Salah satu hal yang paling memikat dari Quality Investing untuk saya dan yang juga saya endorse ke audience INVESTABOOK adalah konservatismenya. Seorang quality investor bukan cuma melindungi diri dari risiko membayar aset terlalu mahal (premium risk) dengan valuation margin of safety, tetapi juga melindungi diri dari risiko makro ekonomi dan persaingan bisnis dengan mencari bisnis yang memiliki economic moat.
Pat Dorsey yang menyusun kerangka analisis economic moat saat menjadi Direktur Riset Morningstar mengatakan bahwa economic moat adalah operational margin of safety. Dengan operational margin of safety, jarak antara skenario baik dan skenario buruk di masa depan jadi lebih sempit. Business risk lebih rendah. Kemungkinan kita salah melakukan valuasi pun jadi lebih rendah.
Singkatnya, berinvestasi dengan strategi quality investing yang diringkas dengan sangat baik oleh Terry Smith dalam 3 frasa (Buy Good Companies, Don’t Overpay, & Do Nothing) akan membuat kita bisa tidur lebih nyenyak.
Bagi investor individu yang masih dalam proses capital building seperti saya, strategi quality investing yang berfokus mencari saham compounder yang bisa terus tumbuh intrinsic value-nya juga bisa membuat saya bisa melakukan averaging up (tambah beli di harga yang lebih tinggi) di harga yang tetap murah.
Namun, perjalanan saya selama 3,5 tahun menerapkan quality investing mengajarkan saya bahwa saham compounder dan non-compounder itu ternyata bukan kategori yang hitam putih, tetapi lebih seperti gradasi dalam warna abu-abu.
Dari 11 saham yang ada di portofolio saya saat ini, bisa dibilang hanya 1 saham yang kinerjanya mengikuti gambaran ideal saham compounder, laba dan harga sahamnya tumbuh seiring berjalan ke kanan atas.
Saya belajar bahwa seorang quality investor harus tetap mau berhadapan dengan volatility, bukan cuma dalam harga saham, tetapi juga kinerja bisnis.
“Loh, bukannya saham compounder harusnya bisnisnya defensive dan non-cyclical, Mas?”
“Jadi, apa bedanya dong playbook quality investing yang hold saham selama mungkin dengan deep value yang beli murah jual mahal?”
Oke, mari kita bahas!
Mau baca Insight tentang Portofolio Founder INVESTABOOK dan >200 Insight keuangan lainnya? Yuk gabung komunitas dan diskusi bersama di Quality Investor Club!
Salah Paham Quality Investing
1. Semua Bisnis Pasti Memiliki Siklus
Dulu saya dan sepertinya juga kebanyakan dari kita mengira ada bahwa ada sektor yang defensive atau non-cyclical seperti consumer branded yang cocok untuk investasi jangka panjang dan sektor yang cyclical seperti batubara dan CPO yang hanya bisa dibeli dan disimpan dalam momen siklus tertentu.
Menariknya, cara pandang tersebut justru dibantah oleh Terry Smith, investor asal UK yang mempopulerkan istilah quality investing. Menurutnya, tidak ada satu pun bisnis di dunia yang non-cyclical.
“Salah satu hal yang sering dikatakan orang-orang kepada kami selama bertahun-tahun adalah kami suka berinvestasi di non-cyclical business. Saya katakan kepada mereka, saya telah bekerja selama 47 tahun dan saya belum menemukan satu pun (non-cyclical business).” (Terry Smith in Fundsmith Annual Shareholder Meeting 2021)
Volatility pertumbuhan penjualan big consumer branded di IDX adalah contoh nyata bahwa tidak ada bisnis yang kinerjanya selalu stabil. Semuanya akan terdampak dinamika siklus makro ekonomi. Yang beda adalah derajatnya, ada yang less cyclical, ada highly cyclical.
Karena kualitas bisnis yang dimiliki, saham compounder memang cenderung less cyclical, tetapi tidak berarti kinerjanya akan selalu bagus dari kuartal ke kuartal.
2. Tidak Ada Posisi Permanen
Salah paham berikutnya terhadap quality investing adalah soal forever stock atau posisi permanen. Masih cukup fragile-nya makro ekonomi Indonesia dan sedikitnya wonderful company seperti US big tech (Apple, Microsoft, Alphabet, Amazon, dan Meta) membuat sebagian investor memandang sulit untuk menerapkan quality investing di Indonesia.
Untuk orang yang punya pandangan demikian, saya biasanya akan memberi tahu bahwa 2 dari 3 permanent holding Warren Buffett versi 1986 sudah dijual, ABC/Capital Cities pada tahun 1995 dan Washington Post pada tahun 2014. Hanya GEICO saja lah yang masih di-hold oleh Warren Buffett melalui Berkshire Hathaway.
“We should note that we expect to keep permanently our three primary holdings, Capital Cities/ABC, Inc., GEICO Corporation, and The Washington Post. Even if these securities were to appear significantly overpriced, we would not anticipate selling them, just as we would not sell See’s or Buffalo Evening News if someone were to offer us a price far above what we believe those businesses are worth.”
(Warren Buffett in Berkshire Hathaway Annual Shareholder Letter 1986)
Hold saham selama mungkin adalah sebuah aspirasi, bukan limitasi. Tujuan investasi akan selalu sama, mendapatkan return yang sepadan dibanding waktu dan risiko yang kita tanggung.
Warren Buffett, Charlie Munger, Chuck Akre, Terry Smith, dan quality investor lainnya sadar bahwa mereka tidak harus menjual saham yang intrinsic value-nya masih bisa compounding untuk mendapat keuntungan yang sepadan.
Namun, jika potensi keuntungan yang sepadan itu hilang, bisa karena kesalahan analisis, perubahan fundamental yang permanen, atau harga yang sudah melambung terlalu tinggi, menjual adalah pilihan yang rasional.
Jadi, jangan heran jika ada quality investor yang menjual saham dalam hitungan bulan atau tahun. Semua hal bisa terjadi. Namun, secara agregat, portofolio turnover-nya harusnya tidak terlalu tinggi. Jika portofolio turnover-nya 20%, berarti rata-rata holding period-nya 5 tahun.
Portofolio turnover Fundsmith Equity Fund, reksa dana yang dikelola oleh Terry Smith, pada tahun 2021 sebesar 5,6%. Artinya, rata-rata holding period dari saham di portofolionya 18 tahun.
Panjangnya holding period portofolio Terry Smith tersebut bukan cuma menggambarkan praktik Terry Smith atas pilar ketiga do nothing, tetapi juga keberhasilannya menjalankan pilar pertama dan kedua: buy good companies & don’t overpay.
Kita bisa salah menilai kualitas dan potensi compounding sebuah bisnis. Jika analisis kita terbukti salah, hold selamanya adalah sebuah kebodohan sekaligus kerugian.
3. Investasi Selalu Forward Looking
Di group Quality Investor Club (QIC), sempat muncul pertanyaan ketika saya bilang kalau angka pertumbuhan historis itu useless jika tidak disertai dengan story di baliknya.
Mas Bobby, salah satu anggota QIC bertanya, “Kalau historical growth useless, kemarin-kemarin para pecinta new economy sebenarnya ga salah-salah banget kalau gt? Karena patokan mereka juga growth driver? Toh ambil contoh vidio dot com juga masih minus juga?”
Jawaban cepat saya atas pertanyaan tersebut, “Mereka gak salah Mas. Tapi naif.”
Investasi itu selalu forward looking. Kinerja masa lalu hanya lah acuan kita untuk membuat estimasi terbaik terkait cash flow yang akan kita dapat di masa depan.
Hanya saja, para hyper growth investor itu seringkali berinvestasi dengan dengan ekspektasi yang terlalu optimis. Sulit dibedakan estimasi value-nya itu berasal dari story atau fantasi.
Story yang menarik juga belum tentu jadi investasi yang menarik. Itulah mengapa para quality investor bukan cuma menganjurkan kita membeli saham yang tepat, tetapi juga di harga yang tepat.
Namun, story tetap penting sebagai konteks untuk kinerja masa lalu. Kinerja masa lalu yang baik hanya bisa terulang jika story-nya masih intact.
Saham yang berhasil compounding di masa lalu, belum tentu akan kembali compounding di masa depan. Begitu pun sebaliknya.
Karena itulah, dalam menyusun watchlist saham compounder versi kedua yang rilis pada Desember 2021, kami lebih menekankan pada potensi compounding di masa depan.
Namun, karena watchlist hanya dibuat dengan sejumlah metric kuantitatif, sangat mungkin ada kesalahan. Final judgement tentang potensi compounding baru kami bagikan di dalam artikel analisis.
Kami bahkan juga memasukkan bisnis-bisnis yang sudah mengalami turnaround dan punya potensi untuk terus memberi kinerja yang baik di masa depan meski di masa lalu sempat mengalami kerugian seperti BYAN.
Yang Penting adalah Hasil Akhirnya
Oke, sekarang semoga jadi lebih jelas ya. Kita bisa tetap berinvestasi dengan tesis quality compounder meski kinerjanya tidak selalu linear dari kuartal ke kuartal dan bahkan jika di masa lalu kinerjanya belum begitu baik. Quality investor juga tidak anti menjual saham dalam jangka pendek-menengah jika potensi keuntungan dari “do nothing” tidak lagi sepadan.
Karena pada akhirnya, yang penting hanyalah kinerja dalam jangka panjang. Baik dalam konteks kinerja bisnis maupun kinerja investasi kita.
Coba lihat perbandingan antara annual return dan compounded annual return dari 3 skenario di bawah ini.
Ketiganya memiliki return tahunan yang berbeda, tetapi berakhir dengan CAGR yang sama, 12%.
Jika mau jujur, kita pasti lebih suka melihat kinerja bisnis dan investasi dari skenario A. Namun, kita harus sadar, skenario yang paling nyaman tersebut justru adalah skenario yang paling jarang terjadi. Meskipun, volatility yang diilustrasikan oleh skenario B dan C juga tidak kalah ekstrem, but you got the point.
Kinerja yang volatile bisa tetap memberi hasil yang sepadan dalam jangka panjang. Annie Duke dalam bukunya Thinking in Bets juga mengingatkan kita tentang bahayanya resulting (mengevaluasi kualitas keputusan berdasarkan hasil jangka pendek) pada aktivitas dengan uncertainty tinggi seperti bisnis dan investasi.
Keputusan yang baik bisa memberi kita hasil yang buruk dan sebaliknya keputusan yang buruk bisa memberi kita hasil yang baik.
Sama seperti ketika kita bisa mendapatkan sisi koin yang sama dalam empat kali lemparan berturut-turut. Probabilitasnya tetap tidak berubah, tetap 50:50 di setiap lemparan koin.
Karena itulah, kita harus fokus pada proses. Dalam berinvestasi, artinya kita harus mau melalui siklus bagus dan siklus buruk dari strategi investasi yang kita pilih. Jangan berganti-ganti strategi hanya karena ingin kinerja investasi kita “mulus” seperti skenario A. Seperti dalam Tour de France, kita tidak perlu menang di setiap etape, untuk jadi pemenang dalam keseluruhan balapan.
Dalam menilai bisnis, artinya kita perlu tahu DNA dan “tujuan akhir” dari bisnis tersebut. Untuk apa bisnis tersebut ada? Kebutuhan apa yang dipenuhi oleh bisnis tersebut? Seperti apa strategi dan playbook yang dijalankan? Seberapa mungkin strategi tersebut akan berhasil?
“Destination analysis is consciously central to how we analyse businesses these days. It helps us ask better questions and get to a firm’s DNA.”
(Nick Sleep in Nomad Partnership Letter 2007)
Sulit sekali bisa punya conviction dengan visi metaverse Mark Zuckerberg di META tanpa memahami tujuan akhir-nya untuk menghubungkan manusia dengan cara yang lebih baik melalui teknologi VR dan AR.
Sama sulitnya dengan mengambil posisi berlawanan dengan narasi “TV sudah mati” dengan berinvestasi di SCMA tanpa memahami kebutuhan dasar manusia modern terhadap hiburan dengan biaya yang terjangkau.
How Do You Know?
Namanya saja quality investing. Jadi, tentu saja bagian terpenting dari proses stock pick-nya adalah analisis yang bersifat kualitatif.
Rasio favorit kami seperti Return on Equity (ROE) tetap saja hanya sebuah clue untuk memahami DNA dan “tujuan akhir” dari sebuah bisnis.
ROE bisa naik dan turun karena berbagai alasan. Alasan itulah yang lebih penting untuk kita gali.
Jadi, bagaimana caranya kita bisa tahu apakah volatility kinerja saham compounder kita akan memberi hasil sepadan di masa depan?
Kita harus belajar untuk memberi bobot pada informasi baru yang kita dapatkan. Seberapa relevan dan penting dampaknya terhadap tesis investasi kita. Jangan close minded, tetapi tidak perlu juga terlalu reaksioner.
Investor sekaliber Warren Buffett saja masih melakukan kesalahan. Apalagi kita.
Jangan ragu untuk melakukan penjualan ketika tesis investasi kita gugur dan conviction kita hilang. Sebaliknya, jangan tunda terlalu lama untuk melakukan tambah beli ketika conviction kita meningkat dan harga saat ini masih memberikan margin of safety yang cukup tebal.
Perjalanan investasi kita masih panjang. Tidak perlu buru-buru. Beri waktu untuk melihat bagaimana tesis investasi kita bekerja.
“So, the next time you wonder ‘how do you know?’ The answer is simple. We may not know in the beginning. But over time, we learn and make adjustments, sometimes dramatic, to the capital we allocate across the companies in our portfolio.”
(Altos Ventures)
Saya yakin di masa depan, saya akan memiliki saham compounder sejati yang memberi saya keuntungan besar karena tetap menyimpannya dalam waktu yang sangat panjang seperti GEICO bagi Benjamin Graham dan Warren Buffett, American Tower bagi Chuck Akre, Costco bagi Nick Sleep, dan Microsoft bagi Terry Smith.
DISCLAIMER:
Artikel di atas dibuat semata untuk tujuan penyediaan referensi dan edukasi, bukan rekomendasi untuk keputusan keuangan dan investasi tertentu. Setiap pihak bertanggung jawab penuh atas keputusan keuangan dan investasi yang dibuatnya sendiri.
Penulis memiliki posisi investasi di saham META dan SCMA. Artikel dibuat berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimuat sebagaimana adanya.