Biasanya, investor saham di Indonesia terutama yang belum lama terjun di pasar modal cenderung untuk memilih saham-saham dengan kapitalisasi pasar yang besar, likuid, atau minimal perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Alasannya simpel karena perusahaan-perusahaan tersebut punya risiko rendah untuk bangkrut karena pemerintah pasti akan mengulurkan tangan secara sukarela.
Tidak salah juga, namun inti berinvestasi bukan hanya melihat risiko gulung tikar saja tetapi banyak faktor yang perlu dipertimbangkan salah satunya seberapa baik perusahaan tersebut mampu terus bertumbuh di masa depan.
Harga saham dalam jangka panjang akan mengikuti kinerja perusahaan, seberapa baik mereka menghasilkan laba yang mampu terus compounding. Sayangnya tidak semua BUMN sukses untuk menghasilkan kinerja yang apik karena berbagai faktor.
Sebut saja PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) yang profitabilitasnya terus menurun sejak tahun 2011 yang menyebabkan harga sahamnya terjun bebas dari Rp 4.300 per lembar menjadi sekitar Rp 905 per lembar di kuartal II 2021.
Terbaru, pemerintah mengeluarkan kebijakan penurunan harga gas industri yang menguntungkan perusahaan manufaktur pengguna gas seperti ARNA. Alih-alih mengulurkan tangan membantu kinerja PGAS untuk tumbuh, pemerintah justru mengorbankan profitabilitas BUMN-nya demi industri manufaktur yang lebih kompetitif.
Begitu pula saham yang punya kapitalisasi pasar besar belum tentu menghadirkan kinerja yang lebih baik, contoh nyatanya adalah saham PT Astra International (ASII) yang harga sahamnya tidak kemana-mana dalam lima tahun terakhir.
Maka, opini terkait investasi di saham berkapitalisasi besar maupun BUMN pasti menguntungkan tidaklah valid.
Padahal jika melakukan effort lebih dengan melihat perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI), tidak jarang kita akan menemukan perusahaan yang punya kapitalisasi pasar kecil dan tidak begitu dikenal tetapi punya kinerja yang luar biasa.
Salah satunya ada PT Mark Dynamics Indonesia dengan kode saham (MARK).
Perusahaan ini tidak begitu familiar, tidak seperti UNVR yang produknya ada dimana-mana atau WIKA yang logonya sering terpampang ketika ada proyek pembangunan, namun soal profitabilitas boleh diadu.
Net Profit Margin (NPM) yang dimiliki MARK bisa dikatakan cukup tebal yang mana mampu menyentuh angka 29% pada TTM Q2 2021. Tidak banyak perusahaan mampu punya profit margin setebal itu.
NPM tebal adalah salah satu indikasi bahwa perusahaan tersebut memiliki economic moat yang mampu melindungi profitabilitas mereka dari gempuran para pesaing.
Economic moat seperti apa yang membuat MARK begitu profitable?
Let’s find out!
Yuk Lanjut Baca
INVESTABOOK Insight
Langganan & Akses 250+ Insight Lainnya
Jika sudah berlangganan, kamu bisa login di sini!