Tahun 2024 adalah tahun yang baik untuk investor saham. Di Amerika Serikat. Di kebanyakan negara ASEAN. Namun, tidak untuk investor Indonesia.
Pada 30 Desember 2024, IHSG ditutup melemah 2,7%, di saat S&P500 menguat 24,5% dan pasar saham negara tetangga seperti Singapura, Vietnam, dan Malaysia mencetak double digit growth.

Kinerja lesu IHSG ini terutama disumbang oleh kejatuhan saham-saham bluechip yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap IHSG. Mulai dari BBRI (-28,7%), BBNI (-19%), TLKM (-31,4%), ASII (-13,3%), hingga UNVR (-46,6%).
Di saat yang sama, saham-saham top gainer yang memberikan keuntungan berlimpah untuk holder-nya justru berasal dari emiten yang fundamentalnya meragukan dan valuasinya tidak masuk akal.

Kenaikan harga saham-saham tersebut biasanya didorong oleh sentimen karena aksi korporasi atau keterlibatan grup konglomerasi tertentu.
Fenomena ini kemudian mendorong suara sumbang mengenai relevansi pendekatan fundamental dalam berinvestasi di pasar saham Indonesia.
“Kalau saham yang harganya sudah murah ternyata bisa makin murah dan saham yang harganya mahal ternyata bisa makin mahal, kenapa kita masih perlu valuasi?”
Menariknya, di awal masa investasinya, Warren Buffett pun dikenal lihai memanfaatkan aksi korporasi untuk mendapatkan keuntungan investasi. Strategi ini dikenal sebagai work-out.
Apakah tahun 2025 akan kembali menjadi panggungnya saham-saham dengan aksi korporasi?
Bagaimana fundamental investor sebaiknya bersikap di tengah tren pasar saat ini?
Mari kita bahas!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!