Sebentar …
Pasti rekan-rekan bertanya, bukannya air minum dalam kemasan (AMDK) adalah produk consumer goods atau barang konsumsi seperti mi instan dan minyak goreng?
Mi instan, minyak goreng, dan barang konsumsi lain pada dasarnya adalah produk turunan dari komoditas. Komoditas adalah bahan baku yang memiliki nilai ekonomis. Komoditas logam seperti emas, komoditas energi seperti batubara, komoditas pertanian seperti tepung dan CPO yang menjadi bahan baku mi instan dan minyak goreng.
Air digunakan hampir di seluruh sektor, mulai dari pertanian, peternakan, barang konsumsi hingga energi. Karena fungsi air yang begitu vital ditambah peningkatan populasi dunia (demand) dan supply yang terbatas, Chicago Mercantile Exchange (CME)–bursa komoditas US–telah menggolongkan air sebagai komoditas sejak akhir tahun 2018.
Nah … meskipun AMDK adalah air yang sudah diproses menjadi barang konsumsi, tetapi menurut tim INVESTABOOK, produk AMDK adalah branded commodity seperti keramik ARNA dan lakban EKAD.
Bagaimana maksudnya?
Brand loyalty adalah kunci sebuah produk consumer goods untuk bisa memiliki pricing power terhadap konsumennya. Tanpa brand loyalty, produk tersebut hanyalah barang biasa.
“Indikasi sebuah produk berhasil memiliki brand loyalty yang kuat adalah ketika perusahaan dapat menaikkan average selling price tanpa harus kehilangan volume penjualan dan willingness to pay konsumen.”
Artikel Insight Indomie: Harga Naik Terus, Konsumen Tetap Setia
Apakah masyarakat bersedia tanpa pikir lama membeli air minum merek A seharga Rp3,500 jika disamping etalase terdapat merek B dengan harga Rp3,000?
Apakah pedagang kaki lima mau membeli air galon merek A seharga Rp18,000 jika ada air galon isi ulang seharga Rp9,000?
Jika konsumen:
- Masih sensitif terhadap harga
- Sering membandingkan harga produk antar merek
- Membeli merek yang termurah karena tidak adanya perbedaan value proposition antar merek
Maka seterkenal apapun merek produk tersebut tetap menjadi “barang komoditas” yang bersifat price taker.
Inilah yang disebut branded commodity.
Meskipun produk yang dijual tidak memiliki pricing power, bukan berarti tidak memiliki prospek kan? AQUA saja berani membeli kembali sahamnya seharga Rp500,000 per lembar yang setara PE 60x untuk go private.
Selain AQUA yang sudah go private, masih ada 3 perusahaan AMDK di bursa yaitu ADES, ALTO dan CLEO. Secara portofolio merek ADES memegang 2 merek, ALTO memegang 3 merek dan CLEO memegang 4 merek.
Emiten | Merek AMDK |
ADES | |
ALTO | |
CLEO |
Bagaimana profitabilitas ketiga emiten tersebut? Bagaimana prospek industri AMDK di Indonesia?
Let’s dive in!
Mau baca Insight tentang Sektor Consumer dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Siapa Orang Terkaya di Cina?
Siapa nama yang muncul pertama kali di pikiran rekan-rekan investor jika ditanyakan pertanyaan di atas?
Pasti pemilik perusahaan teknologi raksasa di Cina kan? Jack Ma dari Alibaba. Ma Hua Teng dari Tencent. Zhang Yi Ming dari ByteDance. You name it.
Tetapi kenyataannya orang terkaya nomor 1 di China adalah Zhong Shan Shan, seorang penjual air minum! Atau kita sebut dengan bahasa yang lebih keren, pengusaha AMDK dan pemilik Nongfu Spring.
Jika tidak memiliki pricing power, maka satu-satunya jalan adalah meningkatkan volume penjualan. Meskipun pertumbuhan penduduknya cukup stagnan karena one child policy, Cina adalah rumah bagi 1.41 miliar orang yang setara 17.8% total populasi dunia. Dan air minum adalah kebutuhan sehari-hari yang wajib bagi miliaran orang tersebut.
Konsumsi AMDK Cina terus meningkat dengan CAGR 9.7% seiring peningkatan kesejahteraan dan daya beli penduduknya dari sisi GDP per kapita.
AQUA dan Industri AMDK di Indonesia
Indonesia sendiri memiliki satu kelebihan dibanding Cina, yaitu populasi yang yang masih bertumbuh 12% dalam 9 tahun terakhir dibanding Cina yang hanya 4%.
Semakin besar pertumbuhan penduduk dan tingkat kesejahteraan tentu akan menjadi peluang peningkatan konsumsi AMDK.
Tetapi industri AMDK di Indonesia tidak akan menarik seperti sekarang jika bukan karena AQUA. Jika tidak ada AQUA, mungkin tidak akan ada ADES, ALTO dan CLEO.
AQUA, The Crazy Pioneer
Sebelum membangun bisnis, pasti yang dilihat pertama kali adalah potensi market-nya. Apakah market-nya sudah matang sehingga proses product-market fit lebih mudah, atau belum matang sehingga diperlukan upaya lebih untuk mengedukasi market-nya.
Itulah kondisi market AMDK di Indonesia saat AQUA menjadi perintis pertama bisnis AMDK. AMDK belum diterima masyarakat luas saat itu.
Bagi para generasi Millennials yang lahir tahun 1980-an sampai 1990-an pasti ingat, dulu air minum yang kita konsumsi adalah air ledeng atau air keran yang dimasak.
Di tahun 2000, rumah tangga yang menggunakan AMDK sebagai air minum hanya 0.86%.
Sisanya menggunakan air ledeng, sumur, mata air dan lainnya.
Apa yang dikatakan masyarakat dan pengusaha lain saat itu pada AQUA?
“Anda gila ya menjual air minum lebih mahal dari bensin? Kalau saya mau air minum, tuh air banyak satu ember dari keran tinggal saya masak.”
AQUA lah yang pertama kali mengedukasi market mati-matian saat itu, memulai pemasarannya ke kelas atas dan tempat tertentu seperti hotel.
Seperti start up Ruangguru yang promosi besar-besaran di TV dan memberi potongan harga untuk mengedukasi market kalau bimbel/les bisa dilakukan online sekarang, tidak harus tatap muka seperti yang sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka.
Bersakit-sakit Dahulu, Bersenang-senang Kemudian
Perlahan tapi pasti, AQUA mulai diterima masyarakat karena kemajuan ekonomi Indonesia. Kemajuan ekonomi membuat perkembangan wilayah perkotaan sangat pesat sehingga sumber air bersih yang sebelumnya berasal dari sumur mulai sulit diperoleh.
Persentase AMDK sebagai sumber air rumah tangga mulai meningkat menggantikan air sumur, dari hanya 0.86% menjadi 11.26%.
Di tahun 2000-an ini juga lah mulai banyak perusahaan AMDK lain berdiri, termasuk ALTO dan CLEO. Tidak bosan-bosannya kami menyampaikan umpama “ada gula, ada semut” di berbagai artikel insight.
Prospek yang Masih Luas
Meskipun pertumbuhan penduduk Indonesia masih lebih besar, tetapi secara CAGR konsumsi AMDK masih lebih rendah dari Cina. Volume konsumsi AMDK Indonesia juga baru sepertiga Cina.
Jika kita melihat data persentase sumber air minum rumah tangga terbaru tahun 2021, ternyata persentase AMDK baru mencapai 39% dan 61% berasal dari sumber lain.
Persentase ini pun tidak merata di seluruh puluhan juta rumah tangga Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. Jika rekan-rekan investor melihat tabel data Badan Pusat Statistik (BPS), baru 8 provinsi yang tercatat >50% rumah tangganya menggunakan AMDK sebagai sumber air.
Masih ada ruang yang cukup besar untuk industri AMDK Indonesia bertumbuh di 26 provinsi lainnya, seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan yang lebih luas dan peningkatan kesejahteraan penduduknya.
Mencari Pesaing AQUA
Agak sulit jika kita berharap menemukan The Next AQUA karena posisinya yang sudah terlalu kuat. Posisi AQUA di bisnis AMDK sama seperti Indomie di bisnis mi instan Indonesia.
Peluang mencari pesaing AQUA bisa jadi ada di salah satu perusahaan terbuka (ADES, ALTO atau CLEO), tetapi bisa juga ada di perusahaan tertutup.
But for now, let’s focus on what’s in front of us.
Dari ketiga emiten AMDK, ada dua yang menunjukkan double digit ROE yaitu ADES dan CLEO. Sedangkan ALTO masih mencatatkan rugi bersih, meskipun sudah lebih baik dibanding 5 tahun sebelumnya.
Jika kita bedah menggunakan DuPont Analysis, memang kinerja bisnis ALTO sangat jauh di bawah ADES dan CLEO.
Di bisnis AMDK yang market-nya sangat price sensitive, perputaran aset yang optimal dan pemanfaatan utang yang bijak menjadi kunci.
Asset turnover ALTO yang paling rendah menunjukkan aset yang kurang produktif, seperti modal kerja yang macet.
Financial leverage yang sangat tinggi juga harus kita cermati. Jika sebagian besar merupakan utang usaha seperti UNVR, maka hal ini menunjukkan bargaining power yang kuat terhadap pemasok.
Ternyata, lebih dari setengah liabilitas ALTO merupakan utang berbunga. DER ALTO sebesar 1.31x!
Sayang sekali, ALTO kemungkinan besar akan tereliminasi dari daftar calon pesaing AQUA yang kita cari karena aset yang kurang produktif, utang berbunga yang besar dan masih mencatatkan rugi bersih.
ADES dan CLEO menunjukkan asset turnover dan financial leverage yang serupa dan cukup optimal.
Net profit margin (NPM) ADES dan CLEO sama-sama mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir. Tetapi keduanya memiliki sumber profitabilitas yang berbeda.
Dengan catatan khusus, ADES tidak bisa dibandingkan apple to apple karena 50% pendapatan ADES berasal dari segmen kosmetiknya yang memiliki margin lebih tebal. Perlu analisis lebih lanjut untuk breakdown kontribusi tiap segmennya. Terlebih lagi ekuitas ADES memiliki low base effect karena akumulasi saldo defisit selama bertahun-tahun sebelum turnaround di tahun 2009.
Sedangkan peningkatan NPM CLEO berasal dari top line bisnis AMDK-nya yang terus bertumbuh, meskipun juga mengalami sedikit penurunan di tahun 2020.
CLEO terus berekspansi menambah jaringan distribusinya yang menjadi salah satu faktor kunci bisnis AMDK dan FMCG secara umum.
Risiko yang Harus Diwaspadai
Setidaknya ada 2 risiko yang harus diwaspadai dalam menganalisis suatu emiten, yaitu industrial risk dan business risk.
Industrial risk
Mengacu pada tingkat siklikalitas industri tersebut, bisnis/perusahaan yang bergerak di industri yang highly cyclical perlu strategi di atas rata-rata untuk dapat bertahan.
Risiko industri AMDK di Indonesia dapat diestimasi dengan Degree of Cyclicality ala INVESTABOOK.
Industri AMDK bersifat price taker (-1) karena konsumen yang sangat sensitif terhadap harga, consumable (2) dan essential (2) karena merupakan kebutuhan dasar setiap orang.
Dengan total poin (3), industri AMDK tergolong dalam less cyclical sehingga memiliki industrial risk yang cukup rendah.
Business Risk
Mengacu pada tingkat persaingan antar perusahaan dan kualitas setiap perusahaan yang berada dalam satu industri.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mencatat ada sekitar 7,780 merek produk AMDK di Indonesia. Dengan ribuan merek tersebut persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar AMDK terlampau sangat ketat, kecuali AQUA.
AQUA menguasai 50% market share AMDK!
Beberapa merek yang cukup besar dan dikenal seperti Cleo, Club dan Le Minerale hanya menguasai 4-5% market share. Manajemen ADES sayangnya hanya memberikan informasi market share Nestle sangat kecil tetapi tidak men-disclose berapa angkanya. Menurut kami, Nestle menguasai sekitar 2-3% market share.
Selain persaingan antar merek, ada satu pesaing terberat yang harus dihadapi ADES, CLEO dan perusahaan lainnya.
Siapa menurut rekan-rekan investor pesaing tersebut?
Jika rekan-rekan mengingat di awal artikel, saya menulis seperti ini:
“Apakah pedagang kaki lima mau membeli air galon merek A seharga Rp18,000 jika ada air galon isi ulang seharga Rp9,000?”
Ya! Pesaing terberat AMDK bermerek adalah air isi ulang.
Meskipun AMDK tercatat menguasai 39% sumber air minum rumah tangga, tetapi angka tersebut adalah gabungan AMDK bermerek dan isi ulang. Jika kita kupas lagi datanya, AMDK bermerek hanya menguasai 10% sedangkan 29%-nya adalah air isi ulang, hampir 3x lipatnya!
Standar terhadap sumber air minum memang sudah meningkat, tetapi masyarakat masih sangat sensitif terhadap harga. Melihat banyaknya juga masyarakat yang belum mengetahui fakta AMDK bermerek lebih berkualitas dibanding air isi ulang, tentu ini menjadi PR besar bagi seluruh perusahaan AMDK.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi investasi di saham ADES, ALTO ataupun CLEO. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.