Lippo Group memiliki sejarah panjang dalam cerita bisnis di Indonesia. Lippo Group merupakan perusahaan konglomerasi yang didirikan Mochtar Riady. Cerita konglomerasi Lippo Group dimulai pada 1989 ketika lahirnya Bank Lippo setelah Bank Perniagaan Indonesia merger dengan Bank Umum Asia. Namun jika ditarik lebih jauh, sebenarnya titik mula Lippo Group telah berawal sejak 1981 saat Mochtar Riady membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji Hasyim.
Moctar Riady dikenal sebagai seorang bankir yang hebat, maka tak heran jika pondasi dasar Lippo Group adalah perbankan. Kemudian pada tahun 1990-an, Mochtar Riady perlahan memberikan “tongkat estafet” kepada kedua anaknya, James Riady dan Stephen Riady, pada generasi kedua inilah kemudian melahirkan pilar bisnis kunci Lippo yang baru, yaitu properti.
Namun dalam beberapa tahun terakhir Lippo Group tidak selalu berjaya, pada tahun 2020 hingga Q3 2021, beberapa bisnis inti Lippo mulai memperlihatkan kinerja bisnis yang menurun.
Lippo yang kini berada di bawah tekanan setidaknya harus sesegera mungkin melakukan turnaround, hingga akhirnya bisnis Lippo Group yang ada di Indonesia “perlahan” diserahkan kepada generasi ketiga, yaitu John Riady, anak James Riady.
John Riady yang kini mulai masuk kedalam manajemen Lippo Group perlahan ingin menjadikan teknologi dan digital sebagai bisnis inti yang baru.
“Selain properti dan rumah sakit, pengembangan teknologi dan digital akan menjadi salah satu core business kami. Tidak bisa dimungkiri, teknologi dan digital akan terus semakin dominan di Indonesia. Approach yang kami lakukan mungkin berbeda, yakni melakukan kemitraan dan menjadi investor”
John Riady
Dua perusahaan yang terkait dengan teknologi dan digital dalam Lippo Group adalah MLPL (PT Multipolar Tbk) dan MLPT (PT Multipolar Technology Tbk).
Namun jika melihat dari sejumlah saham Lippo Group yang telah tercatat di pasar saham, MLPT lah yang punya kinerja profitabilitas yang lebih baik dibandingkan lainnya. Kemampuan MLPT menghasilkan laba positif yang konsisten membuat MLPT dapat mempertahankan ROE di atas perusahaan Lippo Group lainnya.
Saat ini, MLPT memiliki model bisnis yang mendukung berbagai kebutuhan dari beragam klien dan perusahaan agar tetap relevan di tengah tren transformasi digital, terutama dalam perangkat lunak dan layanan profesional. Transformasi dan adaptasi digital yang gencar dilakukan berbagai perusahaan dalam beberapa tahun terakhir lantas memberikan tailwind pada model bisnis MLPT.
Historis kinerja baik yang tercermin dalam ROE serta tailwind pada model bisnis MLPT menjadikannya berpeluang menjadi perusahaan yang bertumbuh dan terus compounding, oleh karena itu, kami memasukkan MLPT menjadi salah satu perusahaan Lippo Group yang masuk dalam watchlist saham compounder INVESTABOOK.
Walaupun saat ini John Riady tidak berada langsung dalam struktur manajemen MLPT, bukankah ultimate shareholder MLPT tetap berada di tangan Lippo Group?
Ucapan dari John Riady selaku penerus Lippo Group menjadi clue dan indikasi keseriusan Lippo untuk “berbenah” dan menjadikan bisnis teknologi dan digital sebagai bisnis inti baru pada Lippo Group.
Sebagai salah satu grup konglomerasi besar di Indonesia, kita tentu saja sering mendengar nama Lippo dan berita-berita tentangnya, dan kami sadar kalau banyak kisah “negatif” yang tersebar di luar sana tentang Lippo Grup. Tapi, mari sejenak menaruh prasangka negatif tersebut dan benar-benar menilai kualitas bisnis lebih dulu.
Sebenarnya bagaimana model bisnis MLPT dan posisinya dalam Lippo Group? Setelahnya mari kita membuat kesimpulan atas pertanyaan, apakah Lippo akan membuat MLPT terus compounding? Sebelum menaruh prasangka buruk yang lebih jauh, there is Lippo Way!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!