Cara Valuasi Itu Sederhana, Kita yang Bikin Ribet!

Valuasi terkadang dinilai kurang penting dalam berinvestasi padahal punya dampak besar. The Little Book of Valuation: rangkuman materi kuliah Aswath Damodaran.

Valuasi kerap kali dianggap sebagai langkah terakhir dalam menganalisis sebuah bisnis. Tidak jarang pula, valuasi dinilai kurang penting dalam kerangka berinvestasi. Dari pengamatan penulis, salah satu penyebab terjadinya kesenjangan ini adalah rule of thumb bahwa tahap valuasi semaksimal mungkin hanya memakan 10% dari waktu yang anda telah alokasikan untuk analisis saham.

Fenomena yang, menurut penulis, merupakan common misconception yang sudah mendarah daging.

Bagaimana mungkin, tahapan yang sengaja diletakkan di ujung, yang bertugas sebagai palu penghakiman antara keputusan buy or bye ternyata hanya berbobot 10% dari keseluruhan proses analisis?

Jawabannya, mungkin saja.

Karena selama ini miskonsepsi tersebut didukung oleh kesan buruk yang ditimbulkan oleh kata “valuasi” itu sendiri.

Kebanyakan investor menggambarkan valuasi sebagai aktivitas yang menegangkan—sesuatu yang sangat kompleks dan terlalu rumit dibandingkan kemampuan yang mereka miliki. Akibatnya, mereka seringkali merelakan pekerjaan tersebut kepada para profesional, kelompok yang dijuluki sebagai “The Wall Street Oxymorons” oleh Peter Lynch.

Wajar saja, kelompok oxymorons tersebut memang sangat akrab dengan penggunaan model-model valuasi ruwet nan jelimet yang melibatkan rumus-rumus serta keahlian spreadsheet tingkat tinggi, namun minim story apalagi substansi.

Padahal, menurut Aswath Damodaran, pada esensinya valuasi itu sangat sederhana, dan siapapun yang memiliki niat pasti dapat melakukannya. Kitalah yang membuatnya terlihat rumit.

Dalam bukunya The Little Book of Valuation: How to Value a Company, Pick a Stock and Profit (2011), Damodaran yang belakangan dijuluki sebagai dean of valuation, merangkum buah pikirannya selama dua dekade lebih mengajar mata kuliah valuasi sebagai dosen di NYU. Lewat buku ini, beliau mengajak kita untuk menyelami proses berpikir di balik tahapan valuasi.

Harapannya, kita dapat menilai sendiri apakah angka-angka yang di-input oleh para profesional dalam model valuasinya masih masuk akal atau tidak.

Jadi, apa saja konsep-konsep dasar dalam melakukan valuasi yang ternyata bisa memiliki bobot lebih besar dalam proses pengambilan keputusan investasi?

Nilai (Value): Lebih dari Sekedar Harga

Kaidah investasi yang masih berlaku hingga kini adalah: “Seorang investor tidak boleh membeli aset di harga yang lebih tinggi daripada nilai (intrinsik) yang dibawa oleh aset tersebut.”

Jika kamu sepakat dengan kalimat tersebut, maka coba nilailah segala sesuatu sebelum kamu melakukan pembelian.

Tentu masih banyak investor yang menyepelekan kalimat tersebut dan berpikir bahwa NILAI suatu saham tidak jadi masalah selama ada orang lain yang bersedia untuk membeli di HARGA yang lebih tinggi. Keanehan mendarah daging yang dapat terus terlihat hingga hari ini. Masih ingat dengan IPO Bukalapak?

Aset keuangan, seperti saham, tidak bisa dinilai sekadar menggunakan persepsi pribadi layaknya patung atau lukisan. Tidak seperti keduanya, nilai dari aset keuangan tidak ditentukan oleh si pemilik aset.

“The value of a stock market company, is NOT in the eyes of the beholder.”

Kendati demikian, masih sangat banyak investor—terutama mereka yang masih pemula— yang terjebak oleh janji manis “The Greater Fool Theory” setiap kali pasar saham membunyikan lonceng tanda dimulainya permainan.

Lonceng yang dibunyikan bisa muncul dengan berbagai macam bentuk: ada yang berbentuk headline berita positif tetapi menjebak; pola grafik atau candlestick cantik pertanda tren bullish; hingga nilai transaksi yang mendadak naik hingga empat kali lipat dalam dua jam pertama perdagangan.

Bagaimanapun bentuknya, angka-angka yang ditampilkan dalam masing-masing “sinyal” tidak ada hubungannya sama sekali dengan NILAI yang dibawa oleh selembar saham dari sebuah perusahaan yang terdaftar di bursa. Period.

“Mereka tahu HARGA dari segala benda, namun tidak paham sedikitpun mengenai NILAInya.”

Oscar Wilde, ketika mendefiniskan seorang Sinis.

Dua Cara Valuasi

Hingga kini, ada sekian banyak model valuasi yang telah dicipatakan, tetapi jika diperhatikan lebih detail, sebenarnya hanya ada dua cara valuasi: intrinsik dan relatif.

Valuasi intrinsik didasari oleh premis sederhana: Nilai intrinsik sebuah aset ditentukan oleh seluruh ARUS KAS yang harapannya dapat dihasilkan oleh aset tersebut selama masa hidupnya, lalu dikurangi dengan ketidak yakinan kamu terhadap arus kas tersebut.

Ingat tiga kata ini: arus kas, pertumbuhan, dan risiko.

Aset dengan arus kas yang tebal serta risiko minim tentu bernilai lebih dibanding aset dengan arus kas tipis dan juga volatile. Simple math.

Walaupun pada dasarnya seluruh prinsip ditekankan kepada menemukan nilai intrinsik, faktanya sangat banyak aset keuangan yang dinilai menggunakan valuasi relatif, yaitu dengan membandingkan aset tertentu dengan aset lain yang memiliki beberapa kemiripan.

Pendekatan ini belakangan disebut oleh Aswath Damodaran sebagai pricing (menaksir harga) daripada valuing (menilai).

Menggunakan Valuasi Relatif dengan Bijak

Per tanggal 25 November 2021, BBCA diperdagangkan pada 30 kali laba bersihnya, dan BBNI diperdagangkan pada P/E ratio sebesar 20 kali. Di antara dua pilihan tersebut, saham apa yang menyimpan peluang lebih baik? Apakah BBNI lebih murah dibanding BBCA? Atau, apakah mereka perusahaan yang serupa? Valuasi relatif digunakan untuk membandingkan beberapa perusahaan dari cara pasar menilai mereka, dengan maksud untuk menemukan saham salah harga (bargains).

Calon pembeli rumah, akan terlebih dahulu membandingkan harga rumah incarannya dengan rumah lain yang identik serta berada di lingkungan yang sama. Masuk akal, memang.

Namun, cara ini bisa salah dari dua sisi:

1. Apakah rumah yang menjadi pembanding memang terjual pada harga yang ‘wajar’?
2. Apakah kedua rumah yang dibandingkan memang benar-benar ‘bisa dibandingkan’?

MNCN vs. SCMA: “Murah” Belum Tentu Undervalued (INVESTABOOK)

Valuasi relatif adalah pendekatan yang paling disukai karena penggunaannya yang cenderung sederhana. Namun, seperti kata Damodaran, multiples (relative valuation) are easy to use and easy to misuse.

Untuk mengurangi kemungkinan “penyalahgunaan” valuasi relatif, Aswath Damodaran memberikan panduan yang disebut sebagai companion variable untuk menemukan saham yang benar-benar murah.

Companion variable dari P/E ratio adalah expected growth, payout dan risk. P/E yang kelihatan kecil, baru benar-benar murah ketika expected growth suatu saham cukup tinggi, memberikan imbalan yang besar, tetapi risiko yang dibawanya cenderung rendah.

Sementara dalam penggunaan PBV, ROE juga memainkan peran signifikan. Suatu saham wajar dihargai dengan PBV yang rendah jika ROE yang mampu dihasilkannya juga rendah.

Waktu dan Risiko

“Waktu adalah uang!”

Indikator yang paling sederhana, seringkali menjadi yang paling berguna.

Tanpa penjelasan dengan model matematis yang rumit, orang-orang akan setuju dengan ungkapan “uang hari ini, lebih berharga dibandingkan uang di masa depan.” Konsep ini dikenal dengan sebutan present value atau nilai masa kini.

Ada tiga alasan yang medukung ungkapan tersebut:

  1. Orang lebih memilih untuk mengkonsumsi pada hari ini dibandingkan konsumsi masa depan.
  2. Inflasi, secara periodik, mengurangi kemampuan membeli barang. Period.
  3. Uang masa depan yang dijanjikan, bisa jadi tidak benar-benar kelihatan. Ada risiko di balik aktivitas menunggu.

Konsep present value kemudian ditemani dengan konsep discount rate yang dapat merefleksikan risiko suatu aset. Untuk melengkapi present value dan discount rate, dibutuhkan variabel ketiga yang kita sebut growth rate atau pertumbuhan.

Nilai masa kini yang dimiliki oleh suatu aset kita harapkan untuk bertumbuh setiap tahunnya, namun tidak melupakan risiko yang dibawa oleh aset tersebut. Semakin jauh masa proyeksi, semakin tinggi pula risikonya.

Untuk kedua kalinya saya ulang, ingatlah tiga kata ajaib ini:

Arus kas, pertumbuhan, dan risiko.

Sederhana > Kompleksitas

Berbanding terbalik dengan apa yang selama ini dipercayai, valuasi yang baik justru tidak harus melibatkan terlalu banyak formula serta ratusan ribu data kompleks yang saling terikat antar satu dan lainnya.

Model valuasi yang semakin kompleks sebenarnya merupakan produk turunan dari hebatnya perkembangan teknologi dalam beberapa tahun terakhir.

Formula yang rumit merupakan konsekuensi dari canggihnya mesin komputer yang berhasil diciptakan, serta semakin mudah untuk diakses oleh kalangan awam. Ratusan ribu raw data yang di-input ke dalam model valuasi juga merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang menjadikan aktivitas penyimpanan data menjadi jauh lebih mudah.

Informasi yang dimiliki sangat melimpah, sayang jika tidak dimanfaatkan, bukan?

Belum tentu.

Pertanyaan paling mendasar dalam melakukan valuasi adalah seberapa banyak detail yang ingin diikutkan dalam tahapannya?

Semakin detail suatu model, semakin besar pula ruang untuk memasukkan informasi spesifik agar dapat menghasilkan perkiraan yang lebih tajam. Namun semakin tinggi pula potensi untuk melakukan kesalahan yang mengakibatkan formula matematisnya makin terdeviasi.

Dengan begitu, mari kita tetapkan sebuah prinsip dalam melakukan valuasi: Ketika melakukan valuasi, gunakanlah model paling sederhana. Jika kamu bisa melakukan valuasi dengan tiga masukan, jangan paksa menggunakan lima data. Jika bisa mengestimasi pertumbuhan perusahaan dalam tiga tahun ke depan, maka melakukan prediksi untuk 10 tahun ke depan sama saja dengan mencari masalah.

Model valuasi dapat disederhanakan. Kebenaran dari valuasi yang dilakukan tidak ditentukan oleh seberapa rumit model valuasi yang digunakan, namun seberapa tepat asumsi pertumbuhan dan story bisnis yang dikembangkan oleh imajinasi sang analis.

Pada akhirnya, jangan biarkan para analis profesional mengintimidasi kita. Para oxymorons, seringkali menciptakan model valuasi dengan bermodalkan data-data yang sama dengan yang bisa kita akses.

Proses valuasi yang hanya butuh 10% dari total waktu analisis pun, sebenarnya hanya lanjutan dari proses analisis bisnis, untuk mendapatkan estimasi pertumbuhan serta risiko yang dibawa oleh suatu aset.

Jangan coba memisahkan mereka!


Mau dapet panduan investasi saham untuk pemula, watchlist saham potensial, dan teman diskusi sefrekuensi? Yuk langganan Paket Belajar INVESTABOOK. Dapatkan potongan harga 15% untuk pembelian pertama dengan membuat akun.

Fachry Nuzuli

Investor Saham & Anggota Quality Investor Club (QIC)

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
0 0 votes
Rating Analisis
Subscribe
Notify of

Insight Menarik Lainnya

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!