The Intelligent Investor Akan Selalu Relevan

The Intelligent Investor adalah buku legendaris yang telah mengubah dunia investasi saham. Menghadirkan filosofi Value Investing yang tak 'kan mati dan akan selalu relevan.

The Intelligent Investor adalah magnum opus dari seorang Superinvestor bernama Benjamin Graham. Buku The Intelligent Investor sendiri merupakan lanjutan dari buku karangannya (bersama David L. Dodd) yang berjudul Security Analysis yang bahasanya terkesan lebih berat & ilmiah. Gagasan-gagasan luar biasa dari buku Security Analysis, di-branding ulang dan dipopulerkan dengan bahasa lebih sederhana dalam buku The Intelligent Investor.

Siapa sebenarnya Benjamin Graham?

Graham adalah seorang pemikir besar asal Amerika. Untuk mengukur dampaknya terhadap dunia investasi saham, tidak bisa hanya dengan menghitung return yang dihasilkan oleh open-end mutual fund miliknya saja. Sebelum masa Graham, para manajer investasi berperilaku seperti komunitas abad pertengahan, dipandu oleh takhayul, tebak-tebakan, dan ritual misterius. Kehadiran Graham dengan buku Security Analysis-lah yang mengubah lingkaran pengap tersebut menjadi sebuah profesi modern.

Graham melalui ajaran-ajarannya dari buku sukses memperbaiki cara berpikir investor, bahkan hingga kini. Di saat para profesional memberikan kesan bahwa investasi saham adalah pekerjaan yang sulit, justru Graham memberikan definisi bahwa investasi tidak butuh IQ setinggi langit.

Seluruh kerangka besar yang terfokus ini disulap menjadi satu ajaran atau filosofi investasi bernama Value Investing.

Pada dasarnya value investing adalah aktivitas mencari (dan membeli) suatu aset yang sedang diperdagangkan di bawah nilai intrinsiknya.

Peninggalan terpenting dari buku The Intelligent Investor bukanlah formula-formula yang kaku dan terkesan usang. Seperti yang sudah kami bahas sebelumnya di ulasan The Five Rules for Succesful Stock Investing, peninggalan terpenting yang masih valid dari buku ini justru menjadi yang paling sering di-overlooked, antara lain:

  • Saham adalah kepemilikan bisnis aktual dengan NILAI INTRINSIK yang melekat di dalamnya.
  • Pasar layaknya pendulum yang selalu mengayun antara optimisme temporer dan pesimisme tak berdasar. Ingat prinsip Mr. Market?
  • Satu-satunya risiko yang tidak bisa dihilangkan adalah risiko melakukan kesalahan. Karena itu, investor harus menggunakan MARGIN OF SAFETY untuk menjaganya dari membayar terlalu mahal.

Tiga prinsip ini adalah petuah tak ternilai yang akan melindungi seorang investor dari bertindak tidak rasional. Nanti akan dibahas lebih dalam lagi, namun sebelum melangkah lebih jauh ke bagian akhir artikel, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab untuk menyamakan persepsi di antara kita:

Benarkah bahwa “Value Investing sudah mati”?

VALUE INVESTING IS DEAD.

Jargon yang, menurut CNBC baru muncul akhir-akhir ini, faktanya bukanlah kalimat yang benar-benar baru. Warren Buffett, salah satu murid terbaik Graham, sudah pernah ‘menjawab’ kegelisahan ini dalam sebuah diskusi di Columbia University yang dilaksanakan pada tahun 1984—untuk memperingati 50 tahun terbitnya buku Security Analysis.

Jika kamu baca artikel berita tersebut, maka kamu akan mendapati bahwa mereka menganggap kesuksesan suatu pilihan investasi adalah ketika saham-saham yang dipilih mendapat apresiasi harga ratusan persen. Seperti Bank Jago (ARTO) yang naik 288%, PT Matahari Putra Prima (MPPA) yang mengalami kenaikan 876%, atau ZBRA yang terbang hingga 700%. Pelanggaran pertama: kesuksesan investasi tidak bisa dinilai dari pergerakan harga saham dalam jangka pendek. Dalam kebanyakan kasus, hype justru dapat bertahan hingga 1 atau bahkan 2 tahun. Satu hal yang pasti, jika harga saham meroket signifikan dalam jangka waktu <3 tahun, artinya Mr. Market sedang sangat optimis.

Lalu ketiga saham tersebut dianggap kontradiktif dengan saham-saham pilihan value investor karena sedari awal sudah dihargai dengan market multiple yang tinggi. Sebelumnya ARTO sudah dihargai PBV 25 sementara MPPA sudah dihargai pada PBV 42. Pelanggaran kedua: saham adalah kepemilikan bisnis, dan setiap bisnis memiliki nilai instrinsik (intrinsic value). PBV tidak pernah menjelaskan nilai intrinsik, faktor pembentuk PBV adalah Price dan Equity. Ada alasan yang jelas mengapa strategi ini dinamakan value investing, bukan price investing.

Jadi, apakah value investing masih relevan? Tentu saja, jika esensinya dipahami seutuhnya, tidak setengah-setengah.

Karena itu, kami akan menuntunmu untuk kembali me-review poin-poin penting dari sebuah buku yang sudah terkubur dalam lemari kebanyakan orang. Buku berisi gems yang masih akan terus relevan, tidak peduli kapan buku ini kembali dibaca ulang.

Kami sangat menyarankan agar artikel ini dibaca sampai habis, karena ada cerita yang sangat mind-blowing yang sudah kami siapkan di akhir.

Apa itu “Investor Pintar”?

“Investor Pintar” adalah padanan bahasa Indonesia untuk “The Intelligent Investor.”

Sudah selayaknya timbul satu pertanyaan di benak ketika pertama kali membaca judul buku ini.

Apa itu Investor Pintar?

Graham memaparkan dengan jelas bahwa kepintaran berinvestasi tidak ada hubungannya dengan IQ. Investor pintar adalah mereka yang memiliki kesabaran, kedisiplinan, dan antusiasme untuk belajar. Dengan kata lain, kemampuan untuk mengekang emosi sesaat dan berpikir untuk kebaikan diri sendiri. Pintar, dalam berinvestasi, lebih merujuk kepada karakter, bukan otak.

Ada banyak sekali bukti bahwa level IQ tidak berpengaruh terhadap kinerja investasi seseorang. Salah satu kisah paling memorable adalah “kegagalan” Isaac Newton pada South Sea Bubble tahun 1700-an.

Kala itu, Newton, seorang ahli fisika dan matematika paling berpengaruh tidak berdaya dihadapan Mr. Market ketika ia harus mengalami kerugian £20.000 akibat FOMO di saham South Sea Company, saham yang sempat memberikannya keuntungan hingga £7.000. Bahkan manusia terpintar pada masa itu sekalipun harus bertekuk lutut di hadapan Mr. Market.

Newton terkenal dengan omelannya, “Aku bisa menghitung gerakan benda-benda di langit, tapi tidak bisa mengkalkulasi kegilaan orang di pasar saham.”

Singkat cerita, jika kita memakai kerangka definisi dari Benjamin Graham, Sir Isaac Newton sekalipun bukanlah seorang yang “pintar”—setidaknya dalam investasi saham.

Apakah kamu sudah cukup “pintar” untuk bertindak rasional di pasar saham?

Investasi vs Spekulasi

“Investasi adalah tindakan yang, melalui analisis menyeluruh, menjanjikan keamanan dana pokok dan memberikan return (keuntungan) memadai. Tindakan yang tidak memenuhi persyaratan ini adalah tindakan spekulasi.”

Benjamin Graham

Menurut Graham, investasi terdiri atas tiga elemen:

  • Analisis menyeluruh;
  • Melindungi diri dari kerugian;
  • Tingkat pengembalian memadai (secukupnya).

Investor memperkirakan nilai wajar sebuah saham berdasarkan kinerja bisnis dibaliknya. Jangan pernah terpaku dengan pergerakan “harga pasar,” selama harga tersebut tidak datang dengan kesempatan untuk membeli (nyerok).

Kebalikan dari investor, spekulator adalah mereka yang bertaruh bahwa harga saham akan naik karena di kemudian hari pasti ada orang lain yang bersedia membelinya di harga yang lebih mahal. Walaupun terkesan bodoh, Graham juga menegaskan bahwa ada yang namanya spekulasi pintar (intelligent speculation), layaknya investasi pintar (intelligent investing).

Namun sayangnya, banyak situasi yang dapat menjadikan spekulasi tersebut bukan tindakan pintar. Misalnya ketika: (1) berspekulasi namun merasa sedang investasi; (2) spekulasi tanpa AI yang memadai; (3) bertaruh melebihi risk tolerance.

Secara umum, keberadaan para spekulator akan selalu menguntungkan banyak pihak. Tanpa spekulasi, perusahaan yang belum teruji seperti Bukalapak (BUKA) akan kesulitan memperoleh dana untuk ekspansi. IPO via skema pooling pada bulan Juli lalu, memberikan kesempatan bagi BUKA untuk memperoleh pertumbuhan di masa depan.

Perlu disadari, terkadang investor tidak sadar bahwa dirinya sedang berspekulasi. Ciri-cirinya menurut Graham seperti:

  1. Turnaround trap (Selektivitas Jangka Pendek): Maksudnya membeli saham yang akan mengalami kenaikan laba dalam waktu dekat. Contohnya seperti mereka yang berinvestasi ke saham pertambangan batubara karena harga batubara acuan yang sedang naik.
  2. Quality Trap (Selektivitas Jangka Panjang): Percaya begitu saja bahwa performa masa lalu pasti akan terjadi lagi di masa datang. Contohnya terlalu yakin dengan pertumbuhan UNVR yang ternyata gagal diteruskan.
  3. Growth Trap (Selektivitas Jangka Panjang): Over-optimisme terhadap perusahaan yang sama sekali belum memberikan pembuktian, namun dikatakan mampu bertumbuh besar di masa depan. Seperti growth story ANTM, ARTO, BRIS, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya kesalahan gabungan pada ketiga kategori di atas adalah, “semakin banyak orang yang percaya pada story tersebut, semakin berisiko pula saham yang dimaksud.”

Banyaknya investor yang percaya dengan growth story ARTO, mengakibatkan harga sahamnya terus terapresiasi dalam setahun kebelakang. Misalkan pada akhirnya laba bersih ARTO berhasil tumbuh ratusan persen, apakah harga sahamnya hari ini masih memberikan peluang? Apakah investor yang membeli ARTO di harga Rp 16.000,- per lembar akan mendapatkan reward yang sama dengan mereka yang memiliki ARTO di harga Rp 8000,-?

Sehingga, selain harus memiliki kerangka investasi yang bagus dan menjanjikan, seorang investor juga harus bisa menjauh dari pasar, serta menggunakan kerangka investasi yang tidak populer di bursa. Nasib baik, gaya investasi Intelligent Investor akan selalu menjadi minoritas. Di masa ini dan di masa yang akan datang, bursa akan selalu dipenuhi oleh mereka yang mencari cuan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Reversion to the Mean

“Cepat atau lambat, semua pasar bullish akan berakir buruk.” Coba ucapkan statement tersebut kepada mayoritas ‘ahli di Wall Street’ pada akhir dekade 1990-an. Mungkin mereka bakal melihatmu, tertawa sebentar, lalu kembali melanjutkan menghitung uang milik nasabah yang berjumlah miliaran dollar.

Pernahkah kamu mendengar sejarah dot-com bubble? Masa ketika para ahli strategi & manajer portofolio harus menelan pil pahit atas kepercayaan berlebihan terhadap masa depan pasar saham.

Saat itu, tahun 1999 dan 2000, omong kosong tentang pasar bullish terdengar dimana-mana:

  • Kevin Landis, Desember 1999: “apakah saham-saham telekomunikasi saat ini sudah dinilai terlalu tinggi? Lihat total pertumbuhan, nilai absolut pertumbuhan. Besar sekali.”
  • Robert Froelich, Januari 2000: “Ini adalah orde baru. Kita melihat orang-orang membuang saham perusahaan bagus karena harga saham sudah terlalu tinggi. ITULAH KESALAHAN PALING BURUK YANG DIBUAT OLEH INVESTOR.”
  • Jeffrey Applegate, April 2000: “Apakah hari ini lebih berisiko daripada dua tahun lalu hanya karena harga-harga naik terlalu tinggi? Jawabannya adalah tidak.”

Sayangnya jawaban yang benar adalah ya. Sekarang dan selamanya.

Tiga statement konyol dari “para ahli” tersebut berbalik menyerang mereka sendiri. Saham favorit Landis berakhir terjun bebas dua tahun kemudian. Dengan pengurangan nilai ‘terbaik’ di angka 67%, dan terburuk di angka 99%. Begitu juga dengan saham favorit Froelich yang jatuh lebih dari 70%, dan terjun bebasnya indeks NASDAQ dari level 4.446 ke 1.300 dalam upaya menyadarkan Applegate untuk tidak terlalu percaya diri.

kronologi dot-com bubble
Kronologi dot-com bubble

Ekonomi yang berada pada fase booming memang selalu memberikan harapan yang besar kepada para investor. Namun bukan berarti saham perusahaan yang sedang bertumbuh layak dihargai berapa pun. Laba yang bisa diraup perusahaan ada batasnya, maka harga yang dibayar oleh investor tentu juga ada batasnya. Ketika harga saham sudah naik terlalu tinggi, maka yang tersisa hanyalah ruang untuk jatuh.

Begitu juga dengan profitabilitas perusahaan, pertumbuhan 20% per tahun tidak mungkin bisa selamanya diraih oleh sebuah bisnis. Akan ada masa dimana pertumbuhannya mengalami perlambatan, hingga menjadi little to no growth.

Mean Reversion itu pasti. Tinggal waktunya saja yang kapan; dan tentu saja, mean-nya di angka berapa?

Fluktuasi Pasar adalah Fitur, Bukan Bug

Di dalam dunia perdagangan dimana harga aset ditentukan oleh supply & demand, fluktuasi harga adalah hal yang tidak bisa dihindari. Mulai dari harga saham hingga harga jeruk di pasar, semua di atur oleh mekanisme permintaan & penawaran.

Suatu waktu, gadget yang kamu beli seharga Rp 15 juta bisa saja ditawar seharga Rp 25 juta oleh seseorang. Namun keeseokan harinya, bisa saja ada orang lain yang menawar Rp 8 juta kepadamu. Apakah kamu harus mendengarkan mereka berdua? Apakah ketika ditawar Rp 8 juta, kamu harus segera melepas gadget milikmu, karena takut harganya bisa turun ke Rp 6 juta keesokan harinya? Tidak masuk akal, bukan?

Anehnya, fenomena seperti ini terjadi berulang-ulang di pasar, tak terkecuali pasar saham. Perbedaan persepsi harga adalah fitur yang disediakan oleh mekanisme pasar, bukan hal yang menjauhkanmu dari potensi keuntungan. Kamu harus memanfaatkan kondisi, dan segera pasang posisi beli ketika gadget yang menurutmu berharga Rp 15 juta sedang diobral di harga Rp 8 juta. Bukan sebaliknya malah menjual gadget milikmu di harga Rp 8 juta juga.

Memilih untuk menjadi Investor Pintar berarti memutuskan untuk menerima bahwa harga saham, tidak peduli seberapa bagus fundamentalnya, akan selalu berfluktuasi. Investor hanya boleh terpengaruh oleh pergerakan harga saham, jika suatu waktu, harga saham yang ditawarkan oleh pasar sudah turun ke level yang menarik. Jadikanlah Mr. Market sebagai pelayan harianmu.

Investor & spekulator melihat serta mengetahui harga saham harian, namun bertindak berlawanan terhadap ‘sinyal’ yang diberikan.

Menurut Graham, disinilah letak ketidak setujuannya terhadap metode spekulasi pasar. Menurutnya, memang banyak orang cerdas yang mendedikasikan diri pada bidang ini, dan sebagian dari mereka bisa kaya. Tetapi, janggal rasanya bila berpikiran bahwa semua orang bisa memperoleh hasil yang sama.

Sebab, siapa yang akan membeli saham yang kamu jual di batas take profit jika semua orang juga jualan?

Tak ada alasan untuk berasumsi bahwa investor tertentu bisa mendapatkan hasil yang lebih baik daripada pasar jika pada saat yang sama dia sendiri bertindak seperti pasar.

“Tidak semua investor bisa mengalahkan market. Karena secara kolektif, mereka lah market.”

Howard Marks

Ingat, menjauhlah dari market agar kamu selalu memiliki keunggulan dibanding market.

Investor yang membiarkan dirinya terbawa arus market dan cemas dengan penurunan harga pasar berarti telah mengubah keunggulannya menjadi kelemahan. Akan lebih baik bila sahamnya tidak memiliki harga pasar sama sekali agar dirinya terhindar dari kegelisahan akibat salah perhitungan yang dilakukan oleh orang lain.

Margin of Safety

Margin of safety berperan sebagai bantalan atas kesalahan-kesalahan yang mungkin dibuat oleh seorang investor. Menghitungnya tidak sulit, tidak pula ada patokan khusus. Margin of safety tidak menjelaskan berapa potensi keuntungan atas suatu saham, tapi memberikan rasa aman karena sudah berinvestasi dengan perlindungan risiko yang cukup.

Kamu tidak boleh membangun sebuah perahu dengan kapasitas 10 orang jika kamu tahu bahwa setiap hari perahu tersebut akan digunakan oleh 10 orang. Untuk mengangkut 10 orang dengan nyaman, setidaknya perahu tersebut harus berkapasitas 14 orang. Terapkan margin of safety senilai 30%.

Memang dengan kapasitas maksimal 14 orang sekalipun, tetap ada kemungkinan bahwa perahu tersebut mampu mengangkut total 20 orang. Tapi apakah kamu masih percaya dengan ketahanan perahu tersebut? Bukankah lebih baik pindah ke perahu lain dengan ruang lebih lebar?

Begitu juga dalam berinvestasi, kamu tidak boleh membeli saham yang menurutmu bernilai Rp 2.000,-/lembar pada harga Rp 1.900,-/lembar. Bisa saja kamu melakukan kesalahan kecil saat menghitung nilai intrinsik. MoS hanya 5% tidak kelihatan seperti bantal yang cukup empuk, ‘kan? Mengapa tidak menetapkan MoS lebih lebar? Atau sekalian pindah saja ke saham lain.

Perlu diketahui, konsep margin of safety ada karena Graham tidak percaya dengan risiko saham yang didefinisikan oleh akademisi. Akademisi menganggap bahwa “saham adalah instrumen investasi yang dapat memberikan return paling besar, sehingga risikonya juga lebih besar.”

Menurut Graham, “kamu tidak harus mengambil risiko lebih banyak untuk mendapatkan return lebih besar.”

Coba bayangkan, kamu membayar amplop berisi Rp 100.000,- seharga Rp 60.000,- maka kamu mendapatkan potensi keuntungan yang cukup besar sekaligus risiko yang kecil. Kamu menerapkan margin of safety 40% dengan upside potential 67%.

Ternyata keesokan harinya, kamu bisa membeli amplop yang sama berisi Rp 100.000,- seharga Rp 40.000,- berarti kali ini kamu mendapatkan upside potential sebesar 150% dengan MoS yang juga lebih besar di angka 60%. Kamu telah mendapatkan potensi keuntungan yang jauh lebih besar bersamaan dengan risiko yang semakin kecil!

Bagaimana mungkin ada akademisi yang berpikir bahwa kesempatan di hari kedua lebih beresiko daripada kesempatan di hari pertama, hanya karena potensi keuntungannya menjadi lebih besar?

Dengan menerapkan MoS, kamu sekaligus menerapkan satu mental model penting dalam aktivitas investasi jangka panjang: Risk ≠ Reward.

Dalam berinvestasi, kita berfokus pada pencarian reward besar dengan risiko yang paling kecil. Untuk mengurangi risiko, salah satu cara adalah dengan menambah kebutuhan margin of safety.

Epilog yang Diabaikan: Graham the Quality-Value Investor

“Jika anda mengikuti prinsip-prinsip perilaku dan bisnis yang dianjurkan Graham —serta memberi perhatian khusus pada saran tak ternilai di Bab 8 dan Bab 20— anda tak akan memperoleh hasil buruk dari investasi anda.”

Warren Buffett

Kalimat tersebut disampaikan oleh Buffett pada bagian pengantar The Intelligent Investor edisi keempat. Buffett benar, saran-saran yang ada di Bab 8 (Investor & fluktuasi pasar) dan Bab 20 (Margin of Safety) memang tak ternilai. Tidak diragukan lagi, untuk menjadi investor yang baik, pesan-pesan yang disampaikan Graham pada dua Bab tersebut layak untuk dijadikan mental model dalam berinvestasi.

Namun ada satu Bab pada buku The Intelligent Investor yang sepertinya terabaikan. Bab tersebut adalah Epilog.

“Epilog adalah bagian penutup pada karya sastra, yang fungsinya menyampaikan inti sari cerita atau menafsirkan maksud karya itu oleh seorang aktor pada akhir cerita.”

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut INVESTABOOK, epilog ini justru adalah bagian terpenting yang harus diberi perhatian lebih jika ingin meneladani filosofi investasi ala Benjamin Graham.

Epilog dalam buku The Intelligent Investor bercerita tentang sepasang mitra (Benjamin Graham & Jerome Newman) yang mencurahkan sebagian besar hidup mereka untuk menangani uang mereka dan uang orang lain di Wall Street.

“Sejumlah pengalaman pahit memberikan mereka pelajaran berharga bahwa berhati-hati lebih baik daripada berusaha untuk mengeruk semua uang yang ada di dunia.” Dengan kata lain, utamakan untuk menghindari kebodohan daripada berusaha mendapatkan return paling tinggi. Dalam dunianya Charlie Munger, mental model ini dinamakan Inversion.

“Mereka menghindari segala yang tampak terlalu mahal dan lekas-lekas melepas sekuritas yang sudah naik ke level yang tidak menarik lagi.Value investing klasik, peletakan dasar value investing pertama yang belakangan diasosiasikan kepada saham-saham bertipe asset play atau value factor. Jika digambarkan dalam bentuk grafik, akan menjadi seperti berikut:

ilustrasi value investing

Metode investasi dengan framework seperti ini telah menguntungkan Graham-Newman Investment Partnership dengan return CAGR 20% per tahun selama 20 tahun.

Belakangan dikatakan jumlahnya ‘hanya’ 14,7% per tahun setelah dikurangi fee manajemen. Itupun sudah mengalahkan pasar dengan return 12,2% per tahun. Uang USD 1000 yang diinvestasikan di Graham-Newman akan menjadi USD 15.533 USD (1.453%), sementara return market hanya akan menjadi USD 9.997 (900%).

Namun pada tahun 1948, tidak lama setelah edisi pertama The Intelligent Investor, sebuah peluang yang langka menghampiri funds Graham-Newman: untuk membeli 50% kepemilikan sebuah perusahaan yang sedang tumbuh.

Kala itu, industri perusahaan tersebut sedang tidak menarik perhatian Wall Street, bahkan beberapa brokerage firm menolak untuk membuat kesepakatan. Di sisi lain, Graham-Newman ternyata sangat tertarik dengan potensi masa depan dari perusahaan yang sedang tumbuh ini.

Cerita tentang GEICO

Perusahaan tersebut adalah Government Employees Insurance Co., atau GEICO. Sebuah perusahaan asuransi otomotif yang saat itu belum terkemuka. Untuk mengakuisisi 50% saham GEICO, Graham-Newman harus merogoh kocek sebesar $712.500, setara dengan 20% porsi dana kelolaan mereka. Sebuah “penyimpangan” atas kebijakan diversifikasi portofolio dengan batas maksimal 5% untuk setiap saham.

Lalu keduanya memandang GEICO semacam “perusahaan keluarga”, bahkan Graham sempat menjadi anggota dewan komisaris GEICO selama bertahun-tahun. Graham “terpaksa” melakukan “penyimpangan selanjutnya” dengan terus menahan kepemilikan atas GEICO walaupun valuasi sahamnya sudah naik sangat tinggi berdasarkan standar investasi Graham-Newman sendiri.

Ironisnya, laba agregat yang terkumpul dari keputusan investasi di GEICO tumbuh mengalahkan total laba investasi lain yang dijalankan selama 20 tahun di berbagai bidang, sektor, yang melibatkan banyak investigasi, perenungan tiada henti, dan keputusan individual yang tiada terkira jumlahnya.

Konon nilai investasi Graham-Newman di GEICO menurut Graham tumbuh hingga 200 kali lipat. Ya, 200-baggers!

Menurut beberapa pihak yang mencoba menghitung ulang, keuntungan total Graham dan para mitra bahkan sebenarnya bisa mencapai 500 baggers!

Karena masalah teknis legal, Graham dan Newman diminta untuk melakukan spin-off dengan cara mendistribusikan saham GEICO kepada para pemegang saham Graham-Newman Investmen Partnership. Investor yang berhak atas 100 saham Graham-Newman pada 1948 (bernilai $11.413) dan terus mempertahankan distribusi GEICO akan memiliki total kekayaan $1,66 juta pada tahun 1972.

Dalam putaran nasib yang lucu, murid terbesar Graham, Warren Buffett, pernah “tertampar” oleh kebijakan investasinya sendiri di perusahaan yang sama, GEICO.

Kala itu, tahun 1951, Buffett (21 tahun) yang masih seorang mahasiswa melakukan scuttlebutt ke kantor GEICO. Buffett disambut baik oleh Lorimer Davidson (soon to be CEO) yang kemudian menjelaskan keunggulan kompetitif GEICO dibandingkan perusahaan asuransi lain. Percakapan ini pula yang membuat Buffett memutuskan untuk meletakkan setengah total kekayaannya pada saat itu ke saham GEICO. Saat itu, Buffett sampai membuat artikel dengan judul “Security I Like Best.”

Setahun kemudian, nilai investasi Buffett di saham GEICO sudah floating profit 48% yang sayangnya segera direalisasikan oleh Buffett. Saat itu, Buffett menemukan perusahaan asuransi lain yang dihargai ‘murah’ pada PE 1x. Pilihan tersebutlah yang pada akhirnya “menampar” Buffett setelah melihat bahwa GEICO terus tumbuh ratusan kali lipat hingga 20 tahun kedepan.

Putaran nasib yang lucu itu pula yang akhirnya mengembalikan GEICO ke pelukan Buffett pada tahun 1976, 24 tahun kemudian, ketika GEICO berada di ambang kebangkrutan hingga harga sahamnya turun 97%. Pun di ambang kebangkrutan tersebut, untuk mengakuisisi 33% kepemilikan GEICO dari tahun 1976 hingga 1980, Berkshire Hathaway harus berangsur membayar hingga total USD 47 juta.

Lebih menarik, setelah melewati berbagai aksi korporasi share buyback, kepemilikan Berkshire di GEICO meningkat hingga 50%. Pada tahun 1966, Berkshire akhirnya menambah kepemilikan 50% lagi di GEICO, menjadikannya pemilik tunggal dengan kepemilikan 100%. Menariknya, untuk mengakuisisi sisa 50% saham tersebut, Berkshire harus membayar sekitar USD 2,3 miliar!

Hingga saat ini, GEICO masih menjadi salah satu perusahaan asuransi terbaik di Amerika Serikat dengan market share sekitar 14%, dengan dana premi mengambang (float) sebesar USD 22 miliar. Berapa baggers? Entahlah, sepertinya Buffett juga tidak tertarik untuk mengambil screenshot atas floating profit-nya.

Namun yang lebih penting, sebelum Buffett merasakan kehebatan compounding dari saham GEICO, Ben Graham sudah lebih dahulu memberikan contohnya. Pada saat itu, Graham lah yang lebih mirip “Quality Investor” yang tetap menyimpan saham dengan potensi compounding dalam jangka panjang.

Jika Benjamin Graham masih hidup, bisa jadi mendiang malah menuliskan sebuah buku berjudul “Thousands Baggers” yang menjelaskan pengalamannya berinvestasi di sebuah perusahaan yang terus menerus compounding bahkan setelah puluhan tahun beroperasi. Mungkin buku tersebut akan mengalahkan kesakralan The Intelligent Investor yang kita kenal selama ini.

Sayangnya, kisah nyata tersebut seringkali diabaikan oleh para pelaku pasar saham dewasa ini. Mungkin karena kisah ini terlalu manis dan lebih mirip dongeng sebelum tidur daripada sejarah faktual kesuksesan investasi seorang Father of Value Investing.

Sejak kapan value investing dipahami sebagai strategi membeli saham dengan market multiple rendah (PE, PBV, EV/EBITDA, dsb)? Toh Bapak Value Investing saja sudah lebih dulu menerapkan strategi compounding semasa hidupnya.

Dari awal, esensi value investing adalah membayar lebih murah (price) dibandingkan nilai (value) yang bisa diberikannya. Value investing berguna untuk segala aspek kehidupan, tidak cuma di dunia investasi saham saja.

Dengan memutuskan untuk membeli gadget keluaran Apple, kamu mungkin akan menjumpai ketakutan ‘membayar terlalu mahal’. Namun bila perangkat Apple tersebut dapat memberikan value lebih daripada harga belinya, maka reason to buy-nya masih masuk akal, bukan?

Kerangka berpikir seperti itu akan menghindarkanmu dari gadget murah yang memang value-nya juga tidak seberapa. Sama seperti perjalanan investasimu ketika memilih saham. Kerangka value investing dapat menghindarkanmu dari pemilihan saham yang dihargai murah (price), karena memang bisnisnya (value-nya) murahan.

Apabila saham pilihanmu mampu untuk terus compounding, maka risiko membayar ‘agak mahal’ (yang sudah direpresentasikan dalam Margin of Safety) tentu dapat terjustifikasi oleh kualitas saham tersebut.

Meneladani Graham bukan berarti mentah-mentah mengikuti formula-formula ajaibnya, tidak pula dengan rumus valuasi yang ditinggalkannya (*uhuk* Graham Number). Graham adalah sosok pemikir besar. Semasa hidupnya, Graham terus melakukan evaluasi atas rumus-rumus yang dikeluarkannya, untuk mengetahui relevansinya pada masa kini.

“Graham terus menguji kembali dan mengutak-atik formulanya. Jadi siapapun yang mengikuti formula tersebut secara membebek sebenarnya tidak melakukan apa yang akan dilakukan Graham jika dirinya masih hidup hari ini.”

Jason Zweig – Jurnalis dan Kolumnis Keuangan

Jadi, masihkah kamu menganggap dirimu seorang value investor padahal terlalu kaku dalam menggunakan PE & PBV? Apakah menurutmu value investing adalah strategi investasi yang tidak perlu memahami cerita bisnis dibalik sebuah lembar saham? Bukankah pernyataan tersebut terdengar sangat mendiskreditkan kemampuan analisis seorang Benjamin Graham?

Sudah paham ‘kan esensi Value Investing ala Benjamin Graham yang dibeberkannya dalam buku The Intelligent Investor? Ternyata gaya investasi yang tertera dalam buku The Intelligent Investor memang masih relevan hingga kini.

Mulai hari ini, jika ada yang mengatakan “Value Investing sudah mati” kepadamu, sudah tahu ‘kan harus bagaimana? Ya, cukup senyum, pergi, dan lupakan.

Value Investing tidak akan pernah mati jika dipahami sampai ke esensi intinya. Untuk itu, mari kita sama-sama mengirim doa untuk seorang guru yang ajarannya masih relevan, bahkan 45 tahun setelah dirinya tiada.

Rest in Peace, Guru.


Mau dapet panduan investasi saham untuk pemula, watchlist saham potensial, dan teman diskusi sefrekuensi? Yuk langganan Paket Belajar INVESTABOOK. Dapatkan potongan harga 15% untuk pembelian pertama dengan membuat akun.

Fachry Nuzuli

Investor Saham & Anggota Quality Investor Club (QIC)

Bagikan dan Diskusikan

Telegram
WhatsApp
Twitter
Facebook
0 0 votes
Rating Analisis
Subscribe
Notify of

Insight Menarik Lainnya

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

Rekap Laporan Keuangan Sudah Terkirim!

Silahkan cek email kamu!