BTPS: Manis dan Pahitnya Menjadi Bank Syariah Ultra Mikro

Positioning sebagai bank syariah ultra mikro membuat BTPS menjadi bank yang unik. Kadang keunikan itu memberi rasa manis, kadang juga rasa pahit.

BTPN Syariah (BTPS) adalah bank dengan model bisnis unik yang membuatnya agak sulit dipahami. Bukan cuma oleh investor pemula yang masih di tahap “beli saham yang produknya kamu lihat sehari-hari”, tetapi juga oleh investor yang sudah memahami bisnis perbankan secara umum.

BTPS jadi semakin sulit dipahami oleh investor yang terbiasa melihat BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI karena keunikan BTPS berasal dari dua hal: status BTPS sebagai bank syariah dan fokus bisnisnya untuk melayani segmen ultra mikro yang mayoritas unbankable.

Kita harus sadar bahwa ada keunikan BTPS yang didorong oleh statusnya sebagai bank syariah, ada yang didorong karena fokus bisnisnya di segmen ultra mikro, dan ada yang kombinasi keduanya.

Salah satu keunikan BTPS adalah CASA (Current Account Saving Account) ratio-nya yang rendah. Sejak IPO pada tahun 2018, CASA ratio BTPS hanya di sekitar 20-25%. Sebagian besar pendanaan BTPS yang digunakan untuk penyaluran pembiayaan berasal dari deposito.

Sebagai perbandingan, CASA ratio BBCA, BMRI, dan BBRI pada tahun 2022 masing-masing 82%, 73%, dan 67%.

Apakah karena BTPS bank syariah, CASA-nya menjadi kecil? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bank syariah di Indonesia masih kalah saing dengan bank konvensional dalam layanan perbankan transaksi.

Namun, pasca merger, Bank Syariah Indonesia (BRIS) terbukti bisa memiliki CASA ratio yang cukup baik, kurang lebih berada di level yang sama dengan BBRI di sekitar 60-65%. Hal ini terutama disumbang oleh jaringan dan layanan transaksi dari eks Bank Syariah Mandiri (BSM) yang sudah cukup ekstensif sebagai bank syariah terbesar di Indonesia.

BTPN, induk dari BTPS, yang termasuk dalam 10 bank konvensional dengan aset terbesar di Bursa Efek Indonesia justru hanya punya CASA ratio 38%.

Sebelum diakuisisi oleh Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) dan digabungkan dengan Bank SMBC Indonesia, CASA ratio bahkan tidak sampai 20%.

Hal ini karena fokus bisnis BTPN memang melayani segmen mass market yang lebih banyak berkontribusi pada sisi lending.

Kalau pun punya tabungan, jumlahnya tentu tidak besar.

Karena itulah BTPN dan BTPS mengandalkan funding dari High Net Worth Individual (HNWI) yang butuh diversifikasi penempatan deposito agar tetap masuk dalam penjaminan LPS.

Perbedaan segmen nasabah di sisi lending dan funding inilah yang membuat CASA ratio BTPN dan BTPS tidak sebesar bank-bank lain, terutama yang punya jaringan kuat di bisnis korporasi.

Kenapa?

Karena korporasi biasanya punya cash besar untuk pengeluaran bisnis sehari-hari yang akan ditempatkan di rekening giro sekaligus juga butuh pinjaman untuk investasi maupun modal kerja.

Akuisisi 1 nasabah korporasi bisa langsung membuat dua sisi neraca bank terisi.

Karena itulah, jika kamu perhatikan, hampir tidak ada bank besar di Indonesia yang tidak memiliki segmen korporasi, termasuk BBRI yang sebenarnya punya positioning sebagai bank UMKM.

Rendahnya CASA ratio BTPS tersebut juga sebenarnya tidak punya dampak material pada Net Imbalan BTPS -istilah Net Interest Margin (NIM) untuk bank syariah.

Pertama, karena CASA ratio yang rendah tidak membaut Cost of Fund BTPS jadi sangat tinggi. Buktinya, dalam setahun terakhir, Cost of Fund BTPS hanya di level 1,8-1,9%.

Kedua, BTPS mendapat yield yang sangat tinggi dari penyaluran pembiayaannya ke nasabah ultra mikro. Inilah yang membuat Net Imbalan BTPS bisa 4-5x lipat dari bank-bank besar di Indonesia.

Lalu muncul lagi pertanyaan, “apakah bank syariah memang menetapkan margin yang lebih tinggi dari bank konvensional?

NI BRIS per Q1 2023 hanya 6%, tidak jauh berbeda dari bank-bank besar konvensional.

Karena segmen yang disasar oleh produk pembiayaan BRIS juga tidak jauh berbeda dari bank-bank besar konvensional. Dari Rp 213 triliun pembiayaan yang disalurkan BRIS, lebih dari separuh atau sekitar Rp 111 triliun di antaranya disalurkan ke segmen konsumen. Terbesar kedua adalah segmen korporat di sekitar Rp 47 triliun (22%). Pembiayaan mikro BRIS yang bisa memberi yield > 14% porsinya hanya sekitar Rp 19 triliun (9%).

Tingginya margin yang ditetapkan BTPS adalah karena pembiayaannya diberikan ke segmen ultra mikro yang tidak memiliki jaminan (collateral) dan dalam satuan plafon yang kecil.

Bank mana pun akan punya profil NI atau NIM yang kurang lebih sama dengan BTPS jika 100% kredit atau pembiayaan mereka disalurkan ke segmen ultra mikro. Baik bank syariah maupun bank konvensional. It doesn’t matter.

Namun, punya Net Imbalan yang besar baru sepertiga jalan sebelum laba bersih. Mirip seperti laba kotor dalam bisnis secara umum.

Bisnis es krim Campina (CAMP) punya Gross Profit Margin 55-60%, lebih tebal dari bisnis susu UHT sister company-nya Ultrajaya (ULTJ) yang “hanya” punya GPM 32-38%. Namun, ULTJ tidak perlu menyediakan fasilitas pendingin khusus ke gerai retail seperti CAMP. Hal inilah yang membuat operasional bisnis ULTJ bisa lebih efisien dan menghasilkan Operating Profit Margin (OPM) yang lebih tebal di sekitar 17-22% dibanding CAMP di sekitar 8-13%.

Besarnya NI BTPS hanya akan memberi dampak optimal pada pemegang saham jika BTPS mampu mengelolanya dengan biaya operasional yang efisien dan kebijakan penyaluran pembiayaan yang hati-hati (prudent).

BTPS sejauh ini cukup berhasil mengelola tantangan pertama, per tahun 2022, BTPS adalah bank dengan rasio Cost to Income Ratio (CIR) paling rendah. Bahkan lebih rendah dari BBCA.

Sayangnya, BTPS belum berhasil menjadi the holy grail of banking in Indonesia karena masih besarnya beban cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus dibentuk ketika bank-bank lain sudah mulai masuk ke fase normalisasi.

Bahkan, beban CKPN BBCA yang memang punya reputasi sangat prudent dalam penyaluran kredit, sudah lebih rendah dari level sebelum pandemi pada tahun 2019.

Jika dibandingkan dengan beban CKPN pada tahun 2019, beban CKPN BTPS pada tahun 2022 meningkat > 200% atau setara dengan CAGR 45%.

Di saat yang sama, beban CKPN BNGA, BBRI, BBNI, dan BMRI berturut-turut hanya tumbuh dengan CAGR 5%, 7%, 9%, dan 11%.

Adapun NISP, meski masih meningkat cukup tinggi dari level sebelum pandemi, tetapi sudah dalam tren penurunan.

Inilah yang menahan laju pertumbuhan laba BTPS menjadi tidak secepat bank-bank besar di Indonesia.

Tidak heran jika kemudian sebagian investor yang belum bisa memahami keunikan bisnis BTPS berpandangan, “ya wajar dong sekarang dihargai di PE 8x, pertumbuhan laba kan emang cuma 8% per tahun.”

Karena investasi selalu bersifat forward looking dan keuntungan kita selalu berasal dari earning/cash flow yang dihasilkan perusahaan di masa depan, kita harus menjawab:

Apakah pertumbuhan laba bersih BTPS ke depan akan tetap 8% per tahun seperti 3 tahun terakhir? Atau justru lebih rendah seperti yang terjadi pada laba bersih Q1 2023 yang hanya tumbuh 3%?

Apakah beban CKPN BTPS akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan?

Untuk menjawabnya, kita harus paham dulu bagaimana siklus pembiayaan bermasalah atau NPF terjadi dan dampaknya pada kebutuhan pembentukan CKPN yang menggerus laba bersih.

Dan yang lebih penting lagi, mengaitkannya dengan konteks model bisnis BTPS yang unik.

Oke, mari kita bahas!

Yuk Lanjut Baca

INVESTABOOK Insight

 

Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya

Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!

 

Alfisyahrin

Investor aktif sejak 2018. Suka ngulik data dan mengenali pola sejak kuliah di Sosiologi Universitas Indonesia. Percaya tentang pentingnya kualitas dalam berbagai urusan, termasuk dalam investasi. Sangat tertarik pada titik temu antara keuangan, media, dan teknologi.

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
5 1 vote
Rating Analisis
Subscribe
Notify of
3
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!