Sektor media berpotensi menawarkan peluang pertumbuhan yang besar dalam jangka panjang, namun untuk memilih perusahaan terbaik di sektor ini tidak cukup hanya dengan melihat sinetron apa yang sedang hits, atau mengintip data audience share per hari ini.
Investor setidaknya harus dapat memilah mana bisnis media yang dikelola dengan baik serta memiliki ruang pertumbuhan, mana pula bisnis media yang hanya menjadi pemeran sampingan. Ketika perusahaan di sektor media sudah memiliki keunggulan kompetitif dibanding para pesaing, bisnisnya akan menjadi sangat profitable untuk jangka waktu yang panjang.
Sayangnya, sektor ini masih kurang populer di kalangan investor pemula. Mungkin karena mayoritas emiten memiliki struktur organisasi yang rumit, komposisi neraca yang harus well-mixed antara tangible/intangible assets, dan keunikan industri yang sering beririsan dengan ranah hukum terkait Intellectual Property, sehingga kurang beginner-friendly. Padahal, produk-produk dari sektor media selalu kita konsumsi setiap harinya. Sebut saja Free-to-air (FTA) services seperti televisi dan radio.
Di Indonesia, dua perusahaan televisi FTA dengan audience share tertinggi sudah terdaftar di bursa saham, yakni PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNCN) dan PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA).
Pembahasan mengenai sektor media tidak akan pernah lengkap tanpa pertanyaan ultimate: Mana yang lebih baik, MNCN atau SCMA?
Topik ini kami anggap tidak pernah selesai dibahas. Karena memang belum terbukti siapa yang lebih baik dari siapa. Namun berdasarkan pengamatan kami, setiap ada pembahasan antara MNCN vs. SCMA, agendanya akan ditutup dengan argumen bahwa MNCN masih undervalued sedangkan SCMA sudah overvalued, sehingga para investor yang mencari ketenangan, harus memilih MNCN sebagai tempat berlabuh.
“Kalau saya punya saham SCMA pasti saya tukar dengan MNCN yang valuasinya jauh lebih murah. Kalau saya punya saham EMTK pasti saya tukar dengan saham BMTR yang valuasinya jauh lebih murah,”
Lo Kheng Hong (bisnis.com)
Statement tersebut bisa jadi benar, hanya jika klaim undervalued/overvalued disajikan dengan data yang eksplisit dan bisa diperdebatkan. Sangat disayangkan, argumen-argumen yang mengatakan bahwa MNCN masih undervalued sementara SCMA sudah overvalued, kebanyakan hanya didasari oleh bagaimana market menghargai saham-saham tersebut (PBV, PER, EV/EBITDA).
Market multiple, atau sering kali disebut sebagai relative valuation (valuasi relatif), adalah cara menilai suatu aset dengan membandingkannya kepada aset lain yang mempunyai kemiripan (relatif). Calon pembeli rumah, akan terlebih dahulu membandingkan harga rumah incarannya dengan rumah lain yang identik serta berada di lingkungan yang sama. Masuk akal, memang.
Namun, cara ini bisa salah dari dua sisi:
- Apakah rumah yang menjadi pembanding memang terjual pada harga yang ‘wajar’?
- Apakah kedua rumah yang dibandingkan memang benar-benar ‘bisa dibandingkan’?
Di sinilah letak kesalahan yang sering kali dibuat oleh para analis profesional. Karena terlalu sering digunakan, valuasi relatif akhirnya menjadi default setting dalam menilai harga saham. Market multiple dianggap sudah sempurna dalam merefleksikan nilai aset. Sebuah kekeliruan, mengingat di dalam price (harga) masih ada porsi ekspektasi pasar. Apalagi, pembanding yang sering digunakan dalam valuasi relatif adalah perusahaan lain di sektor yang sama. Padahal belum tentu keduanya merupakan aset sejenis.
Maka dari itu, sebelum membandingkan MNCN dan SCMA menggunakan valuasi relatif, pastikan dulu apakah kedua aset tersebut memang identik. Dua bisnis boleh dibandingkan bukan karena keduanya bergerak di sektor yang sama, namun karena kondisi fundamentalnya memiliki beberapa kemiripan.
Bisnis yang sebanding adalah yang memiliki arus kas/dividen, potensi pertumbuhan, dan risiko yang sama. Valuasi relatif dapat membantumu membandingkan bisnis batubara dan bisnis e-commerce, dengan syarat keduanya identik dari segi arus kas/dividen, pertumbuhan, dan risiko.
Perusahaan batubara yang baru dibangun akan banyak menghabiskan dana untuk melakukan eksplorasi dan melakukan penggalian lahan. Begitu pula sebuah bisnis e-commerce, yang identik dengan promosi besar-besaran dalam upaya menggaet calon pelanggan tetap. Tidak ada alasan yang tepat untuk membandingkan perusahaan batubara yang masih “hijau” dengan PTBA yang sudah punya miliaran ton cadangan batubara, atau membandingkan bisnis e-commerce kemarin sore dengan Amazon (AMZN) yang sudah mempunyai basis pelanggan setia dalam jumlah besar.
Kompleksitas cerita bisnis inilah yang jarang disampaikan dalam setiap analisis yang menggunakan valuasi relatif. Seolah-olah valuasi relatif dapat dilakukan dengan singkat dan hanya butuh informasi seminimal mungkin. Padahal daripada valuation (menilai), metode seperti itu lebih tepat disebut pricing (menghargai), karena terpaksa untuk mengikutsertakan mood pasar secara kolektif.
Mirisnya lagi, penggunaan rasio pasar (market multiple) secara kaku yang terus dilakukan dari waktu ke waktu berujung kepada kesimpulan tidak matang yang berbunyi: “saham ABCD lebih berisiko karena PER-nya sangat tinggi.”
Atau dalam kalimat yang lebih kontroversial:
“Setiap Rp 1,- laba SCMA harus ditebus dengan Rp 22,- (PER 22x). Sementara untuk menebus Rp 1,- laba MNCN, hanya butuh uang tunai sejumlah Rp 6,- (PER 6x). Kesimpulannya SCMA jauh lebih berisiko daripada MNCN.“
(Bukan pak LKH).
Menyimpulkan risiko suatu aset tanpa ada pembahasan potensi arus kas, peluang pertumbuhan, maupun faktor-faktor yang berpotensi menghambat kinerja di masa depan. Cukup lihat laba 12 bulan kebelakang, lalu di-compare dengan mood pasar yang kebetulan sedang bullish terhadap Grup EmTek, dan sedang bearish terhadap Grup MNC. Ada yang lebih buruk dari ini?
Kesimpulan sejenis, percaya atau tidak, sangat sering dikeluarkan oleh analis-analis saham di Indonesia. Tanpa sadar, pengambilan kesimpulan yang cacat logika tersebut terus terakumulasi hingga menjadi kebenaran kolektif yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Namun bukan INVESTABOOK namanya jika tidak menawarkan thoughtful disagreement terhadap pemahaman yang selama ini sudah mendarah daging.
Menurut kami, PER dan PBV yang lebih rendah tidak bisa dijadikan landasan untuk menyimpulkan bahwa MNCN sedang undervalued dibandingkan saingannya SCMA.
Dalam banyak aspek kualitatif, selisih PER dan PBV justru menjadi petunjuk bahwa MNCN jauh lebih berisiko dibandingkan SCMA. Kontradiktif dengan kepercayaan yang selama ini dianut.
MNCN tidak lantas menjadi rendah risiko karena market multiple-nya kecil. Justru sebaliknya, multiple kecil adalah output dari tingginya risiko yang melekat pada saham MNCN.
Apa sajakah aspek kualitatif yang menghasilkan kesimpulan demikian? Simak pembahasannya di sini!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!