Apple. Siapa sih yang tidak kenal dengan perusahaan ini? Bahkan saya sangat yakin sekali, beberapa dari investor pembaca di sini ada yang menjadi pengguna produknya. Apple adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur electronic device (smartphone dan desktop) yang didirikan oleh Steve Jobs, Steve Wozniak, dan Ronald Wayne pada tahun 1976.
Siapa sangka, perusahaan yang dibangun dari garasi rumah, berlogo Isaac Newton dan membuat produk komputer kayu ini, pada awal tahun kemarin market kapitalisasinya sempat mencapai US$3 triliun atau setara dengan Rp 43.050 triliun dengan kurs Rp 14.350/US$. Market kapitalisasi tersebut lebih besar dari gabungan GDP Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Pencapaian yang sangat luar biasa. Tanpa bisnis yang luar biasa di belakangnya tampaknya akan sulit bagi perusahaan bisa dihargai sebesar itu. Kesuksesan Apple ini tidak terlepas dari hebatnya seorang nakhoda perusahaan pada saat itu bernama Steve Jobs yang saat ini dilanjutkan oleh Tim Cook.
Apple mampu mempertahankan kinerjanya di tengah-tengah persaingan industri yang sangat ketat. Persaingan industri yang sangat ketat muncul karena tingginya permintaan smartphone di kalangan masyarakat. Perang harga dan life cycle yang pendek bisa kita rasakan di industri smartphone saat ini. Dalam setahun, satu perusahaan bisa mengeluarkan berbagai jenis produk dengan bermacam-macam harga dan spesifikasi.
Di tengah-tengah persaingan industri yang ketat, setiap perusahaan bersaing untuk memperebutkan pangsa pasar. Hampir setiap perusahaan berusaha menjadi yang termurah dengan spesifikasi yang terbaik. Persaingan yang sangat ketat, membuat beberapa perusahaan menjual dengan margin laba tipis, beberapa lainnya menjual tanpa untung sama sekali bahkan rugi.
Lain halnya dengan Apple, perusahaan ini justru seakan-akan tidak ikut dalam pertandingan. Apple seakan-akan berada pada ring tinju yang berbeda. Pernahkah Anda melihat launching presentation atau iklan produk Apple? Berbeda dengan perusahaan lainnya.
Di saat perusahaan lainnya membandingkan produk baru mereka dengan produk kompetitor, Apple justru tidak pernah melakukan itu sama sekali, baik dalam website, launch produk, iklan, dan tidak di mana pun.
Membandingkan produk kita dengan kompetitor merupakan straightforward advertisementstrategy yang sudah umum digunakan. Tujuannya untuk meyakinkan produk kita lebih baik dari kompetitor sehingga mereka membeli produk kita.
Uniknya, Apple tidak melakukannya. Apple justru membandingkan produk baru mereka dengan produk generasi sebelumnya, “this model is faster than the last model”. Dengan seperti itu, pesan yang mereka sampaikan kepada konsumen atau audience seakan-akan bukan lagi “Which phone do I buy?”, melainkan “Which iPhone should I buy?”
Hal ini menjadi bukti nyata jika Apple seakan-akan tidak ikut andil dalam pertandingan atau berada pada ring tinju yang berbeda.
Meskipun tiket ring tinju Apple lebih mahal dibandingkan dengan ring tinju satunya lagi, para penonton tetap rela membayarnya. Mengapa seperti itu? Hal ini mengindikasikan adanya nilai tersembunyi yang membuat produk buatan Apple layak dihargai semahal itu.
Nilai tersembunyi apa yang Apple miliki sehingga konsumen tetap berani membayarnya meskipun dengan harga yang mahal? Selain itu, strategi dan prospek bisnis apa yang membuat investor optimis dengan Apple sampai-sampai berani membayarnya di harga US$3 T?
Mari kita bahas!
Mau baca Insight tentang Saham US dan >180 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Apple Business Playbook
Ada beberapa poin penting terkait bisnis Apple yang harus investor ketahui, yang mana poin-poin tersebut menjadi DNA (source of success) bisnis Apple selama ini. Andaikan poin-poin tersebut mulai hilang, penulis sendiri cukup ragu Apple ke depannya akan tetap bisa bertumbuh atau minimal bertahan seperti sekarang ini. Apalagi ditengah-tengah persaingan industri yang cukup ketat.
1. Think Different
Poin yang pertama adalah Think Different. Prinsip Think Different ini sudah Apple tanamkan dari sejak dahulu kala.
Apple berusaha untuk berpikir berbeda. Hal itulah yang membuat Apple menjadi perusahaan yang paling inovatif di industrinya. Bukan menjadi peniru, melainkan jadi yang ditiru oleh perusahaan lainnya. Bisa kita saksikan sendiri, bagaimana hampir setiap produk Apple seperti iPhone, iPad, Apple Watch, AirPods dan lain-lain menjadi acuan inspirasi di industrinya.
Terkadang kita masih sering salah paham bahwa perusahaan yang innovative adalah perusahaan yang mampu menciptakan hal baru, padahal sebenarnya tidak. Innovation dan Invention itu berbeda. Invention adalah menciptakan hal baru, sedangkan innovation adalah memanfaatkan penemuan baru menjadi hal yang memiliki value atau benefit lebih untuk konsumen (commercialization).
Innovation = Invention x Commercialization
Inilah yang dilakukan oleh Apple. Apple tidak menjadi penemu baru untuk setiap komponen yang digunakannya, tetapi Apple mampu memanfaatkan dan mengombinasikan temuan orang lain sehingga memiliki nilai yang lebih berguna di dalam produknya. Inilah yang dimaksud dengan prinsip Think Different yang Apple pegang.
Jika teman-teman investor ketahui, komponen-komponen yang Apple gunakan di dalam produknya masih menggunakan produk atau jasa pihak ketiga. Contohnya seperti memory dari Samsung, cloud dari Amazon dan Google, semi-conductor dari TSMC, dan lain-lain.
Kemampuan Apple untuk mengombinasikannya menjadi hal yang lebih bernilai serta menjawab kebutuhan dan keinginan konsumen itulah yang menjadi kelebihan Apple dibandingkan dengan perusahaan lainnya, sehingga menjadikan Apple sebagai salah satu perusahaan paling innovative di dunia.
Apple selalu berusaha menciptakan produk yang terbaik untuk konsumennya. Dengan selalu menawarkan hal unik dan value baru untuk setiap produknya. Steve Jobs pernah bilang di tahun 2007,“ Our goals are to make the best product in the world, make us proud to sell, and recommend to our family and friends”
Prinsip think different inilah yang membuat Apple sejauh ini masih bertahan di tengah new world order atau era disruption. Perusahaan yang akan mampu bertumbuh di era disruption adalah perusahaan yang menjadi disruptor bukan yang disrupted.
Yang harus menjadi catatan adalah untuk menjadi disruptor perusahaan tidak harus menemukan hal baru, lebih kreatif dan inovatif dari yang lain adalah kuncinya. Apakah Netflix menemukan hal baru sehingga menjadi disruptor bagi Blockbuster? Jawabannya adalah tidak, hanya saja Netflix memiliki konsep yang lebih kreatif dan inovatif.
2. Fokus Pada Customer Experience
Poin yang kedua adalah fokus pada customer experience. Konsep bisnis classic, tetapi sangat powerful sekali. Pada dasarnya bisnis di sektor apa pun, perusahaan yang akan paling sukses adalah perusahaan yang mampu menjawab kebutuhan dan keinginan konsumennya (customer experience).
Hal itulah yang dilakukan oleh Apple, di saat perusahaan competitor lebih berfokus pada spesifikasi, Apple justru lebih berfokus pada benefit yang akan diterima oleh customer.
“Teknologi saja tidak cukup, teknologi harus disertai dengan liberal art or humanities yang membuat hati kita atau pengguna menjadi senang. User centered design, advanced technology with memorable experience”
Steve Jobs
Bukti bahwa Apple lebih berfokus pada benefit terlihat dari iklan yang lebih menekankan benefit dari pada spesifikasi. Contohnya seperti iklan iPod di bawah ini.
Iklan di atas tidak menyampaikan spesifikasi, melainkan benefit. Coba kita perhatikan kalimatnya, “1000 songs in your pocket”, bukan besaran spesifikasi memori penyimpanan yang mereka sampaikan. Karena fokus mereka bukan pada spesifikasi, melainkan benefit. Dengan cara seperti ini membuat orang lebih feel something.
“Design is not what it looks and feels like. Design is how it works”
Steve Jobs
”In consumer technology, and increasingly, enterprise, the best user experience wins, and it is the best hedge against disruption”
Ben Thompson
Jika kita pernah membandingkan secara spesifikasi, Apple cenderung selalu berada di bawah android.
Meskipun begitu, secara experience iPhone selalu menang di atas android. Hal ini justru menjadi keuntungan bagi Apple, dengan spesifikasi yang lebih rendah, biaya lebih rendah, tetapi mendapatkan kepuasan konsumen lebih besar. Selain itu juga bisa menjual dengan harga yang lebih mahal, sehingga mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Lots to love, less to spend.
Contohnya, meskipun dengan spesifikasi yang sama bahkan lebih rendah, iPhone memiliki performance yang lebih cepat dan jarang slowdown (lag). Hal simpel tetapi ini sangat krusial bagi pengguna smartphone. Contoh lainnya, dengan spesifikasi yang sama atau bahkan lebih rendah, kualitas foto iPhone lebih bagus dari android.
Kunci dari keberhasilan iPhone yang mampu memberikan performace lebih baik dengan spesifikasi sama atau bahkan lebih rendah adalah karena kombinasi dari operating system, hardware,dan sofware yang optimal. Perfromance yang baik bukan hanya datang dari spesifikasi yang powerful.
“A great product isn’t just a collection of features. It’s how it all works together”
Tim Cook
Keunggulan yang membuat orang puas dengan produk Apple adalah mereka lebih tahu tentang apa yang konsumen butuh kan dan inginkan bahkan dibanding konsumennya sendiri. Sehingga mereka (Apple) mampu memberikan benefit lebih dari apa yang konsumen harapkan (beyond expectation).
“You can’t just ask customers what they want and then try to give that to them. By the time you get it built they’ll want something new”
Steve Jobs
3. Fokus Untuk Membangun Ekosistem
Poin yang ketiga adalah fokus untuk membangun ekosistem. Ekosistem juga termasuk pilar penting dalam kesuksesan Apple saat ini. Ekosistem adalah strategi bisnis yang sengaja Apple buat.
Apple sudah fokus dalam membangun ekosistem since day one, sejak Apple didirikan. The original Macintosh in 1984, dengan operating system yang tidak mengizinkan orang lain untuk menggunakannya. Sehingga dengan itu Apple bisa mengontrol dengan lebih leluasa. Berbeda dengan Microsoft yang melisensikan windows operating system mereka kepada seluruh perusahaan hardware manufacture that paid for it.
Melalui ekosistemnya Apple menawarkan solusi kemudahan dalam berteknologi, yang mana antara satu device dengan device lainnya saling terintegrasi. Kemampuan Apple untuk bisa mengintegrasikan antara hardware, software, and services, menjadi keunggulan Apple dibanding dengan perusahaan lainnya.
Produk yang terintegrasi satu sama lain membuat user mendapatkan user experience premium berupa fitur atau fungsi yang membuat semuanya bisa terhubung satu sama lain. Contohnya seperti fitur AirDrop yang membuat pengguna Apple lebih mudah untuk mengirimkan file antara Apple device dengan lebih cepat tanpa harus mengaktifkan bluetooth dan internet, iCloud yang terintegrasi sehingga bisa di akses oleh seluruh Apple device dengan Apple ID yang sama, iPad menjadi secondary display untuk Mac sehingga bisa mengoperasikan Mac dengan dua monitor,dan masih banyak benefit lainnya.
Semakin banyak kita menggunakan produk Apple, maka benefit yang kita rasakan akan semakin besar lagi. Ini merupakan strategi bisnis yang sengaja Apple buat untuk mendorong seluruh customer membeli product Apple yang lain. Maximum dan superior benefit yang ditawarkan Apple berhasil memancing banyak Apple user semakin masuk ke dalam ekosistemnya.
Semakin dalam kita masuk ke dalam ekosistemnya, maka akan semakin terkunci di dalamnya. Terkunci bukan dalam artian terperangkap dengan kekecewaan, melainkan terkunci karena kepuasan dengan solusi yang diberikan. Oleh karena itulah orang-orang yang sudah menggunakan Apple berpotensi membeli produk Apple lagi.
“Convenient experience across all their products, will make people keep buying the product”
Hal inilah yang membuat tingkat loyalty customer Apple sangat tinggi sekali.
Data ini menunjukkan, jika di tahun 2021, 90% dari pengguna Apple membeli kembali produk dengan brand yang sama (Apple). Sangat luar biasa sekali bukan? Kenapa mereka beli Apple kembali? Sebagai seorang pebisnis di industri apa pun, alasan umum dari loyalnya konsumen itu satu, mereka puas dengan value yang kita berikan. That’s it.
Alasan lainnya adalah ekosistem yang Apple buat ini menciptakan relational switching cost. Artinya ketika mereka tidak menggunakan produk Apple lagi, maka mereka akan kehilangan benefit besar yang telah mereka dapatkan sebelumnya dalam ekosistem itu. Atau kehilangan benefit dari pembelian sebelumnya seperti jika kita berlangganan Apple Music. Sehingga tidak salah jika ada orang yang berpendapat bahwa ekosistem Apple itu mengikat.
Perusahaan yang memiliki keunggulan switching cost yang tinggi, membuat perusahaan tersebut bisa menjual produk dengan harga yang lebih tinggi untuk produk yang sama. Selain itu juga akan lebih sulit bagi kompetitor untuk menyerangnya, karena ada biaya switching cost yang harus di kompensasi kepada konsumen.
Oleh karena itu, pantas saja di tengah ketatnya persaingan industri, Apple masih bisa menghasilkan keuntungan yang besar dari setiap penjualannya.
Di tahun 2021, Apple berhasil membukukan laba kotor sebesar 42% dari total penjualannya, laba operasional sebesar 30% dari total penjualannya, dan laba bersih sebesar 26% dari total penjualannya. Dengan keuntungan tebal seperti itu wajar saja jika Apple menjadi perusahaan dengan keuntungan terbesar di industrinya.
Bahkan dengan market share sekitar 20%, Apple mewakili 40% pendapatan dalam industri dan 75% keuntungan dalam industri. Artinya, dari total seluruh pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan industri, 40% dan 75%-nya adalah milik Apple. Luar biasa bukan?
Loyal customer yang tinggi, pembelian produk yang lebih banyak, serta mampu menjualnya di harga yang tinggi, sungguh ekosistem ini adalah strategi bisnis yang sangat luar biasa yang membuat Apple semakin kokoh di industrinya.
iPhone sebagai Game Changer
Mungkin yang lebih banyak orang ketahui saat ini Apple adalah salah satu perusahaan smartphone terbesar asal Amerika. Padahal pada awalnya Apple ini adalah perusahaan komputer. Sejak pertama kali berdiri sampai dengan tahun 2001, main bisnis perusahaan adalah menjual komputer.
Sampai dengan di tahun 2001-an Apple mulai melakukan ekspansi dengan memproduksi music player yang bernama iPod. Ekspansi bisnis yang Apple lakukan saat itu sangat sukses sekali. Pasalnya penjualan iPod terus mengalami pertumbuhan dengan CAGR 125% dari 2002-2007. Bahkan di tahun 2006, penjualan iPod lebih tinggi sebesar US$ 301 million dibanding penjualan Mac (desktop dan portable).
Sejak tahun 2004-an, Steve Jobs sudah mulai khawatir akan produk handphone yang berpotensi menyerang iPod di masa yang akan datang. Sebagai respons akan hal itu, tahun 2007 Apple melakukan ekspansi ke industri handphone dengan membuat produk baru yang bernama iPhone. Di sinilah batu loncatan dari kesuksesan Apple.
Munculnya iPhone bermula dari sebuah perdebatan panjang di dalam internal perusahaan. Pasalnya pada awalnya Steve Jobs menolak pembuatan handphone yang direkomendasikan oleh tim engineers, designers dan marketers. Hal itu didasarkan pada kekhawatiran Steve Jobs akan bisnis iPod yang saat itu bertumbuh sangat pesat sekali. Bahkan pendapatannya sudah menyaingi Mac, produk utama yang sudah dikembangkan sejak Apple didirikan.
Tetapi, tim Apple sudah mengidentifikasi jika handphone akan memiliki feature yang bisa memutar musik. Sehingga untuk menghadapi tantangan tersebut, tim merekomendasikan iPod diubah menjadi sebuah phone yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Setelah sekitar enam bulan, barulah sejak itu Steve Jobs menyetujuinya. Di sinilah awal mula Apple ekspansi ke bisnis handphone.
Tidak bisa kita pungkiri, ekspansi yang Apple lakukan menjadi batu loncatan keberhasilan Apple saat ini. Transformasi dari iPod menjadi iPhone menjadi keputusan yang tepat yang pernah Apple buat. Sejak saat itu penjualan iPhone terus mengalami pertumbuhan dengan CAGR 43% dari tahun 2008-2021. Saat ini iPhone menjadi produk yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penjualan Apple.
Proporsi penjualan iPhone adalah sebesar 52% dari total penjualan AAPL di tahun 2021. Penjualan iPhone di tahun 2021 setara dengan 5x lipat penjualan Mac yang merupakan produk utama Apple sejak perusahaan didirikan.
iPhone bukan kunci dari kesuksesan Apple, melainkan booster dari kesuksesan Apple. iPhone adalah entry point strategis terbaik yang pernah Apple buat untuk membuat orang masuk ke dalam ekosistem Apple sehingga bisa sebesar sekarang ini.
Namun, yang harus menjadi concern adalah produk iPhone ini termasuk luxury smartphone yang memiliki harga mahal. Menurut teman-teman investor, kira-kira orang tidak membeli iPhone atau produk Apple kebanyakan karena mahal sebenarnya ingin atau memang ingin android karena lebih bagus? Hasil survei di lingkungan penulis, mereka lebih banyak yang memilih alasan pertama. Apakah teman-teman di sini setuju dengan pendapat mereka?
Jika kita coba lihat proporsi penjualan berdasarkan negara, ternyata penjualan Apple terbesar itu adalah di US dan Eropa yang relatif negara maju. Sedangkan di negara berkembang proporsinya cenderung lebih sedikit.
Dari tahun 2015-2021 penjualan Apple terbesar konsisten di US dan Europe. Proporsi penjualan di China pernah lebih tinggi dari Europe di tahun 2015, tetapi cenderung terus mengalami penurunan karena banyaknya brand lokal China yang cukup besar seperti Huawei, Xiaomi, Oppo, Vivo dan lain-lain yang menjual dengan harga lebih murah. Masih banyak masyarakat China yang tingkat ekonominya rendah, sehingga willingness to pay nya rendah.
Tidak bisa disalahkan, jika ada orang yang berasumsi “semakin maju sebuah negara, maka akan semakin banyak Apple user di dalamnya”. Contohnya seperti di China pada Q4 2021 kemarin, iPhone tiba-tiba menguasai pangsa pasar smartphone China untuk pertama kalinya dengan total pangsa pasar sebesar 23%. Hal ini terjadi karena bertambahnya orang kaya baru di China.
Yang harus menjadi catatan adalah iPhone lebih berfokus pada target pasar yang memiliki willingness to pay yang tinggi. Sedangkan kita ketahui, jumlah masyarakat yang memiliki willingness to pay tinggi itu lebih sedikit dibanding dengan masyarakat yang memiliki willingness to pay rendah. Pertumbuhan iPhone yang terlalu cepat di tahun-tahun sebelumnya berpotensi memperlambat penjualan iPhone di tahun-tahun selanjutnya, karena terbatasnya target pasar.
Ternyata terbukti, penjualan iPhone semenjak tahun 2015-2020 stagnan bahkan menurun dari tahun 2018-2020. Mengingat proporsi penjualan iPhone sangat tinggi terhadap total penjualan Apple, penjualan iPhone yang stagnan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan total penjualan Apple secara keseluruhan.
Terlihat bagaimana pertumbuhan total penjualan Apple dari 2015-2020 relatif mengalami perlambatan. Selain itu juga, tingkat upgrading iPhone itu termasuk paling tinggi dibandingkan produk Apple lainnya. Sehingga penjualan iPhone ini bisa jadi masih tertahan karena tingginya orang yang melakukan upgrading bukan karena pembelian dari pengguna baru.
Pertumbuhan iPhone yang melambat berpotensi memperlambat pertumbuhan ekosistem Apple ke depannya. Penulis rasa, keluarnya IOS 14 adalah respons akan permasalahan ini. Apple yang memiliki ciri khas atau kecenderungan untuk fokus pada simplicity dan user experience, IOS 14 justru menjadi pembeda.
Fitur-fitur baru yang Apple buat dalam IOS 14 seperti range of all resizable widgets, app drawer, change default browser, picture to picture apple multitasking dan lain-lain. Fitur-fitur seperti ini tidak pernah Apple buat pada generasi sebelumnya. Kenapa Apple baru buat sekarang ini? Mengapa Apple harus menunggu sepuluh tahun untuk membuat fitur-fitur seperti layaknya yang telah android buat?
Kemungkinan akan ada perubahan dalam strategi bisnis Apple ke depannya. Penulis cukup curiga, ini merupakan langkah awal Apple to fight directly dengan android to get more new iPhone user. Apple menginginkan lebih banyak android user pindah menjadi Apple user untuk mendorong pertumbuhan ekosistem dan kesuksesan bisnis services nya. Kembali dirilisnya iPhone SE memperkuat argumen akan tesis ini.
Apple mencoba mengulurkan tangga lebih panjang untuk membuat orang-orang yang awalnya merasa keberatan dengan harga yang tinggi untuk lebih mudah masuk kedalam ekosistem Apple. Hanya saja pertanyaannya, apakah hal ini akan berhasil?
Apple pertama kali merilis generasi SE (iPhone SE) pada 31 Maret 2016. Hanya saja gagal, terbukti tidak bisa mendorong penjualan iPhone di tahun 2016 dan 2017. Terlihat penjualan iPhone di tahun 2016-2017 relatif turun. Bahkan iPhone SE 2020 pun masih belum terhitung berhasil. Bagaimana dengan tahun ini?
Jika ternyata iPhone SE yang rilis tahun ini adalah iPhone SE yang memiliki model desain sama seperti tahun 2020, spesifikasi yang tidak terlalu jauh beda, dan hanya tambahan 5G. Penulis cukup yakin ini tidak akan berhasil lagi. Jaringan 5G yang memiliki kecepatan tinggi, akan membuat battery life menjadi lebih boros lagi.
Dengan harga jual $399, pembeli akan lebih memilih Gogel Pixel 5a dengan harga $499 tetapi dengan spesifikasi yang jauh lebih bagus. Hanya berbeda $50, Google Pixel 5a memiliki 2,5x battery yang lebih besar dan 2x storage yang lebih besar juga.
Tapi ingat, ini masih rumor. Jika ternyata iPhone SE yang rilis tahun ini sesuai rencana yang mana seperti iPhone 11 tetapi dengan ukuran lebih kecil, mungkin itu akan jadi cerita lain. Menunda release iPhone SE yang seharusnya tahun ini di tahun 2024 melihat perkembangan teknologi di industry smartphone yang begitu cepat, bagi penulis agak aneh juga.
Penulis cukup yakin seharusnya management lebih paham dan menyadari akan hal ini. iPhone SE yang sejauh ini telah di rilis terlalu nanggung. Apple harus melakukan gebrakan. Tetapi mengambil pasar bawah dengan spesifikasi tinggi dan harga murah ini akan menjadi brand dilution juga bagi Apple. Apple harus tetap bisa menjaga brand image-nya meskipun mencoba mengulurkan tangga lebih panjang kepada calon konsumennya.
Penjualan iPhone series non SE masih tetap lebih sukses saat ini. Terlihat penjualan iPhone di tahun 2021 TTM Q3 bertumbuh sebesar 39% dan itu lebih di dorong oleh penjualan non SE.
Pengembangan IOS 14 dan iPhone SE bukan satu-satunya respons terhadap penurunan penjual iPhone. Apple juga berusaha memaksimalkan bisnis subscription based service yang harapannya mampu menjadi mesin penghasil cashbaru bagi perusahaan.
Subscription Based Serivce: Apple New Cash Machine
Penjualan hard device seperti iPhone yang sudah stagnan bahkan relatif menurun sejak tiga tahun terakhir (sebelum 2021) membuat Apple have to start looking profit in other places. Subscription based service menjadi pilihannya. Langkah yang diambil Apple ini membuat sedikit perubahan dalam bisnis model Apple.
Keseriusan Apple untuk berfokus dan memperbesar bisnis subscription based service terlihat dengan launching program service bundle yang bernama Apple One. Sebenarnya segmen service ini sudah ada sejak dulu, hanya saja tidak menjadi fokus utama.
Subscription based service apple terdiri dari Apple Music, Apple News, Apple TV, Apple Arcade, dan lain-lain. End customer dan existing apple user adalah calon kandidat kuat yang akan menjadi Apple service subscriber. Subscription based service membuat Apple memiliki steady predictable income. Bukan hanya itu saja, laba kotor yang dihasilkan dari subscription based service lebih besar dibandingkan dengan penjualan product (hardware).
Gross profit margin (GPM) untuk product (hardware) sekitar 31%-35%, sedangkan GPM untuk service 64%-70% dari tahun 2019-2021. GPM dari bisnis service dua kali lebih besar dibandingkan dengan bisnis product. Proporsi penjualan service yang semakin besar berpotensi membuat margin laba kotor perusahaan menjadi lebih besar lagi.
Meskipun proporsi penjualan service masih kecil (sekitar 19% di 2021), proporsinya terus mengalami pertumbuhan. Proporsi service yang mengalami pertumbuhan bukan disebabkan oleh penjualan product (hardware) yang lebih kecil, melainkan karena pertumbuhan penjualan dari bisnis service lebih besar dibandingkan dengan bisnis product hardware. Dari tahun 2015-2021. Penjualan dari bisnis service mengalami pertumbuhan dengan CAGR 23%, sedangkan product (hardware) hanya 6% saja.
For the tech company, subscriptions are the future. Apple isn’t the only one, banyak perusahaan tech company lain yang sudah mulai ekspansi ke bisnis ini.
Contohnya seperti Amazon Prime, Apple+ (All in one place), Youtube Premium, Disney Hotstar, dan lain-lain. Bahkan Instagram pun di US sudah mulai ada feature instagram subscription.
Dalam bisnis subscription based service, semakin banyak orang yang memiliki device as facility to get subscription maka akan semakin besar pendapatan perusahaan. Kelemahan Apple dalam bisnis ini adalah ekosistem yang tertutup. Orang yang bisa menjadi subscriber dari apple services adalah Apple user. Hal ini membuat calon customer menjadi lebih terbatas.
Pertumbuhan Apple services bergantung kepada seberapa banyak Apple user. Semakin banyak Apple user, maka akan semakin besar potential customer for Apple services. Setiap satu orang yang menjadi Apple user maka bertambah satu orang yang berpeluang menjadi Apple service subscriber.
Masalahnya, langkah Apple dalam memproduksi varian smartphone untuk bisa menyasar berbagai segmen customer cukup terbatas. Apple tidak dapat membuat smartphone dengan berbagai varian model berbeda, mereka ingin fokus pada beberapa model dengan benar-benar mengontrol end user experience. Past strategy dari Apple yang lebih berfokus pada high quality product with high price doesn’t fit perfectly with the new future (subscription based service).
Entry point strategy merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk bisa memaksimalkan bisnis subscription bases service. Bagaimanapun juga untuk bisa memaksimalkan bisnis subscription based service, Apple harus mampu membuat orang lebih banyak untuk masuk ke dalam ekosistem Apple.
Awalnya Apple memanfaatkan iPhone sebagai entry point strategis untuk membuat orang bisa masuk ke dalam ekosistem. Hanya memanfaatkan iPhone sebagai entry point strategis itu kurang fleksibel, ditambah lagi dengan penjualan iPhone yang pertumbuhannya mulai melambat.
Apple menyadari jika ada dua cara yang bisa membuat ekosistem Apple menjadi lebih besar,
- New users entering the ecosystem
- Existing users moving deeper into the ecosystem
Existing user moving deeper into the ecosystem dengan pertimbangan tingkat loyalty customer yang tinggi seharusnya lebih mudah dibandingkan dengan new user entering the ecosystem. Apple menyadari juga akan hal ini, sehingga cara satu menjadi prioritas utama.
Untuk mengundang lebih banyak user masuk ke dalam ekosistem. Hal penting yang harus diperhatikan adalah fleksibilitas untuk memasukinya. Artinya, Apple harus menyediakan pintu masuk yang lebih banyak. Dengan pertimbangan itulah Apple merubah entry point strategy mereka menjadi seperti ilustrasi gambar di bawah ini.
Dengan entry point strategy baru, Apple membuat pintu masuk ke dalam ekosistem lebih fleksibel. iPhone tidak lagi menjadi bottle neck untuk masuk ke dalam ekosistem Apple. Bukan itu saja, Apple juga membuat produk lain seperti Apple Watch dan iPad menjadi lebih independen.
iPad dan Apple Watch yang awalnya bergantung kepada iPhone kini menjadi satuan device yang berfungsi secara independen. Bahkan AirPods sendiri memiliki fungsi yang independen. AirPods Pro bisa digunakan di device android dengan menggunakan Bluetooth. Hanya saja fungsi antara satu device dengan device lainnya akan memberikan experience dan benefit lebih, ketika dipasangkan dengan produk Apple lagi. Experience dan benefit lebih yang dimaksud adalah fungsi tambahan yang hanya bisa digunakan sesame Apple device, sehingga pengguna menjadi lebih puas. Hal inilah yang berpotensi menarik orang untuk masuk ke dalam ekosistem Apple lebih dalam lagi.
Bukan itu saja, iPhone mengeluarkan series menengah dengan mengeluarkan produk iPhone SE. Harapannya produk iPhone SE ini bisa menarik android user untuk masuk ke dalam ekosistem Apple. Tetapi, sejauh ini iPhone SE masih belum bisa dikatakan berhasil untuk menarik android user ke dalam ekosistem Apple. Meskipun belum bisa dikatakan berhasil, generasi SE yang akan dirilis juga tahun ini menjadi pertanda jika manajemen masih optimis dan memiliki harapan dengan iPhone SE ini. Manajemen yang baik pasti berbenah dan belajar dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga seharusnya iPhone SE yang di rilis tahun ini bisa lebih berhasil dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Akan sulit jika memancing customer untuk masuk ke dalam Apple ekosistem dengan melangkahkan kedua kaki. Strategi Apple dalam hal ini adalah memancing customer untuk menggunakan satu produk Apple terlebih dahulu. Manajemen cukup yakin, satu produk ini akan menjadi dua dan bahkan beberapa produk ketika perusahaan mampu memberikan premium experience dari produk tersebut. The sales of one piece of hardware indirectly leads to the sale of more hardware. Apple membutuhkan hook atau bridge untuk menarik non Apple customer dipe in into the ecosystem.
Dengan ekosistem Apple yang tertutup, peluang pertumbuhan bisnis service Apple sangat bergantung kepada ekosistem. Sehingga tidak ada jalan lagi yang harus Apple lakukan selain memperbesar ekosistem.
Uniknya, meskipun Apple merupakan perusahaan dengan ekosistem tertutup, tanpa disadari dari sisi lain ternyata Apple juga merupakan perusahaan yang memiliki ekosistem yang terbuka. Terbuka dalam artian memperbolehkan para developer atau siapa pun itu untuk menjual apps atau software di Apps Store. Fee yang diberikan Apple untuk setiap apps yang dijual di Apps Store adalah 30%. Sangat besar bukan?
Elon Musk melalu twitternya mengatakan jika App Store fee meruapakan de facto global tax on internet. CEO Epic Games melalui twitternya mengatakan jika mereka melakukan pembayaran sebesar 30% fee atau setara dengan $6 million kepada Apple untuk game Fortnite.
Inilah yang menjadi kelebihan Apple, mereka bisa menjual dengan harga tinggi. Hal ini karena mereka memiliki brands dan customer yang memiliki willingness to pay yang tinggi. Pendapatan ini masuk ke dalam segmen bisnis service di laporan keuangan.
Wearables Product: Masa Depan Apple
Apple ekosistem itu seperti potongan puzzle. Setiap product dari Apple merepresentasikan satu buah potongan puzzle, yang mana satu sama lain saling berkesinambungan. Semakin banyak potongan tersebut, maka akan semakin perfect bentuk puzzle yang dihasilkan.
Meskipun Anda tidak harus memiliki setiap potongan puzzle Apple, tetapi setiap potongan puzzle yang Anda tambahkan membuat benefit dan experience yang dirasakan lebih magical. Apple berencana membuat potongan puzzle baru untuk menjadi pelengkap ekosistem bisnis Apple.
Bisnis wearables, home and accessories Apple bertumbuh dengan cukup pesat. Keberhasilan Apple dalam bisnis wearables lagi-lagi merupakan bukti keberhasilan Apple dalam deliver experience kepada konsumennya. Business wearables, home, and accessories adalah bisnis electronic device selain iPhone, Mac, dan iPad. Contohnya seperti Apple Watch, AirPods, HomePods, dan Apple TV 4K.
Salah satu alasan android masih bisa bernafas ketika bersaing dengan Apple di industri smartphone, karena mereka menemukan gap yang tinggi dalam harga. Sedangkan untuk bisnis wearables sendiri pesaing tidak menemukan hal itu. AirPods dijual $159, sedangkan Apple Watch $199. Pihak ketiga bisa lebih murah lagi. Hal itulah yang membuat Apple mendominasi pangsa pasar untuk produk smartwatch dan AirPods.
Dari tahun 2015-2021, segmen bisnis wearables menjadi segmen bisnis dengan pertumbuhan tertinggi, segmen bisnis ini bertumbuh sebesar 25%. Bukan hanya meningkat secara nominal penjualan saja, melainkan juga unit yang terjual.
Grafik di atas menunjukkan pertumbuhan penjualan segmen bisnis wearables per units sales dari tahun 2017-2021. Suksesnya Apple di bisnis wearables, home and accessories menjadi langkah awal Apple untuk lebih memperluas bisnis di segmen ini, yang mana hal itu akan menjadi potongan puzzle baru dalam ekosistem Apple ke depannya.
Di bawah ini adalah gambaran terkait potongan puzzle baru yang berencana Apple buat.
Apple berencana untuk masuk ke dalam segmen bisnis AR (Augmented Reality) melalui Apple Glasses, Smart Home, dan segmen bisnis mobil melalui Apple Car. Ketiga segmen baru ini akan menjadi potongan puzzle baru bagi bisnis Apple.
Rencana Apple untuk masuk ke industri mobil atau perumahan bukan bagian dari perubahan DNA bisnis Apple. Rencana Apple untuk masuk ke industri mobil bukan untuk meniru Tesla. Yang Apple jual bukanlah mobil atau smart home, melainkan experience dibaliknya.
Apple menginginkan pengguna mendapatkan experience baru dalam berkendara dan begitu pula di dalam rumah. Semua produk itu akan terkoneksi dalam satu ekosistem Apple (iPhone, iWatch, iPad, apple glasses dan lain-lain). Menarik untuk dinantikan.
Apple menyadari jika teknologi yang akan dibutuhkan di masa depan adalah teknologi yang mampu menjadi personal assistant. HomePod dengan Siri menjadi langkah awal untuk menuju ke arah sana yang mana kedepannya kemungkinan akan dikombinasikan dengan Smart Home. Bahkan kemungkinan besar konsep Smart Home ini akan terintegrasi langsung dengan produk Apple lainnya.
Apakah potongan puzzle baru yang dibuat Apple ini akan berhasil? Penulis cukup optimis, selama Apple masih memegang playbook yang sama seperti yang dijelaskan di awal, potongan puzzle ini kemungkinan besar akan sama berhasilnya seperti produk-produk Apple lainnya.
Menurut penulis, cara Apple untuk memperbesar ekosistemnya dengan menambah potongan puzzle tersebut lebih mudah dan menguntungkan dibandingkan dengan Apple masuk ke segmen menengah ke bawah. Mengapa seperti itu? Apple sudah punya ekosistem yang kuat dan willingness to pay dari customer tinggi. Apple sudah punya calon pembeli yang kuat. Bagi mereka yang ingin melengkapi potongan puzzle-nya supaya mendapatkan bentuk yang lebih sempurna akan membelinya.
Conclusion
Kesimpulan dari cerita panjang tentang rahasia suksesnya bisnis Apple adalah Apple Business Playbook. Playbook ini menjadi DNA bisnis (source of success) bisnis Apple hingga bisa sejauh ini. Kesuksesan Apple dengan playbook yang mereka pegang tercermin dari kesuksesan setiap produk yang mereka jual, dari mulai iPhone, iPad, Mac, Service, wearables, home, and accessories.
Dalam setiap analisis perusahaan, penulis selalu terfokus kepada DNA bisnis atau kunci kesuksesan sebuah perusahaan. Itu yang menjadi pegangan dan tolak ukur keberhasilan perusahaan ke depannya. Hal ini juga penulis lakukan ketika analisis ARNA.
Bisnis Apple yang besar dengan parit yang lebar di antara kompetitornya adalah buah dari DNA bisnis yang mereka pegang. Oleh karena itu selalu fokus pada kunci kesuksesan yang terdapat di belakang angka, bukan hanya pada angka atau rasio yang tertera di laporan keuangan.
“Companies that get confused, that think their goal is revenue or stock price or something. You have to focus on the things that lead to those”
Tim Cook
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis tidak memiliki posisi investasi di saham AAPL. Analisis ini dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.