Cerita di Balik Kegagalan Investasi Terry Smith di Negara Berkembang

Keberhasilan Terry Smith membawa Fundsmith Equity Fund mengalahkan indeks di 13 tahun terakhir ternyata tak bisa terulang di Fundsmith Emerging Equities Trust.

Terry Smith adalah salah satu investor top dunia yang juga menjadi guru bagi banyak pengikut Warren Buffett. Keduanya memang punya strategi investasi yang serupa, yakni membeli perusahaan bagus di harga yang menarik dan membiarkannya tumbuh dalam jangka panjang.

Karena Terry Smith pula, saya yang dulu menyebut strategi investasi dengan Value Investing ala Warren Buffett atau Quality Value Investing memutuskan untuk membuatnya jadi lebih sederhana dan to the point: Quality Investing.

Investor yang berinvestasi di Fundsmith Equity Fund (FEF), reksa dana utama Fundsmith, sejak diluncurkan telah mendapat keuntungan 461% dalam 13 tahun terakhir. Meski kinerja year to date FEF sedang turun 16,4%, return jangka panjangnya tetap cukup baik. Bahkan lebih baik dari return Berkshire Hathaway, kendaraan investasi Warren Buffett.

Namun, kesuksesan FEF ternyata tidak bisa diduplikasi oleh Terry Smith di Fundsmith Emerging Equities Trust (FEET), trust fund yang berjanji akan menerapkan strategi Quality Investing seperti FEF di investable universe yang hanya berisi perusahaan-perusahaan di negara berkembang.

Sejak diluncurkan pada Juni 2014, FEET underperform dan hanya bisa memberi keuntungan 3% per tahun kepada para investornya. Kalah dari FEF, MSCI, dan Berkshire Hathaway.

Puncaknya, pada 14 September 2022, Fundsmith mengajukan proposal likuidasi FEET. Terry Smith “menyerah” menerapkan Quality Investing di negara-negara berkembang.

“We have always maintained that we would only run funds where we felt we had a particular edge that would allow us to deliver superior risk‐adjusted returns. Whilst FEET has made a positive return since launch in 2014 it has fallen below our expectations and, unlike other fund managers who might seek to hold onto the fund for the sake of the fee income, we feel it would be in the best interests of shareholders to receive their investment back in cash through a liquidation of the portfolio and wind‐ up of the Company.”

(Terry Smith)

Meskipun langkah ini perlu diapresiasi karena Fundsmith berarti tetap memikirkan pemegang saham dari trust fund-nya dan tidak mau memakan “gaji buta” seperti sejumlah fund manager lain, kegagalan ini tetap perlu jadi perhatian kita, fellow Quality Investor di Indonesia.

Apa yang salah? Apa Quality Investing memang tidak bisa diterapkan di negara berkembang? Pelajaran apa saja yang bisa kita ambil dari cerita ini?

Mari kita bahas!

Mau baca Insight tentang Portofolio Founder INVESTABOOK dan >200 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!

Kelahiran Fundsmith Emerging Equities Trust

Jejak kelahiran Fundsmith Emerging Equities Trust (FEET) dapat kita lacak dari Fundsmith Equity Fund Shareholder Letter 2013.

Although all of our portfolio companies are headquartered and listed in Europe and North America, some 32% of their underlying revenues are from Emerging Markets. This is generally considered a positive attribute as Emerging Markets have generally outperformed developed markets in terms of economic growth in recent years.”

(Terry Smith)

Jadi, Terry Smith sebenarnya bullish pada peluang investasi dengan strategi Quality Investing di emerging market seperti negara-negara di benua Asia, Amerika Selatan, dan Afrika.

Satu-satunya kendala bagi Fundsmith untuk memiliki exposure secara langsung dengan membeli saham perusahaan di emerging market adalah likuiditas.

Sebagai open ended fund atau reksa dana seperti yang kita kenal di Indonesia, Fundsmith Equity Fund harus memiliki likuiditas harian. Artinya, Fundsmith harus selalu siap cash, termasuk jika harus menjual saham, jika ada investor yang ingin menjual unit kepemilikannya.

Karena masih dominannya bisnis keluarga dan grup konglomerasi dengan kepemilikan saham mayoritas di emerging market, likuiditas perdagangan sahamnya jadi tidak terlalu ramai.

Kita ambil contoh di pasar saham Indonesia.

Pada tahun 2021, 5 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia saja rata-rata hanya menawarkan likuiditas harian sebesar 28 juta Poundsterling.

Sedangkan Fundsmith Equity Fund sejak diluncurkan saja sudah memiliki dana kelolaan lebih dari £500 juta dan karena kinerjanya yang cemerlang per September 2022 sudah naik 44 kali lipat menjadi £22,3 miliar.

Karena itulah, mereka membuat FEET dalam bentuk investment trust atau seperti perusahaan investasi (mirip seperti Saratoga di Indonesia) yang tidak menyediakan likuiditas harian ala reksa dana biasa.

FEET diluncurkan pada Juni 2014 dengan “janji” bahwa mereka akan menerapkan strategi yang sama dengan FEF, oleh fund manager yang sama, di opportunity set yang berpotensi menghasilkan return lebih besar.

Presentasi FEET di RUPS 2015

Sejak awal, Fundsmith mendefinisikan good company sebagai perusahaan yang menjual produk consumable dengan karakteristik “small ticket, repeat, & relatively predictable”. Karena itulah, sebagian besar Investable Universe dan Portofolio FEF diisi oleh perusahaan Fast Moving Consumer Good (FMCG) seperti perusahaan makanan dan minuman kemasan, rokok, dan perawatan tubuh.

Terry Smith melihat kemunculan dan pertumbuhan kelas konsumen (atau kelas menengah) di emerging market akan memberi FEET structural tailwind yang membuatnya bisa punya kinerja lebih baik dari FEF yang mayoritas penjualannya berasal dari konsumen di negara-negara maju yang sudah cukup mature.

Presentasi FEET di RUPS 2015
Presentasi FEET di RUPS 2015
Presentasi FEET di RUPS 2015
Presentasi FEET di RUPS 2015

Ekspektasi tinggi ini membuat IPO FEET mendapat sambutan hangat dari investor di pasar saham UK. Saham FEET sempat dihargai pada nilai premium sebesar 7-8% dibanding nilai aset bersih atau Net Asset Value (NAV)-nya.

Konsep NAV di perusahaan investasi sama seperti reksa dana, yakni market value dari seluruh asetnya (cash/obligasi/saham) dikurangi liabilitas.

Karena risiko likuiditas yang lebih tinggi dibanding reksa dana, perusahaan investasi biasanya dihargai di harga diskon (kurang dari nilai NAV-nya) oleh pasar. Di acara Emiten Talk yang diselenggarakan Stockbit, manajemen Saratoga mengatakan bahwa market cap perusahaan mereka kini masih dihargai di level diskon 40-50% terhadap NAV, sedangkan perusahaan sejenis di luar negeri rata-rata berada di level diskon 10-15% terhadap NAV.

Investor FEET bukan mendapat “kerugian” dari sisi opportunity cost karena kinerja portofolio yang medioker dengan CAGR secara NAV hanya 4%, tetapi juga karena ekspektasi mereka yang terlalu tinggi pada FEET yang membuat CAGR harga saham FEET hanya 3%, lebih rendah dari CAGR NAV-nya.

With the benefit of hindsight, investor FEET terbukti overpaid terhadap potensi value creation dari FEET. Oke, sekarang mari kita bahas, mengapa FEET gagal menunaikan janjinya?

Mengapa Fundsmith Emerging Equities Trust Gagal?

Menurut saya, FEET gagal bukan karena strategi Quality Investing tidak cocok diterapkan di emerging market, tetapi karena Terry Smith gagal menyesuaikan strateginya dengan kondisi perusahaan di emerging market.

Penekanan pada kesamaan dengan FEF justru menjadi blunder bagi FEET karena faktanya emerging market memang opportunity set yang berbeda dengan Eropa dan Amerika Utara.

Pendeknya, Terry Smith gagal menerapkan strateginya sendiri di emerging market.

1. Tidak Membeli Perusahaan yang Benar-Benar Bagus

Kesalahan pertama dan paling foundational dari FEET adalah mereka gagal membeli perusahaan yang benar-benar bagus.

Di FEF Shareholder Letter 2013, Terry Smith mengatakan bahwa mereka telah memiliki 150 perusahaan di Investable Universe FEET yang sebagian besar adalah anak usaha, entitas asosiasi, dan franchisee dari perusahaan-perusahaan yang telah ada di FEF.

Artinya, Fundsmith telah memiliki research library yang cukup ekstensif untuk perusahaan-perusahaan tersebut sehingga tidak harus mulai melakukan riset nol. Mereka juga yakin perusahaan “cabang” dari perusahaan-perusahaan besar dunia tersebut memiliki corporate governance yang cukup baik. Issue yang cukup krusial di emerging market yang masih didominasi bisnis keluarga dan grup konglomerasi dengan kepemilikan saham mayoritas.

Presentasi FEET di RUPS 2017

Secara kuantitatif, perusahaan “cabang” di emerging market juga memiliki profitabilitas yang lebih tinggi dari perusahaan induk multinasional.

Presentasi FEET di RUPS 2017

Meski margin laba perusahaan di portofolio FEET tidak setebal perusahaan-perusahaan di portofolio FEF, tetapi Return on Capital Employed (ROCE)-nya lebih besar yang mengindikasikan Asset Turnover yang lebih efisien.

Margin laba perusahaan di portofolio FEET pun masih lebih tebal dibanding rata-rata perusahaan di MSCI Emerging Market (Developing Countries) dan Frontier Market (Underdeveloped Countries).

Pada presentasi di RUPS 2017, FEET juga memberi penekanan lebih pada growth. Perusahaan di portofolio FEET bukan cuma lebih profitable, tetapi juga punya growth yang lebih cepat dari perusahaan induk yang ada di portofolio FEF.

Hingga tahun 2019, alokasi investasi FEET juga masih sangat condong pada sektor consumer staples (nama lain untuk FMCG) dengan porsi 60%+ yang sejak lama memang jadi sweet spot Terry Smith dkk di FEF.

Mengapa rencana yang nampak cukup masuk akal tersebut justru berujung pada kegagalan?

Sebagian penyebabnya telah disadari oleh Fundsmith yang berujung pada pelimpahan tugas pengelolaan dana FEET ke Michael O’Brien dan Sandip Patodia (Terry Smith lebih beperan sebagai pengawas) dan sejumlah perubahan kebijakan investasi sejak tahun 2019.

  1. Ownership & Management. Manajemen HM Sampoerna (HMSP), Unilever Indonesia (UNVR), dan perusahaan “cabang” multinasional di negara lain memang menjanjikan shortcut untuk mencegah bad corporate governance, tetapi sayangnya hal itu juga satu paket dengan misalignment incentives dalam alokasi modal mereka. Manajemen “profesional” yang dipilih oleh sang induk lebih peduli untuk mengamankan posisinya dibanding menciptakan nilai jangka panjang untuk pemegang saham. Karena itulah, sejak tahun 2019, FEET meningkatkan porsi pada perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga atau Founder dengan tetap memperhatikan GCG.
  2. Macro & Political Risk. Perusahaan di emerging market memang punya potensi pertumbuhan yang lebih besar, tetapi sekaligus juga risiko yang lebih besar. Keduanya saling kait mengait. Intervensi kepentingan negara hingga kekacuan politik harus menjadi faktor dalam menilai kualitas bisnis di emerging market. Karena itulah, FEET berusaha mengurangi exposure-nya di perusahaan yang beroperasi di negara dengan risiko makro dan politik tinggi seperti Mesir, Sri Lanka, dan sebagian besar negara di frontier market.
  3. Sector Allocation. Konsentrasi yang terlalu tinggi pada FMCG membuat FEET kehilangan peluang dari perkembangan sektor lain yang sebenarnya masih terkait erat dengan tesis kemunculan kelas konsumen sebagai structural tailwind: kesehatan dan teknologi. Per September 2022, porsi Consumer Staples di FEET berkurang jadi tinggal 42,7%.

Fact Sheet FEET

Namun, menurut saya, ada kesalahan lain yang entah disadari atau tidak oleh Terry Smith dkk, yang pasti hal-hal ini tidak mereka bahas secara terbuka.

  1. Fundsmith terlalu menekankan pada aspek kuantitatif dalam menilai kualitas bisnis. Penggunaan look through metric memang memudahkan mereka untuk mengkomunikasikan strategi dan pilihan sahamnya pada (calon) investor, tetapi bisa jadi justru menjebak jika tidak dikombinasikan dengan analisis kualitatif yang memberi lebih banyak nuansa dan forward looking view. Seperti yang pernah kami bahas di INVESTABOOK INSIGHT, penurunan atau ROE yang lebih rendah belum tentu berarti kualitas bisnis yang lebih buruk.
  2. Fundsmith juga tidak menyadari perubahan competitive landscape bagi kebanyakan perusahaan FMCG. Dua economic moat utama perusahaan FMCG, budget besar untuk beriklan di TV dan keunggulan skala distribusi di offline retail dalam 1 dekade terakhir tergerus oleh perkembangan digital advertising dan e-commerce. Kehadiran Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok membuat perusahaan FMCG baru bisa masuk dan mengambil pangsa pasar dengan biaya yang lebih murah. Keberhasilan digital marketing yang dijalankan Dollar Shave Club di Youtube dan Cimory di Tiktok adalah bukti nyata bahwa moat perusahaan FMCG tidak selebar puluhan tahun lalu. Keuntungan terbesar FEF juga bukan berasal dari perusahaan FMCG, tetapi perusahaan teknologi seperti Microsoft, Intuit, ADP dan perusahaan kesehatan seperti IDEXX Laboratories.
  3. Fundsmith menyamakan bisnis bank di emerging market yang punya potensi pertumbuhan organik yang besar dengan bank di developed market yang harus masuk ke produk derivatif untuk bisa tetap bertumbuh. Seperti yang beberapa kali saya ungkapkan di artikel Jurnal Investasi, Terry Smith memang kurang suka dengan industri perbankan. Hal ini karena di negara maju, terutama di Eropa, bank beroperasi di rezim suku bunga rendah dan spread (selisih bunga pinjaman dan bunga deposito) yang tipis. Akhirnya, untuk bertumbuh dan mendongkrak profitabilitas, bank menjual produk-produk non-konvensional seperti collateral debt obligation (CDO) dan credit default swap (CDS) yang jadi salah satu pemicu Global Financial Crisis 2007-2008. Bias inilah yang membuat Terry Smith lebih memilih HMSP dan UNVR dibanding BBCA dan BBRI.
  4. Filterisasi yang terlalu ketat di level sektor, apalagi dengan bias pengalaman di develop market, membuat FEET kehilangan opportunity untuk membeli good company, bukan cuma di sektor perbankan, tetapi di sektor-sektor lain yang mereka hindari seperti PTBA dan ARNA misalnya. Cyclicality di tingkat industri terbukti bisa disiasati dengan cara-cara tertentu yang membuat perusahaan seperti PTBA dan ARNA tetap bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Presentasi FEET di RUPS 2018

Secara umum, menurut saya, definisi good company ala Terry Smith terlalu kuantitatif dan kurang komprehensif. Karena itulah, di INVESTABOOK, kami lebih suka menyebutnya sebagai saham compounder, terjemahan bebas dari compounding machine yang menggunakan kerangka kursi 3 kaki dari Chuck Akre.

Jika sudah mengikuti INVESTABOOK sejak lama, kalian pasti tahu mengapa UNVR dan HMSP tidak layak disebut sebagai saham compounder.

2. Membayar di Harga yang Terlalu Mahal

Kinerja FEET medioker bukan cuma karena saham perusahaan yang dipilih tidak benar-benar bagus, tetapi juga karena FEET membayarnya terlalu tinggi (overpaid). Sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh seorang Quality Investor.

Free Cash Flow (FCF) Yield, shortcut valuasi yang suka digunakan oleh Fundsmith, FEET yang hampir selalu lebih rendah dari FEF menunjukkan bahwa mereka membayar saham-saham perusahaan di FEET lebih tinggi dibanding di FEF.

Menurut saya, hal ini terjadi karena Terry Smith dkk mengabaikan dua hal:

  1. Potensi pertumbuhan yang lebih besar di perusahaan emerging market belum tentu terkonversi menjadi potensi value creation yang lebih tinggi. Ada faktor risiko yang juga diperhatikan. Risiko makro ekonomi dan politik di frontier market serta risiko alokasi modal yang buruk dari manajemen “profesional” di perusahaan “cabang” multinasional harusnya membuat Fundsmith meminta standar yield yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, FCF Yield dari Portofolio Compounder yang saya kelola saat ini ada di level 9,3%.
  2. Risiko investasi di emerging market yang lebih tinggi sebenarnya telah tercermin di government bond yield masing-masing negara. Menurut saya, ini yang lebih fatal. Fundsmith harusnya membandingkan opportunity cost dari investasi saham perusahaan di emerging market dengan government bond yield emerging market, bukan UK government bond. Jika Fundsmith menggunakan kerangka tersebut, kecil kemungkinan mereka akan membeli saham HMSP di tahun 2015 dan UNVR di tahun 2017. Karena itulah, meski saya juga berinvestasi di perusahaan US seperti META, saya tetap menggunakan opportunity cost sebagai investor Indonesia.

Karena dua pilar pertama dari strategi investasinya tidak mampu dieksekusi dengan baik, maka FEET juga tidak bisa (baca: tidak boleh) menjalankan pilar ketiganya: do nothing.

Perubahan struktur (Terry Smith hanya sebagai pengawas) dan kebijakan investasi sejak tahun 2019 sebenarnya adalah keputusan yang tepat. Namun, sepertinya keputusan tersebut terlalu terlambat.

Kita Tidak Bisa Perlu Menjadi Terry Smith

Michael Burry, investor yang terkenal karena mendapat keuntungan besar di tengah Global Financial Crisis 2007-2008, mengatakan bahwa semakin dia belajar tentang Warren Buffett, semakin dia sadar bahwa Buffett sulit sekali untuk ditiru.

“If you are going to be a great investor, you have to fit the style to who you are. At one point I recognized that Warren Buffett, though he had every advantage in learning from Ben Graham, did not copy Ben Graham, but rather set out on his own path, and ran money his way, by his own rules.” (Michael Burry)

Jika Terry Smith saja gagal meniru dirinya sendiri di opportunity set yang berbeda, mengapa kita masih mencoba meniru Terry Smith, Warren Buffett, Lo Kheng Hong, atau investor besar lainnya?

Apalagi meniru saya yang bahkan belum 10 tahun di pasar saham.

Kalian harus menemukan gaya investasi kalian sendiri. Sama seperti Intelligent Investing yang menurut saya adalah rumah besar untuk berbagai varian strategi investasi berbasis fundamental, Quality Investing juga kamar yang cukup besar untuk berbagai preferensi sektor dan pilihan saham.

Saya punya posisi signifikan di saham META, perusahaan yang sedang membuat technological breakthrough melalui investasi besar di kecerdasan buatan dan metaverse. Sesuatu yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh Warren Buffett dan Chuck Akre yang menghindari perusahaan yang ter-expose perubahan teknologi yang menurut mereka sulit diprediksi.

Saya juga punya posisi cukup material di BTPS, PTBA, dan ARNA yang beroperasi di sektor yang kurang disukai oleh Terry Smith.

Jurnal investasi ini adalah catatan perjalanan saya dalam menemukan gaya investasi yang cocok untuk saya dengan mengambil pelajaran dari berbagai guru dan referensi.

Semoga kalian juga bisa menemukan gaya investasi dan pilihan saham yang cocok dengan kekhasan pribadi kalian.

Do Nothing

Dalam sebulan terakhir, saya hanya menjalankan pilar ketiga dari Quality Investing: do nothing.

Tidak ada penjualan dan pembelian saham yang saya lakukan.

Meski sedang ada headwind yang sedang menerpa MARK (oversupply sarung tangan) dan PTBA (pensiun dini PLTU), saya memutuskan untuk tetap hold keduanya.

Namun, saya juga perlu menimbang opportunity cost jika harga saham SIDO yang sudah saya incar sejak beberapa bulan lalu turun ke level Rp 550an dan memberi margin of safety 50%.

Meski cukup puas dengan update yang diberikan oleh META di Connect 2022, saya akan tetap menunggu laporan realisasi share buyback di earning call Q3 2022 untuk kembali menambah posisi.

Saya masih yakin, META adalah one of lifetime opportunity yang bisa memberi saya keuntungan 10 bagger dalam 10 tahun ke depan atau setara dengan CAGR 26% yang jika terus berlanjut hingga 20 tahun akan menjadi 100 bagger.

Tentu saja saya bisa salah. Karena itulah, sizing saya di META baru 27% secara cost basis. Ada 69% dana yang saya alokasikan ke 6 saham lain.


DISCLAIMER:

Catatan ini adalah dokumentasi perjalanan dan pembelajaran investasi Alfisyahrin, Founder dan CEO INVESTABOOK. Catatan ini dibuat semata hanya untuk edukasi, bukan merupakan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.

Alfisyahrin

Investor aktif sejak 2018. Suka ngulik data dan mengenali pola sejak kuliah di Sosiologi Universitas Indonesia. Percaya tentang pentingnya kualitas dalam berbagai urusan, termasuk dalam investasi. Sangat tertarik pada titik temu antara keuangan, media, dan teknologi.

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
0 0 votes
Rating Analisis
Subscribe
Notify of
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!