masalahnya, kita naik lift hanya 5-10 menit tiap hari, sedangkan kita mungkin zoom meeting 1-2 jam per hari.
  2. Beban Kognitif. Komunikasi secara langsung bisa lebih ringan secara psikologis karena kita tidak hanya berkomunikasi dengan bahasa lisan, tetapi juga melakukan gesture dan mimik muka. Hal ini sulit sekali dilakukan via zoom dengan ukuran screen yang terbatas.
  3. Bercermin Sepanjang Hari. Tidak ada dalam sejarah manusia yang membuat kita jadi sangat sering melihat diri kita sendiri selain Zoom. Hal ini berpotensi membuat kita mengevaluasi diri secara berlebihan.
  4. Mobilitas yang Berkurang. Cakupan kamera yang terbatas membuat kita jadi terus stay di titik tengah kamera. Padahal, dalam pertemuan di dunia nyata, kita masih bergerak untuk berdiri dan bergerak tanpa mengganggu jalannya pertemuan.

Singkatnya, video conferencing bukanlah cara berinteraksi yang natural bagi kita. Meskipun video conferencing sudah jauh lebih “real” dibanding komunikasi via teks atau gambar.

Meskipun cakupan vaksinasi terus meningkat dan telah cukup tinggi di beberapa wilayah, virus COVID-19 terus bermutasi dan melahirkan “varian super” setiap tahunnya. Setelah varian Delta pada tahun 2021, kita harus menghadapi varian Omicron pada tahun 2022. Entah, akan ada varian apa lagi ke depan.

Jika video conferencing akan tetap menjadi cara utama kita berkomunikasi dalam pekerjaan, kebutuhan untuk hadirnya alat komunikasi yang lebih natural di dunia kerja akan semakin besar.

Hal serupa juga akan terjadi di bidang-bidang lain seperti pendidikan, hiburan, olahraga, perdagangan, dan kehidupan sosial kita lainnya.

Dengan VR / AR device, kita akan bisa berinteraksi secara digital/virtual, dengan sense of presence seolah kita berinteraksi di dunia nyata.

Metaverse bukanlah tempat, tetapi periode waktu, tahap berikutnya dari digitalisasi dunia yang kini masih terbatas pada 2D screen device.

Jika kalian masih merasa Metaverse terlalu abstrak dan tidak realistis, kalian tidak sendiri.

Hal serupa juga terjadi ketika IBM dulu mendengar ide soal menghadirkan komputer di rumah. Siapa yang mau beli “kalkulator besar”?

Saya ingat, waktu saya masih SD, saya minta dibelikan Play Station ke Ayah saya. Namun, Ayah saya justru membelikan saya personal computer. Jadi, tidak heran, jika pada awalnya saya hanya menggunakan PC sekadar untuk bermain game. Namun, limitless capability dari PC dibanding console game membuat saya kemudian tertarik untuk mengeksplorasi hal lain, saat saya memasuki usia SMP. Saya mencoba mulai dari menulis cerita, designing, video editing, hingga programming sederhana.

Kita hanya butuh 1 use case yang kuat untuk mulai mencoba sebuah device dan pengalaman baru yang mungkin mereka hadirkan.

Saya yang sangat suka nonton di bioskop pun terheran-heran, “kok bisa ya saya tetap nyaman nonton Netflix atau Youtube di layar HP yang cuma 5,5 inch?”

Coba deh kalian ingat-ingat lagi. Apa saja yang telah diubah dari mobile computing revolution? Pernah kah kalian membayangkan 10 tahun lalu kita akan langsung membuka smartphone ketika bangun dan menjadikannya “teman” sebelum tidur?

Saya belum pernah mencoba menggunakan Quest 2, perangkat VR utama Meta saat ini. Namun, saya yakin, jika kebutuhan untuk memilikinya telah muncul nanti (FYI, saya termasuk late majority dalam adopsi teknologi baru), pengalamannya akan serupa seperti pertama kali saya menggunakan PC atau smartphone. Terasa aneh di awal, semakin lama semakin menyenangkan, dan berlanjut jadi “ketagihan”.

Saya membayangkan use case VR akan lebih mirip dengan PC, lebih banyak kita gunakan untuk pekerjaan dan urusan-urusan yang lebih kompleks. Adapun use case AR akan lebih mirip dengan mobile yang hanya bisa digunakan untuk urusan yang sederhana, tetapi akan lebih sering kita gunakan karena lebih natural.

Kita rela menonton video di layar yang lebih kecil karena layar tersebut bisa lebih mudah kita sesuaikan posisinya dan kita bawa ke mana-mana. Dinamika serupa menurut saya akan terjadi dalam VR dan AR device.

Jadi, menurut saya, peluncuran “Project Nazare”, kaca mata 100% AR lah yang akan menjadi “iPhone Moment” bagi Meta. Dengan hologram view melalui kaca mata yang berbentuk seperti kaca mata biasa, kita bisa menghadirkan dunia digital dengan sangat natural ke dunia fisik kita.

Visi untuk membuat kaca mata AR senatural mungkin telah tercermin dari Ray-Ban Stories. Bekerja sama dengan Ray-Ban, perusahaan kaca mata ternama, Meta menghadirkan fitur built in camera, fitur sosial media, dan personal assistant di sebuah kaca mata dengan desain yang keren. Ray-Ban stories juga dilengkapi dengan lampu indikator jika sedang aktif merekam untuk menghormati privasi.

Namun, keyakinan saya akan potensi keberhasilan visi Metaverse Meta bukan cuma karena eksekusi visi ini telah dirintis sejak lama dan momentum pandemi yang mempercepat digitalisasi, tetapi juga karena kepercayaan pada visi personal Mark Zuckerberg dan bagaimana visi itu menjadi playbook sejak theFacebook.com dulu berdiri sebagai media sosial mahasiswa Hardvard hingga kini menjadi Meta Platform.

The Social Playbook: DNA Meta

Saat menonton Connect 2021, saya sudah paham bahwa menghadirkan metaverse dan mengganti nama menjadi Meta adalah kelanjutan dari visi Facebook untuk memudahkan interaksi dan komunikasi antar manusia. Connecting human!

Namun, karena podcast ini saya baru sadar bahwa visi ini ternyata begitu personal bagi Mark Zuckerberg.

“Koneksi antar manusia adalah makna hidup dan mungkin masyarakat kita secara sistematis justru menilai terlalu rendah hal ini. Saya ingat waktu saya masih sekolah dulu, kerjakan pekerjaan rumahmu dulu baru kemudian main dengan temanmu. Tidak! Bagaimana jika ternyata bermain dengan temanmu justru yang lebih penting? … Orang-orang cenderung berpikir hal itu (bermain dengan teman) hanya membuang-buang waktu.”

Mark Zuckerberg

Dari mana Zuckerberg bisa punya pandangan seperti itu?

Meskipun banyak mengambil kelas ilmu komputer, jurusan Zuckerberg di Harvard University ternyata adalah Psikologi. Fondasi berpikir Zuckerberg adalah tentang bagaimana manusia berinteraksi dan memandang dirinya sendiri.

Kita tidak akan bisa benar-benar memahami perkembangan Facebook App yang kini tetap diakses setiap harinya oleh hampir separuh penduduk internet dunia selain China dan keberanian Zuckerberg mengakuisisi Instagram dan WhatsApp di harga yang pada waktu itu nampak mahal, tanpa memahami cara berpikir Zuckerberg yang merupakan sintesa dari Ilmu Psikologi, Ilmu Komputer, dan Bisnis.

Sama seperti kita akan sulit paham mengapa Steve Jobs bisa terus-terusan membuat produk dengan design yang indah tanpa memahami bahwa sewaktu kuliah dulu Jobs pernah mengambil kelas kaligrafi.

Kita juga akan terheran-heran ketika melihat Elon Musk bisa membuat kemajuan luar biasa di bidang yang terkesan tidak punya kaitan, mobil listrik dan pesawat luar angkasa, tanpa memahami cara berpikir ala Fisikawan yang diterapkan olehnya.

Dunia memang terus berkembang dan berubah, tetapi kebutuhan kita untuk terhubung dengan manusia lainnya akan selalu ada. Zuckerberg ingin perusahaannya terus menjadi cara utama manusia untuk terhubung untuk urusan apapun. Karena itulah, Meta butuh Instagram dan WhatsApp di era mobile computing. Karena itu pula Meta punya layanan kolaborasi profesional bernama Workplace, meskipun masih kalah jauh dibanding Microsoft Teams dan Slack.

Meskipun punya customer base yang lebih besar di enterprise sector dan bisnis gaming yang dianggap akan jadi pintu masuk ke metaverse, saya masih ragu Microsoft bisa memiliki basis pengguna yang lebih besar dibanding Meta.

Lihat saja perbandingan persentasi metaverse versi Microsoft dan Meta. Oke, presentasi Microsoft memang lebih realistis, tetapi dari sudut pandang orang kebanyakan, metaverse ala Microsoft kurang menarik dan tidak memunculkan antusiasme.

Ada salah satu komentar di video tersebut yang cukup menggambarkan apa yang saya maksud.

“I’d say Facebook’s presentation feels more like a Ready Player One futuristic vision, while Microsoft feels a little more corporate and microsofty. I still hate Facebook though so whatever. Microsoft is just really bad at marketing to mainstream audiences.”

Kekuatan Microsoft memang terletak pada keandalan teknologi dan tenaga penjualnya. Playbook yang sangat cocok untuk enterprise sector, tetapi kurang mumpuni untuk memenangkan hati konsumen.

Resep untuk membangun metaverse dengan skala besar kurang lebih sama dengan resep untuk membangun social media: perusahaan harus paham apa yang paling penting dari interaksi manusia dan bagaimana cara terbaik untuk memfasilitasinya.

Menurut kalian kenapa Meta memprioritaskan pengembangan teknologi avatar hanya dari kepala hingga badan?

Karena komunikasi nonverbal kita sebagian besar dihasilkan oleh mimik muka dan gerakan tangan.

Dengan menunda pengembangan teknologi avatar di bagian kaki, Meta bisa lebih cepat menghadirkan pengalaman berinteraksi secara digital dengan sense of presence seolah berinteraksi di dunia nyata di berbagai urusan (use case), bukan cuma dalam dunia kerja.

Zuckerberg dan tim juga tahu untuk membangun large scale user base, mereka perlu membuat halangan masuknya serendah mungkin.

Facebook App, Instagram, dan WhatsApp tidak mungkin punya basis pengguna sebesar sekarang jika mereka menggunakan model subscription seperti Netflix.

Karena itu, saya tidak terlalu khawatir, ketika ada rumor Apple akan meluncurkan kaca mata AR dengan harga di kisaran $3.000 pada tahun 2022 atau 2023.

Sama seperti Microsoft, Apple juga akan sulit punya large scale user ketika masih mempertahankan DNA-nya sebagai penghasilan produk dengan kualitas dan harga premium.

Sebagai gambaran, Quest 2 tersedia di harga mulai dari $299 atau Rp 4,3 juta. Selain kaca mata AR “project Nazare”, tahun ini (mungkin saat Connect 2022), Meta juga akan meluncurkan perangkat VR high end baru. Meskipun diklaim high end, saya ragu harganya akan lebih dari $1.000. It’s not Meta DNA.

Kemenangan di Pertarungan Awal

Visi dan komitmen besar Meta untuk Metaverse bahkan telah membuatnya “menang” di medan pertempuran awal dalam merekrut talent yang sebelumnya menjadi bagian dari tim VR/AR di Microsoft dan Apple.

Dalam bisnis teknologi, talent adalah pemasok utama seperti halnya peternak sapi untuk ULTJ atau masyarakat yang menabung untuk bank. High quality talent akan membuat visi manajemen bisa dieksekusi dengan baik hingga ke tataran teknis.

Jadi, presentasi “abstrak” Zuckerberg tentang metaverse di Connect 2021 bukan cuma untuk kita, para potential user, tetapi juga untuk para talent. “Do you wanna make the next big thing with us?”

Sejak tahun 2015, masih dari email internal yang bocor, Zuckerberg mengungkapkan bahwa kekurangan terbesar dari brand Facebook adalah soal inovasi dan visi metaverse adalah jawabannya.

“Memiliki brand inovatif bukan cuma berguna untuk rekrutmen, tetapi juga terhadap keseluruhan produk dan usaha kita.”

Mark Zuckerberg

Meskipun begitu, saya melihat, Meta lebih suka dengan skenario win-win untuk bersama-sama mengembangkan Metaverse. Kolaborasi Workplace dan Microsoft Teams adalah satu contoh awalnya.

Meta ingin meniru kemampuan Apple dalam membuat produk yang dipandang inovatif, tetapi tidak ingin meniru keeksklusifan ekosistem Apple.

Dalam hal platform service, Meta justru lebih ingin punya platform seperti Android yang dipakai oleh banyak pabrikan hardware, termasuk Quest.

Serta tentu saja, tetap mempertahankan kekuatannya sendiri dalam memfasilitasi kebutuhan manusia untuk berinteraksi di era metaverse nanti.

Jangan bayangkan bahwa di era metaverse nanti kita berarti akan menggunakan perangkat VR / AR selama 8-12 sehari, meskipun hal ini sangat mungkin terjadi.

Per Januari 2022, meskipun pengguna mobile device telah mencapai 5,3 miliar orang, rata-rata time spent di kita baru 4 jam 48 menit per hari. Karena kita tidak hanya mengakses dunia digital dan internet melalui smartphone dan tablet.

Jangan lupa, PC belum mati. Satya Nadella, CEO Microsoft pada earning call Q2 FY 2022 bahkan mengungkapkan bahwa dirinya justru melihat adanya tren “kebangkitan PC” untuk berbagai urusan.

Saya membayangkan era metaverse akan terjadi ketika rata-rata penduduk internet dunia mulai menggunakan perangkat VR / AR setidaknya 3-4 jam per hari dengan fungsi yang saling melengkapi dengan perangkat mobile dan PC.

Tentu saja saya masih akan terus memantau perkembangan upaya Meta dalam mengajak kita semua untuk masuk ke era metaverse. Namun, di titik ini, saya yakin, Zuckerberg dan Meta telah menuju ke arah yang tepat, dengan strategi yang tepat, dan sumber daya yang cukup untuk bisa berhasil.

Judgement saya sangat mungkin salah dan keyakinan saya juga mungkin berubah. Namun, sama seperti posisi saya di BTPS, hingga saat ini saya belum menemukan bear case yang kuat untuk Meta, baik terkait Family of Apps maupun Reality Labs.

I think the odds is on my side.


DISCLAIMER:

Catatan ini adalah dokumentasi perjalanan dan pembelajaran investasi Alfisyahrin, Founder dan CEO INVESTABOOK. Catatan ini dibuat semata hanya untuk edukasi, bukan merupakan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.

Alfisyahrin

Investor aktif sejak 2018. Suka ngulik data dan mengenali pola sejak kuliah di Sosiologi Universitas Indonesia. Percaya tentang pentingnya kualitas dalam berbagai urusan, termasuk dalam investasi. Sangat tertarik pada titik temu antara keuangan, media, dan teknologi.

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
0 0 votes
Rating Analisis
Subscribe
Notify of

Tesis Investasi Lainnya

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!